Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Karena Harapan, Anak Jadi Korban?

26 Juli 2019   13:53 Diperbarui: 26 Juli 2019   19:46 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrated by pixabay.com

"Tak ada benih yang buruk, mungkin saja belum menemukan lahan yang cocok." (Anonim)

Aku kembali lupa, dimana menemukan quote di atas. Namun aku suka dengan nada optimis yang terkandung di dalamnya. Tak ada "kesalahan atau kekeliruan" baik pada benih atau pun pada lahan. Namun terselip ajakan untuk terus mencari "kecocokan" antara benih dan lahan.

Jika benih itu adalah seorang anak. Maka proses pencarian lahan itu, awalnya dilakukan di dalam keluarga. Sehingga idealnya, keluarga berfungsi untuk pengenalan diri, cinta dan kasih sayang, sosialisasi dan interaksi, budaya dan agama serta tempat perlindungan.

Yang diharapkan menjadi pemantik hadirnya anak yang memiliki karakter yang dinginkan setiap orang tua.

Di era modern, fungsi keluarga mulai tergerus. Perlahan dan pasti, peran orang tua beralih pada lembaga pendidikan sejak anak usia dini (play group). Dan diharapkan mampu "menggantikan" posisi orang tua untuk membentuk karakter anak.

ilustrated by pixabay.com
ilustrated by pixabay.com

Sebagai Benih, Jejangan Anak kehilangan Lahan!

Sekolah kemudian menjadi urutan kedua sesudah keluarga. Sebagai wadah "penanaman karakter" yang dianggap lebih pas. Dengan harapan orang tua, bahwa anak dididik pada lembaga pendidikan oleh orang-orang terdidik. Bisakah? Coba sama-sama kita runutkan!

Menilik dari segi kata, bersumber dari bahasa Yunani "schola" sebagai asal kata sekolah, yang bermakna "waktu luang" (Silahkeun cari di Mbah Google). Tentu saja tujuan awalnya, untuk bersenang-senang dengan kegiatan yang bermanfaat.

Namun seiring perkembangan zaman, perlahan menjadi wajib. Bersebab untuk mewujudkan harapan orang tua, nusa, bangsa, agama. Hiks.

Akibat wajib itu, akan muncul berbagai tekanan dan tuntutan. Pemerintah menitip tujuan dengan berbagai target, acuan dan kurikulum berserta perangkat yang jlimet, orang tua menitip harapan kepada sekolah, berdalil dengan berani membayar mahal.

Dengan dua hal itu, pihak sekolah menuntut kepada guru untuk membuktikan. Para guru menuntut pada anak untuk melakukan. Dan anak, kebagian menuntut siapa? Pelan-pelan, esensi awal sekolah untuk bersenang-senang hilang!

Anak dihadapkan dengan puluhan buku yang mesti dibaca, dipahami dan disandang di bahu setiap hari. Guru mesti menyiapkan bahan ajar berdasarkan kurikulum yang acapkali berganti. Pihak sekolah bergelut kusut di antara fasilitas dan kualitas. Orang tua menghabiskan waktu mengejar materi, agar anak belajar di tempat terbaik. Dan? Aih. Sudahlah...

Dengan harapan indah dari pemerintah yang mewakili negara, harapan orang tua sebagai pemilik keluarga, kemudian menjadi tugas pihak sekolah mewujudkannya. Akhirnya, semua terburu-buru ingin terlihat baik dan menjadi terbaik. Akhirnya anak diburu melakukan yang terbaik.

Memburu atau pemburu, pasti menyenangkan! Namun jika anak sebagai objek buruan? Hiks..

ilustrated by pixabay.com
ilustrated by pixabay.com

Karena Harapan, Akhirnya Anak jadi Korban?

Balik lagi ke anak, ya? Akhirnya anak pergi dan pulang sekolah hanya bersisa senyuman! Itupun, jika tak ada PR yang diberikan. Lah, kalau ternyata guru juga menitipkan PR? Maka, anak memindahkan kelasnya ke rumah! Bedanya, guru digantikan orang tua.

Aku pribadi beberapa tahun, pernah jadi pendidik. Dan, tak suka menitipkan PR untuk anak. Bagiku, jika ada PR artinya, aku gagal memanajemen waktuku di kelas! Kalau pun ada tugas yang harus dikerjakan di rumah, itu paling-paling untuk menambah nilai saat UTS atau UAS. Bukan tiap tatap muka ada PR.

Terus, bagaimana dengan kurikulum, silabus dan kemampuan anak? Bagiku, apakah layak bagi anak yang sekolah 6 tahun di SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMA, diukur kemampuannya berdasarkan hasil jawaban 100 soal dari Ujian sekian mata pelajaran? Hiks lagi...

Apatah kemudian anak yang dapat nilai rendah dianggap bodoh atau gagal? Kukira, tidak adil buat anak, kan?

Jadi? Setidaknya, biarkan anak memulai bahagia dengan selarik senyuman! Sepakat? Hayuk salaman...

Curup, 26.07.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun