Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terpenjara Bahasa, Kok Bisa?

17 Agustus 2019   14:25 Diperbarui: 17 Agustus 2019   14:29 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Marah-marah ketika tetesan air kran yang disediakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) acapkali terhenti?

Jika semisal 3 hari, sesiapapun bakal miliki reaksi begitu, ya ? Apatah lagi bagi pelanggan teladan yang merasa tak pernah telat membayar tagihan setiap bulan.

Bisa jadi, tak cukup dengan marah-marah. Namun juga demonstrasi atau bersama lembaga perlindungan konsumen menuntut ganti rugi! Gegara tak mendapat hak, padahal telah melakukan kewajiban!

Kejadian ini akan dianggap mirip-mirip kasus blackout PLN yang terjadi beberapa waktu lalu. Toh, resiko kalau perusahaan melayani hajat orang banyak, ya?

Lah, kalau semisal Pimpinan PDAM membela diri, dengan menyatakan bahwa konsumen juga memiliki banyak kesalahan?

Alasannya, secara tekstual perusahaan mereka bertugas menyediakan air minum, kenapa dipakai konsumen buat mencuci pakaian atau peralatan makan, menyirami tanaman atau malah mengisi kolam renang? Nah, gimana coba?

Atau kebiasaan kita berucap "menanak atau memasak nasi". Harfiahnya, kalau nasi yang dimasak, bakal jadi bubur tah? Logika sederhana idealnya adalah "Menanak atau Memasak beras". Ahaaay....

Coba sekarang, disigi sekeliling negeri. Berapa banyak yang berucap masak beras di banding masak nasi? Jejangan, bakal aneh kalau mendengar ada yang bilang mau masak beras. Walaupun itu logika kalimat yang benar! Hig...hig...

Ada ucapan orang-orang dulu yang bilang, jika kesalahan dilakukan berulang. Maka pelan-pelan akan dianggap kebenaran. Dan, kebenaran yang jarang dilakukan, dianggap aneh atau malah salah. Hiks...

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Aih, itu hanya dua contoh dari sisi tekstual,  Setelah 74 tahun merdeka, bagaimana kita masih betah "terpenjara bahasa" yang kita buat sendiri! Berikutnya, aku ajukan contoh yang kontekstual, ya?

Bagaimana rasanya mendengar teriakan "merdeka!" yang keluar dari mulut para narapidana, membalas ucapan inspektur upacara proklamasi pagi tadi? Atau apakah yang dipikirkan para napi saat melakukan itu?

atau para pejabat yang sejak seminggu sebelumnya sudah mempersiapkan pakaian kebesaran, terus sejak shubuh melakukan persiapan. Terburu agar tak terlambat, tak jarang ada yang ribut dengan pasangan atau orang terdekat, demi setor wajah pada atasan.

Kepatuhan seperti apa yang dinginkan? Ketika aneka sanksi dan perangkat aturan lainnya diujarkan. Hingga wajah-wajah penuh tekanan hadir, agar tak terperangkap dalam persoalan. Tersenyum paksa berucap, "Merdeka!"

Bagiku, ada kegagalan pemaknaan kata merdeka yang ironisnya terjadi saat merayakan kemerdekaan. Bagaimana mungkin merasakan kemerdekaan dengan makna kebebasan, ketika menjalani hidup dengan penuh tekanan?

akhirnya, sajian kata-kata yang dilontarkan penuh basa-basi, penuh teka-teki dan polesan. susahnya, polesan itu kemudian menjadi tempat berlindung, bahkan mengaburkan dan menguburkan identitas sebenarnya.

Jika ada pejabat atau orang terhormat yang melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum. Kita sepakat menyebut "oknum"! Agar yang lain tak terkena imbas atau dampak negatif, kan? Kenapa? Untuk menjaga marwah dan kehormatan.

Begitu juga, dengan penyebutan Pahlawan Devisa bagi para TKI, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa bagi Pendidik. Walau tak pernah ada Makam Pahlawan untuk mereka. Silahkan interpretasikan makna pahlawan itu.

Jadi? Boleh beda cara merayakan kemerdekaan seperti yang kutulis, kan? Hayuk salaman...

Curup, 17.08.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun