Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelaah Buku Sastra, agar Anak Bangsa Tak Buta Membaca dan Lumpuh Mengarang

24 Agustus 2019   13:52 Diperbarui: 24 Agustus 2019   18:04 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

illustrated by pixabay.com
illustrated by pixabay.com

Yang Penting Itu Adalah Membaca Karya Sastra dan Mengarang!

"Saya mendapat berita pertama yang tidak sedap dicerna: sebagai bangsa, kita kabarnya rabun membaca dan pincang mengarang. Terdengar pula berita kedua yang lebih tidak enak, yaitu kontastasi bahwa kita sebagai anak bangsa malah sudah buta membaca dan lumpuh mengarang."

Kutipan di atas, kuambil dari buku kecil Pidato Penganugerahan Gelar kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan untuk Taufiq Ismail. Yang disajikan pada Rapat Terbuka Senat Universitas Negeri Yogyakarta 8 februari 2003.

Ada 35 butir persoalan yang diajukan Taufiq Ismail, kenapa fenomena "kabar" seperti tergambar di atas terjadi. Banyak, ya? Dengan jeda waktu 16 tahun sejak buku tersebut terbit. Keresahan dan refleksi Taufiq Ismail itu, Aku sajikan dalam empat ramuan besar, yang kuanggap masih terjadi hingga hari ini . Boleh, ya?

Pertama, merosotnya minat masyarakat membaca karya sastra. Terukur dari sepinya ulasan dan kritik karya sastra atau susutnya mutu karya sastra. juga kurangnya karya sastra dunia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kedua, jarangnya penghargaan untuk karya sastra dan sastrawan, minimnya sayembara penulisan sastra plus ketersediaan ruang atau rubrik sastra dan apresiasi sastra di media massa.

Ketiga, keterbatasan lingkup ekspresi. Baik tentang penerbitan, pelarangan atau penyitaan karya, minimnya wadah dan pertemuan sastra rutin di daerah, kurang atau bahkan tak ada acara sastra atau pembicaraan tentang sastra di media cetak atau media elektronik.

Keempat, merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah serta keterlibatan sastrawan dalam penyusunan kurikulum di ranah akademis.

3 poin pertama, bisa saja debatable, ya? Walaupun insidentil dan bersifat lokal, diam-diam kegiatan tersebut masih ada. Nah, aku sepakat dan tertarik menulis poin 4 sebagai salah satu penyebab. Sehingga anak bangsa mulai bergerak dari rabun membaca, pincang mengarang, menuju ke arah buta membaca dan lumpuh mengarang. Kok bisa?

Wawancara yang dilakukan Taufiq Ismail tahun 1997 pada 13 kota di 13 negara kepada tamatan SMA atau sederajat. Tentang buku sastra yang wajib dibaca. Hasilnya; Thailand (5 judul), Malaysia dan Singapura (6), Brunai Darussalam (7), Rusia (12), Canada (13) Jepang dan Swiss(15), Jerman (22), Perancis dan Belanda (30) serta AS (32).  Dahsyat, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun