"Selamat hari Pramuka, Kak!"
Ucapan itu menyapaku di Grup WA. Oleh salah satu adik tingkat dari almamaterku MTs Negeri Durian Depun Kabupaten Rejang Lebong. Sejak pemekaran Kabupaten tahun 2004. Sekolah itu, sekarang masuk Kabupaten Kepahiang. Pun, dulu dikenal dengan Gugus Depan 327-328. Sekarang berubah menjadi Gugus Depan Khusus "Syaifullah". Aku aktif pramuka direntang tahun 1989-1991. Udah lama, ya?
Ingatanku, kembali mengeja kenangan nyaris dua dasawarsa dulu! Melalui masa 3 tahun dengan 3 fokus kegiatan yang berkesan. Secara sukarela dan senang hati (1). Berpacu mengejar prestasi belajar, (2). Bersinergi dalam kegiatan OSIS, (3). Aktif cenderung gila, ketika terlibat dalam kegiatan Pramuka.
Jangan salah! Jika ada anak usia belasan tahun, dijajaki mengatur dan melatih diri, serta membagi waktu untuk aneka kegiatan berbeda secara bersamaan, apalagi semua berorientasi prestasi. Itu berat! Biar aku ceritakan aja, ya?
Itu, kalimat pertama yang tertanam di benakku. Saat aku hadiri latihan pertama. Saat itu, aku masih kelas 1 MTs pada tahun 1989, dan baru calon anggota. Belum boleh mengenakan kacu merah putih di leher!
Apatah gegara aktif kegiatan pramuka. Kemudian nilai pelajaran jeblok, dianggap biasa? Jangan coba-coba! Sudah kutulis kalimat sakti dari Pembina Pramuka sekolahku di pandangan pertama itu. Kenapa bisa begitu?
Karena, di kelas dituntut mesti belajar optimal agar hasil maksimal. Di OSIS mesti mampu mengikuti berbagai kegiatan ekstra kurikuler. Dan, di Pramuka, harus menjadi yang terdepan. Susah, kan? Hiks..
Jangan heran, aku dan teman-teman satu regu, mesti sering tak bisa ikut pelajaran di kelas. Karena sibuk latihan untuk persiapan kegiatan atau lomba itu-ini. Juga terkadang, terburu-buru memanfaatkan waktu luang, mengerjakan tugas sekolah di sela-sela latihan. Tentu saja harus kebal, sebab sering di-bully teman-teman sebagai orang sok sibuk! Haha...
Tak jarang, saat upacara hari senin terpaksa menggunakan sepatu dan kaos kaki yang masih basah, karena di hari minggu sore baru ikut persami. Sepatu kotor satu-satunya, harus dicuci malam hari, dan pasti tak sempat kering namun harus dipakai pagi.
Pelan-pelan, jadi mengerti. Yang dimaksud orang pintar jadi anggota pramuka itu, tak harus pintar secara prestasi akademik dan mesti mampu juara kelas. Tapi pintar-pintar menyiasati dan memanfaatkan keterbatasan waktu!
"Siapa yang ingin naik pesawat gratis? Kakak dulu saat Jamnas 1986, naik pesawat Hercules!"
Itu, kalimat seniorku yang menjadi pembakar semangat untuk aktif di kegiatan pramuka. Sebagai bocah kampung dari kaki Bukit Barisan di pedalaman pulau Sumatera. Mendengar dan membayangkan naik pesawat terbang adalah sesuatu yang luar biasa. Dan pasti orang yang memiliki kemampuan luarbiasa bisa begitu!
Apatah lagi, ada motivasi dari pembinaku yang menyatakan, jika kelas 3 nanti (Tahun 1991), akan dilaksanakan Jambore Nasional di Cibubur Jakarta. Siapa yang aktif dan tekun serta memenuhi persyaratan. Akan  diajukan untuk ikut seleksi peserta jambore tersebut di tingkat kabupaten.
3 tahun ditempa dengan aneka latihan, teknik Pramuka (tekpram) semisal tali-temali, aneka sandi, pionering, aneka peta dengan atau tanpa menggunakan kompas. Serta ikut serta aneka perlombaan di tingkat kabupaten dan propinsi.
Saat duduk di kelas 3 MTs, akhirnya aku ikut seleksi Jamnas 1991 dan dinyatakan lulus. Bahagia? Pasti! Namun dengan berbagai kendala, Pemkab Rejang Lebong hanya mampu membiayai keberangkatan via darat menggunakan Bus dari Curup-Bengkulu hingga sampai ke Cibubur. Perlahan, mimpi naik pesawat terkubur. Sedih, ya?
Ada ujaran, usaha tak pernah mengkhianati hasil! Dan, aku percaya itu. Awal juni 1991, aku dipanggil untuk seleksi di ibukota propinsi. Ternyata, bulan agustus tahun itu, akan dilaksanakan Jambore Dunia 1991 di Kang Woon Doo Korea Selatan. Dan, gubernur saat itu hanya memfasilitasi untuk 1 orang peserta mewakili Bengkulu. Dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi.
Di tengah persiapan ujian akhir kelas 3 MTs, sambil menjaga mimpi naik pesawat gratis. Kuikut seleksi itu selama 4 hari di Kota Bengkulu. Tanpa pendamping dan berjarak 85 KM dari kampungku. Materi tes, tak hanya aneka keterampilan pramuka, tapi juga fisik dan mental.
Aih, akhirnya. Bocah kampung pun bisa naik pesawat gratis! Bukan pesawat Hercules, tapi pesawat Garuda! Ahaaay...
Sesudah beranjak tua, aku jadi mengerti. Kenapa dulu, saat mengikuti setiap latihan yang rutin dilakukan setiap minggu. Diajar dan dihajar, dididik dan dihardik oleh para senior dan pembina. Agar, bisa menjadi pribadi yang sejalan dengan Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka. Semampu dan semampusnya.
Bukan kebanggaan memakai seragam dengan aneka lambang Syarat Kecakapan Khusus (SKK) di lengan kiri dan kanan baju. Bukan pula kebanggan tanpa makna dari Tanda Kecakapan Khusus (TKK) yang terhampar di selempang! Namun diberikan atau didapat secara cuma-cuma! Bukan kebanggaan meraih prestasi seperti panjat pinang! Meraih kebanggaan tertinggi dengan menginjak kepala orang lain!
Bagiku, Terlibat aktif di Pramuka, tak sekedar melatih mental dan fisik, tak hanya memiliki keahlian aneka Tekpram, tak cuma untuk mengasah kemampuan mendisain dan mengelola organisasi. Tapi berlatih menjadi manusia mandiri. Aih, hikmah selalu datang di akhir, ya?
Hari ini. Kenangan itu kembali terulang. Aku berharap dan menyimpan mimpi. Agar adik-adik tingkatku, memiliki mimpi dan motivasi sepertiku. Walau tak persis sama.
Maafkanlah! Tak bermaksud lain. Bagiku, dengan segala keterbatasan masa-masa itu, juga hingga hari ini. Aku bangga menjadi anggota Pramuka. Aku tetap berusaha mengamalkan Tri Satya dan Dasa Dharma. Walau tak lagi berseragam Pramuka.
Selamat Hari Pramuka ke 58!
Hormatku untuk semua anggota Pramuka
Salam Pramuka!
Curup, 14.08.2019
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H