Keluar dari masjid kampus. Langkahmu diarahkan ke gedung belajar. Berdua, berjalan bersisian di terik panas Bukit Limau Manis. Lewati Gedung Rektorat, melintasi sisi lapangan bola. Berhenti dan duduk sebentar di Gedung E. Tak bicara, aku pun tak bertanya. Kau mengajakku ke Gedung F dan Gedung D.
Tak lelah, kau tarik lenganku. Lalui Dekanat Fmipa. Telusuri jalan menurun, menuju Dekanat Ekonomi. Hingga, kau tuju Auditorium tempat wisuda. Kubiarkan, kau ambil alih kendali. Langkahmu berhenti, dan duduk di anak tangga auditorium.
Bulir keringat, basahi sisi wajahmu yang memerah. Aku geleng kepala menatapmu. Kau tersenyum. Keluarkan botol minummu. Kau ajukan padaku. Kubuka tutupnya, kembali kuserahkan padamu. Kau memandangku. Kuanggukkan kepala. Kau reguk isi botolmu.
"Mas gak minum?"
"Kan, belum?"
Kau tertawa. Serahkan kembali botol di tanganmu. Kureguk sedikit, botol minuman kuletakkan di anak tangga. Menjadi batas duduk kau dan aku. Sambil tersenyum, kunyalakan rokok. Kau bersandar di pilar auditorium. Memandangku dalam diam.
"Nik kenapa?"
"Entah!"
Kukira, kau takkan lupa. Aku tak pernah suka, mendengar kata entah. Tapi siang itu, kau ujarkan padaku. Aku diam. Memandang dari jauh, Dekanat Hukum di sisi lapangan bola. Lima tahun, kuhabiskan waktu. Dan akan berakhir di hari sabtu. Di gedung auditorium. Tempat kau dan aku duduk saat itu.
Akhirnya, kusadari. Kau ajak menapaktilasi semua jalur, yang pernah kau dan aku lalui. Juga beningmu. Tanpa setahuku hadir, dalam diammu. Kubiarkan, kau tata rasamu. Jika sudah begitu, diam adalah pilihan terbaikku.
Sejak tadi. Hanya ada hening dan beningmu. Aku menatapmu. Tetiba kau cubit lenganku, kuusap beningmu.