Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah dan Kebutuhan pada "Leiden is Lijden"!

7 September 2019   17:54 Diperbarui: 7 September 2019   18:37 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Bang, Aku ke rumah, ya?"

"Sorry, lagi di luar! Ada apa?"

"Bisa bantu carikan judul?"

"Lah?"

"Untuk skripsi, Bang!"

"Mau membahas apa?"

"Belum tahu!"

"Aih!"

"Tolong, Bang! Masalahnya aku kan baru..."

"Benar! Carilah dulu masalah!"

Itu potongan percakapan via ponsel, antara aku dengan seorang teman yang berpangkat mahasiswa, dan baru selesai KKN. Sosok aktivis organisasi di kampus juga luar kampus, dengan IPK di atas 3,5. Tetiba aku jadi jengkel sendiri! Ahaay...

Kejadian itu terjadi pagi tadi. Selesai mengantar anakku sekolah. Kebiasaanku setiap pagi sabtu atau minggu. Ngupi-ngupi di warung kopi dekat pangkalan ojek Masjid Al Jihad Curup. Lumayanlah satu atau dua jam, berkumpul dengan teman-teman aneka profesi untuk menjaga silaturahmi.

Kuabaikan raut muka terkejut dengan caraku mematikan ponsel, juga semua mata ingin tahu yang menatapku, saat kuhentikan komunikasi dengan kalimat "Carilah masalah!"

"Siapa, Bang?"

"Calon pemimpin!"

"Haha..."

"Serius! Mahasiswa itu, bakal jadi pemimpin, kan?"

"Iya!"

"Mosok, cari judul gak bisa?

"Skripsi kan susah, Bang!"

"Makanya, tak suruh cari masalah?"

"Hah?"

"Dari masalah, bakal ketemu judul!"

Jama'ah warung kopi hening. Aku lupa situasi dan kondisi, jadi hanya garuk kepala. Tak lagi berminat menjelaskan. Tapi aku tak lupa. Bahwa ada kredo yang ditemukan dan berlaku sejak dari kecil, baik di rumah atau di sekolah. Ada pesan sakral yang tertanam indah "Jangan pernah cari masalah!"

Versiku, apapun jenis tulisan yang dibuat itu, berbingkai ilmiah atau tidak. Idealnya bepijak dari sebuah "fenomena". Apatah fenomena sosial atau apalah nama kerennya! Dan, fenomena itu "anggap" aja sebagai masalah. Kalau udah begitu, kukira bakal gampang menemukan judul.

Jadi, kenapa malah cari judul dulu? Apatah, gegara kredo yang berlaku sejak kecil harus menjauhi masalah. Jadi pada bingung pas diminta mencari masalah? Apakah sekarang, sesusah itu mencari masalah? Atau semua dianggap masalah? Haha...

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Aih, aku mau ngebahas apa dari tadi?

Begini, Kejadian seperti pagi tadi, kuanggap adalah fenomena sekarang ini. Orang-orang lebih suka bertanya, tapi sedikit yang mau memberikan jawaban. Semua mau gampang dan serba instan. Pada gak mau menikmati proses yang seringkali dipahami pasti susah dan menjanjikan penderitaan.

Padahal banyak kisah heroik dan inspiratif yang tersebar di ranah literasi tentang figur atau sosok yang sukses di bidangnya. Semua nyaris menggunakan pakem yang sama. Melalui jalan hidup yang terjal, penuh liku, terpaksa mereguk pahit, getir terkadang tragis. Hiks...

Memimpin adalah menderita, itulah arti dari Leiden is Lijden. Pepatah kuno Belanda yang kukutip dari kompas.com. Tulisan Mohammad Roem yang dimuat di Prisma No 8, Agustus 1977. Dengan judul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita."

Sebuah tulisan tentang keteladanan Agus Salim. Sebagai tokoh semasa Kemerdekaan, diplomat ulung yang disegani juga sederhana. Yang menganggap memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah berkorban bukan menuntut.

Pepatah itu, dimaknai oleh Tan Malaka dengan kalimat "Barangsiapa menghendaki kemerdekaan buat Umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaannya sendiri." Halah, kenapa malah jadi kesini, ya?

Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan banyak tokoh-tokoh pada masa itu. Mengalami apa yang ditulis Tan Malaka. Saat diasingkan ke Boven Digul menghadapi situasi alam yang liar, ancaman wabah penyakit, juga binatang buas. Mereka memaknai ini sebagai jalan dan resiko perjuangan.  

Kukira, tak mungkin sejarah mengajari lupa. Bahwa founding father itu lahir dari tanah yang merah oleh gelimang darah ribuan mungkin jutaan nyawa, yang sekarang kita huni. Mereka juga sosok yang lahir dari sungai keringat dan airmata anak negeri. Dimana sekarang kita bisa bebas berdiri.

sumber foto : https://republika.co.id
sumber foto : https://republika.co.id
Kenapa mereka bisa? Ada hal menarik kuambil dari tulisan Satriono Priyo Utomo, "Jadilah Leiden is Lijden". Bahwa dibutuhkan anak-anak milenial untuk melakukan 5 hal. Agar kembali hadir figur-figur seperti The Founder dulu. Yaitu :

Pertama, Jangan pernah berhenti membaca. Kukira ini poin mahal, ya? Dalam Alqur'an, ayat pertama pun perintahnya adalah membaca. Coba aja baca biografi para tokoh nasional itu. Buku bacaan mereka, bahkan lebih banyak dari pakaian atau harta bendanya. Iya, kan?

Kedua, Menulislah! Sama seperti poin pertama. Pemimpin Bangsa kita semua pada jago menulis. Jikapun terjadi polemik, itu diujarkan dalam tulisan yang santun. Tak seperti tayangan talkshow beberapa acara di televisi, tah? Saat para elite negeri bicara hari ini apa, besok lupa lagi! Atau di acara ini A, di acara B lain lagi! Debat kusir, tah? Ups...

Ketiga, Berkumpullah dengan orang-orang satu pemikiran, dan berdiskusilah dengan yang berbeda pemikiran. Keren, kalau ada yang bisa begini, kan? Bukan malah, yang berbeda ide dan pemikiran. Diberikan satu intruksi, tenggelamkan!

Keempat, Belajarlah menemukan penderitaan. Nah, kukira tak mungkin merasakan pahitnya kopi, jika tak pernah menyeduhnya sendiri, kan? Menemukan itu, didapatkan setelah proses mencari. Bukan menunggu atau menerima laporan, kan? Kenapa mencari? Karena ukuran penderitaan setiap orang beda.

Kelima. Temuilah masyarakat. Banyak kisah, tokoh hebat yang bergaul luwes dengan orang awam. Terkadang mereka hanya butuh disapa dan didengarkan. Bukan datang berkunjung yang membuat orang lain repot dan susah. Coba aja selidiki beberapa peristiwa seremonial yang dihadiri pejabat publik. Akan muncul cerita undercover, bawahan dimarahi atasan, atau panitia dibuat pontang panting! Hiks

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Eh, Terus apa hubungannya tulisan sepanjang ini dengan makhluk manis yang minta bantuan cari judul skripsi tadi?

Kukira, sebagai warga milenial, dia mesti diajak mencari masalah! Bilang Pramoedya Ananta Toer, "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan".

Aih, jejangan aku lagi cari masalah nulis ini, ya? Gak apa-apa. Maafkanlah! Anggaplah, tulisan ini seperti ucapan terakhirku diakhir acara ngupi-ngupi pagi tadi.

"Bukannya cari masalah itu bahaya, Bang?"

"Gak mungkin!"

"Hah?"

"Kalau udah menemukan masalah. Di analisa. Terus, cari solusinya!"

"Lah? Kan, gawat juga. Kalau cari masalah seperti berita di..."

"Hei! Aku bilang tadi, mencari masalah! Bukan membuat masalah! gitu..."

Curup, 07.09.2109

Zaldyhan

[ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca :

https://edukasi.kompas.com

http://studenthijo.blogspot.com

https://republika.co.id

https://historia.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun