Fenomena mutakhir yang menunjukkan gejala kemerosotan moral dan kenakalan remaja/siswa. Padahal dalam idealnya, karya sastra dapat memberikan pengertian yang dalam tentang manusia.
Bagaimana caranya? Ada 6 paradigma baru yang ditawarkan Taufiq Ismail dalam penyajian sastra di sekolah.
- Siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira. Bukan menyampaikan pengetahuan sastra, tapi membuat asyik siswa membaca sastra dan membicarakan karya itu bersama-sama.
- Siswa membaca langsung karya sastra. Bukan ringkasan atau ikhtisar. Dan buku-buku yang ada di dalam kurikulum tersedia di perpustakaan sekolah.
- Adanya Kelas mengarang yang menyenangkan di sekolah untuk siswa dan guru.
- Menghargai ragam tafsir saat membicarakan dan membahas tentang karya sastra.
- Tata bahasa tak lagi diberikan secara teoritis. Namun di check dan dievaluasi saat siswa menggunakannya dalam karangan siswa.
- Pengajaran sastra sebaiknya menyemai dan merefleksikan nilai-nilai positif dari realitas kehidupan di sekitar siswa. Â
Jadi, Kukira ada baiknya setiap anak kembali didekatkan dengan karya sastra. Jika pun di sekolah masih pada kondisi minimalis. Tak ada salahnya usaha mandiri, tah? Jika masih sepakat, bahwa sastra itu adalah pelembut jiwa. Ahaaay...
Demikianlah, Hayuk salaman!
Curup, 24.08.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Taman Baca :
Agar Anak Bangsa Tak Rabun Mambaca tak pincang mengarang, Taufiq Ismail, UNY, 2003.
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ELIC/article/view/1230
http://jurnal.upi.edu/file/Hari_Sunaryo.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H