Tak pernah aku bertanya, tentang doa-doa yang dia ujarkan usai sembahyang. Mungkin saja tentang seribu satu keinginan yang terpendam, sejuta satu impian yang tersimpan diam-diam, atau satu rasa kehilangan yang teredam. Â acapkali hadir di sela-sela waktu. Tentangmu.
Tak pernah sembunyi. Dia merasakan kebanggaan, usai menuang perasaan pada berlembar-lembar lukisan. Merayakan keberhasilan, di saat mampu menuntaskan setiap hafalan. Pun tersaji seulas senyuman, walau berkisah tentang pelajaran yang tak terselesaikan. Dan semua terhenti, ketika sudut hati itu, tanpa pamit menggamit kenangan. Tentangmu.
Dia masih menyimpan sapa lembut jemarimu, yang tertanam nyaman di pelupuk ingatan. Mengulang sketsa canda tawamu, yang pernah menghiasi semua sisi kehidupan. Walau terkurung samar diantara bayangan dan kenangan.
Kau ada dalam setiap doa-doa. Satu-satunya cara menepikan kepedihan luka, dan menafikan kesedihan duka di paruh usia. Dia tahu! Tak ada lagi yang mampu dilakukan, di hadapan kuasa yang tak terbandingkan?
Aku pun menitip rindu pada bait-bait puisi, memberi jeda mengisi kekosongan hati. Agar menyediakan ruang untuk kisah-kisah baru, menyelami penantian tunggu cerita-cerita lalu. Biar aku menunda luka, tak segera hadir padanya.
Curup, 08.06.2019
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H