"Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku Penyambung lidah rakyat." Cindy Adams, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat
"Untuk Bapak-bapak, harus ada main domino!"
"Karaoke untuk emak-emak!"
"Tarik tambang semua usia!"
"Panjat pinang!"
"Untuk anak-anak, Balap karung, Lari kelereng, lomba makan kerupuk! Pasti seru lihat anak-anak jatuh!"
"Sepak bola dangdut pakai kain sarung atau daster. Biar banyak yang nonton!"
Begitulah kiramologi simulasi usulan dalam grup WA. Jika ketua pemuda atau Karang Taruna di desa atau di kelurahan, melontarkan pertanyaan, "Apa kegiatan kita menyambut tujuhbelasan?" iya, kan?
Jangan remehkan antusias anak muda untuk merayakan tujuhbelasan. Maka, keesokan harinya digelarlah rapat dengan mengundang Kades/Lurah serta semua RT. Tanpa kendala dan bantahan dari para tetua, semua usulan sebelumnya diterima.
Seksi perlengkapan sibuk menginventarisir semua kebutuhan saat tujuhbelasan, seksi konsumsi menjadi tanggung jawab remaja putri dan ibu-ibu.
Biasanya, rapat akan sedikit tersendat. Saat membicarakan tentang Kebutuhan dan rincian dana untuk perlengkapan, hadiah dan konsumsi. Iya, kan? Karena untuk bersama, dengan jargon "mangan gak mangan sing penting ngumpul," maka segera ditemukan solusi. Â
Maka sejak malam tanggal 16 Agustus. Diwarnai dengan organ tunggal atau aplikasi karaoke, semua warga berkumpul. Bapak-bapak main domino, ibu-ibu lomba karaoke. Biasanya, berlanjut sampai shubuh, dengan acara bebas yang penting tak ada yang membuat onar.
Pukul delapan pagi, dimulailah aneka lomba. Kembali semua warga terlibat. Aneka raut wajah tersaji. Akan ada keceriaan, tawa bahagia, kekecewaan sesaat karena kalah atau dikalahkan saat lomba. Namun semua energi positif berhimpun. Bahwa kegiatan ini untuk bersama dan kebersamaan.
Butuh satu atau dua hari, terkadang satu minggu. Untuk kembali merapikan lingkungan dari sisa perayaaan tujuhbelasan. Mengembalikan alat-alat yang dipinjam. Membujuk pemilik barang agar ikhlas, jika barang yang dipinjam rusak atau hilang. Bahkan terkadang dibiarkan saja. Hingga waktu mengembalikan seperti semula.
Tak perlu ada pembubaran panitia. Tak perlu ada evaluasi kegiatan dan juga tak perlu ada laporan kegiatan. Kebahagiaan bersama itu yang paling penting.Â
Bukan rahasia lagi, masalah keberadaan uang akan jadi bibit perrpecahan, kan? Nah, Jika pun ada yang ribut tentang transparansi dan akuntabilitas dana. Maka dengan alasan kegiatan itu untuk bersenang-senang. Tak usah diributkan!
Dahi semua anak-anak akan segera berkerut, dan suasana kelas akan hening. Saat guru bertanya. "Apa makna dari perayaan tujuhbelasan itu untuk kemerdekaan?". Maka, telunjuk guru berperan besar untuk menemukan jawaban.
"Adakan lomba, Bu!"
"Bersenang-senang!"
"Minta sumbangan!"
"Menghias jalan!"
Karena pertanyaan dan jawabannya umum. Guru tak puas dengan jawaban yang diberikan. Maka, secara acak, guru memberikan pertanyaan susulan. Berdasarkan kegiatan yang diikuti anak.
"Apa pelajaran yang didapat dari lomba tarik tambang?"
"Siapa kuat, dia yang menang!"
"Lomba balap karung?"
"Harus cepat kalau mau jadi juara!"
"Panjat pinang?"
"Gak boleh ikut!"
"Kenapa?"
"Bilang ibuku. Badan bakal sakit-sakit diinjak orang! Lebih baik nonton saja!"
"Itu contoh pengorbanan, Nak! Bahkan para pahlawan dulu, mengorbankan nyawa untuk kemerdekaan!"
"Tapi, Ayah dan ibu ribut! Gegara baju baru ayah penuh oli dan gomok. Gak bisa dipakai lagi!"
"Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati jasa Pahlawannya" - Bung Karno
Curup, 10.08.2019
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H