Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah dan Kebutuhan pada "Leiden is Lijden"!

7 September 2019   17:54 Diperbarui: 7 September 2019   18:37 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan banyak tokoh-tokoh pada masa itu. Mengalami apa yang ditulis Tan Malaka. Saat diasingkan ke Boven Digul menghadapi situasi alam yang liar, ancaman wabah penyakit, juga binatang buas. Mereka memaknai ini sebagai jalan dan resiko perjuangan.  

Kukira, tak mungkin sejarah mengajari lupa. Bahwa founding father itu lahir dari tanah yang merah oleh gelimang darah ribuan mungkin jutaan nyawa, yang sekarang kita huni. Mereka juga sosok yang lahir dari sungai keringat dan airmata anak negeri. Dimana sekarang kita bisa bebas berdiri.

sumber foto : https://republika.co.id
sumber foto : https://republika.co.id
Kenapa mereka bisa? Ada hal menarik kuambil dari tulisan Satriono Priyo Utomo, "Jadilah Leiden is Lijden". Bahwa dibutuhkan anak-anak milenial untuk melakukan 5 hal. Agar kembali hadir figur-figur seperti The Founder dulu. Yaitu :

Pertama, Jangan pernah berhenti membaca. Kukira ini poin mahal, ya? Dalam Alqur'an, ayat pertama pun perintahnya adalah membaca. Coba aja baca biografi para tokoh nasional itu. Buku bacaan mereka, bahkan lebih banyak dari pakaian atau harta bendanya. Iya, kan?

Kedua, Menulislah! Sama seperti poin pertama. Pemimpin Bangsa kita semua pada jago menulis. Jikapun terjadi polemik, itu diujarkan dalam tulisan yang santun. Tak seperti tayangan talkshow beberapa acara di televisi, tah? Saat para elite negeri bicara hari ini apa, besok lupa lagi! Atau di acara ini A, di acara B lain lagi! Debat kusir, tah? Ups...

Ketiga, Berkumpullah dengan orang-orang satu pemikiran, dan berdiskusilah dengan yang berbeda pemikiran. Keren, kalau ada yang bisa begini, kan? Bukan malah, yang berbeda ide dan pemikiran. Diberikan satu intruksi, tenggelamkan!

Keempat, Belajarlah menemukan penderitaan. Nah, kukira tak mungkin merasakan pahitnya kopi, jika tak pernah menyeduhnya sendiri, kan? Menemukan itu, didapatkan setelah proses mencari. Bukan menunggu atau menerima laporan, kan? Kenapa mencari? Karena ukuran penderitaan setiap orang beda.

Kelima. Temuilah masyarakat. Banyak kisah, tokoh hebat yang bergaul luwes dengan orang awam. Terkadang mereka hanya butuh disapa dan didengarkan. Bukan datang berkunjung yang membuat orang lain repot dan susah. Coba aja selidiki beberapa peristiwa seremonial yang dihadiri pejabat publik. Akan muncul cerita undercover, bawahan dimarahi atasan, atau panitia dibuat pontang panting! Hiks

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Eh, Terus apa hubungannya tulisan sepanjang ini dengan makhluk manis yang minta bantuan cari judul skripsi tadi?

Kukira, sebagai warga milenial, dia mesti diajak mencari masalah! Bilang Pramoedya Ananta Toer, "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan".

Aih, jejangan aku lagi cari masalah nulis ini, ya? Gak apa-apa. Maafkanlah! Anggaplah, tulisan ini seperti ucapan terakhirku diakhir acara ngupi-ngupi pagi tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun