Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merengkuh Fakta Sejarah Melalui Literasi

18 Agustus 2019   20:48 Diperbarui: 19 Agustus 2019   04:34 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Jika kau gagal menjadi orang baik, dirimu sukses menjadi orang jahat" (Dalai Lama)

Dahiku berkerut otomatis, saat membaca artikel dari Mbak Hennie Englina berjudul "Guruh: Sukarno, Bukan Soekarno" yang tayang di Kompasiana tanggal 17 Agustus 2019. Dan malu sendiri, saat aku menyigi kelirumologi Menanak Nasi dan Menanak beras. Kenapa bisa malu?

Artikel itu malah memuat 3 kelirumologi yang cukup serius, berkaitan dengan sosok Bung Karno. Sang Proklamator. Pertama, usai ejaan Van Ophuisen beralih pada ejaan Soewandi,(17 Maret 1947) maka hurup "oe" diubah menjadi "u". Dan penulisan Nama Soekarno menjadi Sukarno, kecuali tandatangan.

Kedua, tempat kelahiran Sukarno adalah Surabaya, bukan Blitar. Ketiga, singkatan dari Jas Merah adalah "Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah" bukan "Jangan sekali-sekali melupakan sejarah"

Aku verifikasi di Wikipedia, ternyata yang hanya belum konsisten adalah penulisan nama Sukarno. Dua hal lainnya, sudah berubah. Walaupun masih tetap hadir polemik tentang siapa pemilik istilah "Jas Merah" pada Pidato Kenegaraan terakhir Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1966.  

Aih, aku acapkali tulalit terhadap "pelurusan" sejarah? Gegara beberapa waktu terakhir ini, benakku terkooptasi dengan istilah "Melawan Lupa!" Ahaay...

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Kukira, Penting untuk Melakukan "Pelurusan" Sejarah?

Aku sok merasa penting, ya? Semisal, Bung Karno kukuh menyatakan peristiwa 1965 itu sebagai "Gestok" (Gerakan satu oktober), Tapi masa orde baru menyebutnya dengan peristiwa G30S/PKI! Dan dijejak buku-buku sejarah masih begitu, kan?

Itu hanya perbedaan istilah penyebutan, dan aku lebay? Bisa jadi! Tapi, jika berkaitan dengan sejarah, kukira mesti terus digali pemurniannya, tah? Mirip-mirip penggalian definisi yang dilahirkan para ahli. Ada unsur subjektifitas, situasi kondisi saat definisi itu dibuat, kapasitas keilmuan si ahli, juga untuk apa definisi itu dibuat.

Dahulu kala, kukira dianggap gila jika ada yang berucap manusia mampu pergi ke bulan! Seiring perkembangan iptek, malah orang yang tak percaya ucapan itu dianggap gila! Seperti definisi yang tidak rigid. Begitu juga penulisan sejarah, tah?

Masa hal receh dipermasalahkan? Aku coba narasikan yang biasanya aku sampaikan pada teman-temanku, efek pembiaran dari kekeliruan sederhana. Misal, seorang kakek menulis catatan harian yang dicetak stensilan dengan kalimat:

"Aku adalah pembantu seorang jenderal, yang bertugas di Medan pada tahun 60-an. Dua tahun kemudian pindah tugas ke Jakarta."

Sang Ayah. Guna memberi motivasi kepada anaknya akan pelajaran hidup serta perjuangan hingga menjadi pengusaha sukses. Menulis outobiografi yang dicetak sendiri dengan kalimat:

"Ayahku adalah seorang jenderal, yang bertugas di Medan pada tahun 60-an. Dua tahun kemudian pindah tugas ke Jakarta."

Nah! Sang Ayah, sengaja menghilangkan kata "pembantu". Hanya satu kata, tapi efeknya luar biasa, kan? Setidaknya, terbaca keren. Kalau menjadi anak jenderal! Toh, buku itu diterbitkan sendiri.

Seiring tahun, ternyata si anak terjun ke dunia politik. Menjadi figur publik. Kembali menerbitkan biografi dirinya sendiri. Berpijak dari outobiografi sang ayah. Kalimat di buku itu kira-kira;

"Kakekku adalah seorang jenderal, yang bertugas di Medan pada tahun 60-an. Dua tahun kemudian pindah tugas ke Jakarta."

Tuh? Coba semisal rahasia kecil pelenyapan kata "pembantu" itu, diketahui lawan-lawan politik dari si anak? Aih, gak usah dipikir, ya? Kan, hanya contoh? Haha...

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Pelurusan Sejarah itu, Butuh Perjuangan Panjang! Tapi Harus Tetap Dilakukan!

Benarkah? Butuh waktu 60 tahun bagi Belanda untuk mengakui tanggal Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tepatnya tanggal 16 agustus 2005, Saat Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot menyatakan dalam pidato di gedung Departemen Luar Negeri yang saat itu dipimpin oleh Menlu Hassan Wirajuda.

Sehari kemudian, Menlu Bot untuk pertama kali mewakili Belanda, hadir pada Upacara Kenegaraan Peringatan Kemerdekaan Indonesia. Yang sudah mencapai angka 60! Lama, kan?

Sebelumnya, Belanda menganggap Kemerdekaan Indonesia itu pada tanggal 27 Desember 1949. Setelah adanya penyerahan kedaulatan yang ditandatangani di Istana Dam. Amsterdam. Saat itu, delegasi Indonesia dipimpin oleh Bung Hatta.

Kenapa butuh waktu selama itu? Secara Hukum Internasional, jika Belanda segera mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia. Maka aksi yang dilakukan dalam kurun waktu 1945-1949 dianggap Ilegal! Dalam sejarah Indonesia disebut "Agresi Militer", di Belanda dikenal dengan sebutan "Aksi Penertiban".

Lupakan tentang ganti rugi karena aksi itu adalah ilegal. Tapi coba bayangkan dampaknya bagi penulisan sejarah dari sebuah "pengakuan" itu di Belanda. Berubah, kan? Bayangkan juga sisi psikologis keluarga dari 6.000 orang tentara Belanda yang gugur saat terjadi agresi tersebut.

"Fakta adanya aksi militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan ini,"

Itu, pernyataan Menlu Belanda Bernard Bot yang kukutip dari Wikipedia. Pengakuan dengan kejujuran namun terasa pahit. Adalah buah dari "pelurusan" sejarah. Bagaimana seseorang yang protagonis tetiba berubah menjadi antagonis, atau sebaliknya!

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Merengkuh Fakta Sejarah Melalui Jejak Literasi

Jadi? Kukira banyak ahli sejarah yang berlomba untuk menyigi ulang pemurnian sejarah bangsa ini. Agar tak lagi terjadi kelirumologi, hingga hadir pembelokan sejarah yang gagal atau salah dimaknai oleh generasi mendatang.

Kembali merengkuh kebenaran fakta sejarah, melalui jejak literasi. Adalah jalan terang untuk mewujudkan bangsa yang maju dan berkarakter.

Anekdot yang biasa kuceritakan pada teman-temanku adalah: Kenapa Jepang maju? Sejak kecil, anak-anaknya sudah diberitahu. Kalau negara mereka banyak gunung api, sering terjadi gempa dan Tsunami bahkan badai! Jadi sejak kecil bersiaplah dan berusahalah dengan sungguh-sungguh! Kalau mau bertahan hidup.

Indonesia sebaliknya! Sejak kecil, diceritakan bagaimana kekayaan dan kemakmuran negara ini. Dengan potensi alam yang berlimpah di darat dan lautan! Jadi, karena negara sudah kaya, anak-anaknya menjalani hidup dan berusaha secukupnya saja. Toh, negeri kita kaya raya?

Jangan marah! Ini, hanya anekdot! Toh dunia tidak sehitam-putih itu, kan? Tapi menulis sesuatu yang sederhana, namun dibiarkan tetap salah. Kukira tak baik juga, kan? Makanya kucomot ucapan dari Dalai Lama di atas! Agar kita menjadi orang baik.

Sepakat? Hayuk salaman...

Curup, 18.08.2019

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca :

wikipedia.org

cnnindonesia.com/nasional

wartakota.tribunnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun