Kuulang ingatan lalu. Sejak awal, kau ajukan syarat. Agar keluarga tak terlibat. Kau ingin jalani tanpa ada yang terbebani. Kuikuti inginmu. Tapi kuajak kau temui Amak. Itu caraku. Agar kau tahu, adamu bagiku. Amak harus tahu pilihanku.
Sejak itu, kau kenal keluargaku. Dan kau kisahkan tentang keluargamu. Aku dengar, kenal dan ingat. Juga lihat dari foto-foto milikmu. Kau dan aku jalani itu. Karena inginmu begitu.
Setahun terakhir. Acapkali, tanpa sebab tangismu hadir jika bahan cerita tentang keluarga. Aku tahu rasamu untukku. Tapi aku tak tahu. Alasan pasti, kau ajukan syarat itu. Hingga, kau ingatkan aku untuk selesaikan skripsiku. Kukira itu syaratmu.
Malam itu. Satu minggu jelang ujian. Kukira waktuku. Agar aku tahu, cara bertemu keluargamu. Biar aku mampu tentukan langkahku. Lagi, beningmu adalah jawabmu untukku.
Kembali kunyalakan rokokku. Kureguk sisa kopi terakhir. Kau menatapku. Sejak tadi tangismu berhenti. Aku tersenyum.
"Mas pulang, ya?"
"Sebentar lagi!"
"Sudah jam sembilan, kan?"
Kau gelengkan kepala. Reflek, kau lirik tangan kirimu. Aku tertawa. Tak ada jam di pergelangan tanganmu. Aku tahu, kau tahan tawamu. Kau berdiri, segera lenyap di balik pintu. Tak lama, kau sudah di sisiku. Kau ajukan jam tanganmu padaku.
"Kok, setengah sembilan?"