Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari The Founders, Kompromi antara Tradisionalis dan Konstitusionalis

21 September 2019   12:51 Diperbarui: 21 September 2019   13:07 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by evanbernache.com

"Manusia dilahirkan bebas, tapi dimana-mana mendapatkan dirinya terbelenggu" JJ. Rousseau.

Seorang anak terlahir fitrah dengan segala ketelanjangannya. Tak hanya secara fisik namun juga psikis. Dan menjadi tugas orangtua mendisain blueprint anaknya, hingga anak tersebut mampu membuat alurnya sendiri.

Blueprint tersebut, bukanlah sebuah hipotesa yang dibuat berdasarkan ilmu kiramologi. Tetapi, jamaknya merupakan sebuah analisa dari orangtua. Menjadi sebuah refleksi dari pengalaman, pengetahuan dan penemuan yang dialami dan dilalui selama hidup.

Bisa saja, hal itu kemudian melahirkan sebuah sintesa, bahwa anak akan berhasil jika mengikuti jalur yang pernah dilalui orangtuanya. Atau  malah membuat antitesa, meracik jalur baru, agar anak-anaknya tak mengalami hal pahit yang dialaminya.

Illustrated by evanbernache.com
Illustrated by evanbernache.com

Terkadang, Tak Sejalan dan Penuh Perjuangan

Berpijak dari tahapan-tahapan itu, orangtua dianggap seakan-akan "memaksa" anak-anaknya sesuai keinginan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.  Pada awalnya, anak akan mengikuti blueprint itu, hingga ketika menghadapi perbedaan ruang dan waktu, anak-anak tersebut menyadari dan mendapatkan diri mereka terbelenggu.

Balik lagi pada deret kalimat milik JJ Rousseau di atas, ya? Ungkapan itu, bukan saja berarti bahwa setiap orang secara alamiah bebas, namun masyarakatlah yang mengekangnya dalam berbagai ikatan. Seperti tata nilai atau normatif yang tumbuh dan hadir disekitarnya.

Begitu juga kebebasan si anak saat mengekplorasi diri, dalam ramuan dan ikatan blueprint yang dibuat orang tuanya. Namun kemudian kebebasan itu bermakna abstrak, saat anak merasa mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua.

Ada ruang-ruang konflik yang kemudian bakal terjadi. Ketika si anak merasa tertekan akan aturan dasar yang dibuat orangtuanya. Merasa tak ada keadilan saat menemukan rekan sebaya yang ternyata memiliki aturan dasar berbeda. Hingga hadir pemberontakan kecil bahkan membesar dengan ungkapan, orangtua mereka melakukan faham otoriterisme.

Yang memacu dan memicu adanya pengakuan akan keberadaan mereka untuk melakukan ragam keinginan dengan cara mereka. Krisis identitas dan krisis eksistensi ini, pada akhirnya bermuara pada pengabaian. Mungkin tidak pada personal orangtua, walaupun kemungkinan itu tetap ada. Tapi kecenderungan terbesar adalah orangtua, bukan lagi patron mereka.

Sebaliknya, orangtua yang berusaha menghimpun segala upaya. Agar anak bisa lebih baik atau setidaknya tak mengalami kegetiran pengalaman mereka. Menganggap si anak sebagai pembangkang, tak tahu diri atau malah dianggap durhaka bak Malin Kundang!

Akan hadir kekecewaan dan pupus harapan, dan terpaksa menyaksikan kerikil tajam dan rumput ilalang yang selama ini disembunyikan. Akhirnya dibiarkan menyentuh dan mendera si anak. Walau masih tersisa asa, suatu saat anak menyadari jika pilihan jalan mereka adalah keliru.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

Bagaimana Jika Orangtua Itu adalah The Founder dan Anak adalah Negara?

Sejarah Indonesia hari ini, tak terlepas dari proses kelahirannya 74 tahun lalu. Dan, alur itupun tak mungkin terpisahkan dari latar belakang setiap pribadi para pendirinya yang dianggap pemimpin pada masa itu.

Ada dua kutub berbeda pada pendekatan yang dilakukan The Fouders saat proses kelahiran Indonesia. Indonesianis Herbert Feith, membaginya pada tipe solidarity maker dan administrator. Ignas Kleden memperluasnya dengan sebutan tipe Tradisionalis dan tipe Konstitusionalis. Di mana, pemimpin politik pada saat itu, dipaksa berdiri di persimpangan jalan untuk meraih dan mendapat dukungan. (Tempo, edisi khusus 17 Agustus 2007)

Seorang pemimpin tradisionalis, sangat paham bahwa menjelang kemerdekaan itu, sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam tradisi komunitas masing-masing. Walau ada beberapa kasus "pengingkaran" dari tradisi, semisal membolehkan anak bersekolah (agar semisal tak lagi menjadi petani atau nelayan).

Namun, pedoman utama mereka tetaplah nilai-nilai tradisional. Lebih mendengarkan petuah orangtua mereka saat mengambil keputusan, dimabndingkan mencoba mengambil keputusan sendiri. Lebih terikat pada kelompok daripada mencari jalan sendiri, karena berakibat akan dipinggirkan bahkan terusir dari kelompok.

Maka, pemimpin tradisionalis akan bersikap akomodatif terhadap sikap dan prilaku kaum tradisional. Agar mudah dipahami dan cepat mendapat dukungan mereka. Massa harus ditarik hatinya, digelorakan semangatnya, memahami alam pikiran mereka dan melontarkan jargon-jargon sesuai alur nalar mereka. Memainkan simbol-simbol  tradisional adalah cara ampuh memenangkan dukungan dengan daya pukau poetics of power.

Sedangkan pemimpin konstitusionalis, memiliki keinginan mendidik rakyatnya untuk terbuka kepada pemikiran alternatif dan nilai-nilai baru yang dibutuhkan dalam sebuah Negara modern. Namun, pendidikan tentu saja membutuhkan waktu yang lama, kan?

Namun pada saat itu, pemikiran pemimpin konstitusionalis intinya adalah; harus dipersiapan kader-kader terpelajar yang memiliki cukup pengetahuan. Untuk mengisi kekosongan dan mengambil alih posisi-posisi dalam administrasi yang ditinggalkan birokrat penjajah.

Orientasi terpokok adalah, Negara yang merdeka, pemerintah yang mengatur Negara, birokrasi yang melaksanakan pemerintahan serta rakyat yang diperintah. Dan, semua alur itu berpijak pada pedoman yang sama. Yaitu hukum yang diwujudkan dalam konstitusi.

Illustrated by globalarabmedia.org
Illustrated by globalarabmedia.org

Apa Kabar Pemimpin Indonesia Saat Ini?

Menilik proses persalinan Negara. Masih adakah pemimpin tradisionalis dan konstitusionalis saat ini? Atau malah campuran keduanya? Hingga terjadi pengaburan makna kepemimpinan?

Sejalan dengan beberapa artikel terakhir Mbak Leya Cathleya, Kompasianer dengan tulisan bernas, bergizi, berisi dan terkadang berisik! (Maafkanlah, Mbak!), adalah suatu keanehan ditengah maraknya pertumbuhan Organisasi Masyarakat Sipil, tak sempat melahirkan figur pemimpin sipil yang disegani kawan dan lawan.

Arus perlawanan terhadap aneka rancangan undang-undang yang terkesan dipaksakan. Menjadi alasan. Apatah pemimpin sipil tak lagi memikirkan hak-hak sipil? Atau jejangan, mereka tak lagi sempat mengingat kenapa mereka dianggap pemimpin?

Atau mereka tak sempat tahu, semisal perjalanan KUHP itu luar biasa panjang. Dari Roma, Prancis, Belanda, Hindia Belanda hingga berwujud KUHP? Termasuk rumitnya menyigi ragam kepentingan di ranah publik, sehingga kekosongan dari sebuah KUHP sejak diberlakukan, hanya sanggup diisi dengan UU pelengkap. Mosok, bisa langsung di eksekusi pada masa injury time? Belum lagi tentang UU KPK atau RUU PAS?

Dalih berlindung menjalankan fungsi konstitusional dengan menafikan hak-hak konstituen adalah kekeliruan yang banal! Yang perlahan menghancurkan tiang-tiang demokrasi.

Jika tak belajar dari The Founder yang mampu menemukan jalan kompromi menyatukan 2 tipologi kutub kepemimpinan saat berdiriny Negara Indonesia. Maka, Pemimpin sipil akan menjadi kenang-kenangan belaka.

Mari simak cuplikan pidato Presiden Sukarno di depan Massa demontrans tanggal 17 Oktober 1952, dibawah ini.

"Siapa hendak memperkosa demokrasi, dia hendak memperkosa kemerdekaan itu sendiri. Siapa hendak diktator, dia akan digilas oleh rakyatnya sendiri. Bila kita tinggalkan demokrasi, Negara kita ini akan hancur!"

Curup, 21.September 2019

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca :

Tempo, Edisi Khusus, 17 Agustus 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun