Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ikan Asin" dan Hubungan Poligami Platonik

14 Juli 2019   12:16 Diperbarui: 15 Juli 2019   00:12 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Awalnya, aku tak mau kecemplung pada romantisisme istilah "Ikan Asin" di Kompasiana. Alasannya, perhelatan topik itu telah dihadirkan oleh Kompasianers kawakan, dengan beraneka sudut tela'ah dan bermacam tingkat keseriusan. Di kanal Humaniora, Politik, Fiksiana maupun Hiburan.  

Namun, gegara membaca istilah "Poligami Platonik", akhirnya, aku kesasar juga menulis artikel, yang sedikit menyinggung dua kata yang menjadi hot topic atau hot issue dua pekan terakhir ini. Lah, kok jadi mau?

by : https://travel.kompas.com
by : https://travel.kompas.com

"Ikan Asin" dan Ikan Asin, Beda Istilah Beda Makna

Begini, sepanjang sejarah per-ikanasin-an. Walaupun seumur hidup, ikan itu berkecimpung di lautan yang asin. Ikan tak pernah asin dengan sendirinya atau atas permintaan sendiri. Seperti halnya dengan telur asin. Asinnya ikan atau telur bukan faktor internal. Tapi karena adanya dorongan atau pengaruh dari luar.

Dalam kiramologi positifku, sajian istilah "Ikan Asin" yang booming di berbagai kanal  dan situs berita itu, karena dimaknai "bau busuk" yang bernada pelecehan verbal, hingga para pelakunya ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini berbanding terbalik dengan sajian Wikipedia, yang memaparkan ikan asin adalah "proses pengawetan" daging ikan dengan ditaburi banyak garam untuk "menghindari pembusukan"! Nah? Beda, kan?

Terus apa hubungannya, "Ikan Asin" dengan "Poligami Platonik"? Sik, sabar! Hayuk bersama, kita sigi dulu makna poligami dan platonik, ya?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

Poligami dan Istilah Turunannya.

Seperti halnya penggunaan istilah "Ikan asin" dan ikan asin, istilah Poligami juga seringkali terjebak dalam kelirumologi. Poligami menurut kbbi.web.id adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya, dalam waktu yang bersamaan. Berpijak dari pengertian ini, syarat disebut berpoligami adalah perkawinan dengan lebih dari satu lawan jenis (tidak berlaku jika sejenis) dan pada waktu yang bersamaan (semasa?).

Jika baca di Wikipedia, Poligami terdiri dari 3 bentuk. Pertama, Poligini, sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang  bersamaan. Kedua, Poliandri, kebalikan dari Poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita memiliki beberapa pria sebagai suaminya dalam waktu yang  bersamaan. Ketiga, Kombinasi Poligami dan Poliandri (Group Marriage), kukira seumpama beberapa pria dan wanita melakukan ikatan perkawinan secara bersama-sama.

Di Indonesia, yang acapkali menghukum kata berdasarkan gender, semisal "cengeng" itu milik perempuan, atau "perkasa" itu merek dagang para lelaki. Maka, topik dan pembahasan Poligami banyak ditentang kaum perempuan. Sehingga jamak dianggap bahwa poligami itu adalah semakna dengan poligini. Padahal, berdasarkan definisi poligami, haknya lelaki dan perempuan sama!

Terlepas dari motif atau alasan serta keyakinan personal, "kekisruhan" akan muncul, jika ditautkan dengan konsep religius, sosial, budaya, tentu saja faktor ekonomi. Walaupun tetap  ada yang melakukan dan memaklumi, kan?

Kisruh tak berhenti sebatas itu, Jika lelaki melakukan Poligini, anak-anak mereka akan lugas menjawab nama ayah dan ibu kandungnya. Karena jelas sosok ayahnya juga figur Ibu yang melahirkannya. "Kekusutan" akan terjadi, jika Perempuan melakukan Poliandri. Sang anak hanya bisa menjawab lugas nama ibunya, dan gagap menyebut siapa nama bapak kandungnya. Iya, tah? Solusinya bisa jadi, tes DNA.

Buktinya, aturan dalam konsep digital di Indonesia, semisal dunia perbankan atau aturan dalam menentukan kewarganegaraan, menyediakan formulir dengan kolom "nama ibu kandung" yang mesti diisi. Nah!

Pertanyaan lanjutan, mungkinkah melakukan poligami tanpa kisruh? Semisal platonik? Kucoba paparkan hasil ngulik makna platonik, ya?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

Wujud Hubungan Platonik.

Merujuk pada nama Plato, Kbbi.web.id. lugas menjelaskan jika Platonik sepenuhnya spiritual, bebas dari nafsu birahi dan cinta. Wikipedia menyatakan platonik adalah sebuah relasi yang sangat afektif. Yaitu bentuk kasih sayang dalam hubungan antara dua orang, yang lebih dari sekedar simpati atau persahabatan.

Katanya, Platonik itu murni hubungan spiritual tanpa hubungan fisik (seksual), hanya ada dalam pikiran dan perasaan, mengutamakan ketulusan tanpa syarat, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama atau ras. Bahkan dahsyatnya, bisa telepati! Hal itu, acapkali kita dengar dari cerita orang-orang kembar atau antara ibu dan anak, tah?.  

Terus, apa benang merah antara "ikan asin", poligami dan platonik?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

Peran Media Sosial dan Media Massa

Hubungan plotanik bisa dijumpai di media sosial semisal di facebook, Instagram, Twitter bahkan grup Whatsapp, tah? Misal dalam sebuah grup WA, akan ada komunikasi intens bahkan personal. Berpijak pada kesamaan ide, gagasan serta prinsip dan saling menghormati atau menghargai.

Padahal tak saling berjumpa? Contoh gampang, adalah komunikasi di kolom komentar Kompasiana? Sapa santun, salam hormat, salam hangat dan terima kasih mewarnai interaksi. Keren, ya?

Jika melakukan terjemahan bebas poligami bukan perkawinan, tetapi memberikan atau berbagi perhatian pada objek yang sama. Semisal menulis tentang kasus "ikan asin", pilpres atau pertemuan Jokowi dan Prabowo yang berseliweran di Media Sosial dan Media Massa. Jejangan, tanpa sadar, kita sudah melakukan "poligami platonik"?

Apatah itu positif? Harusnya, begitu. Karena esensi dasar dari poligami dan platonik adalah berbagi perhatian. Negatifnya? Jika kemudian, dalam membangun hubungan "Poligami Platonik" tersebut disertai dengan bau tak sedap dari "ikan asin". Hiks...

Jadi? Kukira butuh rekontruksi sikap dan rekonsiliasi hati. Sehingga kita leluasa menikmati apa adanya ikan asin, bukan memaknainya sebagai "ikan asin". Atau merefleksikan hubungan "poligami platonik" tanpa berpoligami, jika belum sampai pada level platonik. Ahaay...

Ada yang sepakat? Hayuk salaman.

Curup, 14.07.2019

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca :

https://id.wikipedia.org

https://kbbi.web.id

https://www.idntimes.com/life/relationship/viktor-yudha/mengenal-arti-cinta-platonik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun