Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berani Sesudah Salah

26 April 2019   11:30 Diperbarui: 26 April 2019   14:44 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan pertama, senior selalu benar. Peraturan kedua, jika ada kesalahan lihat peraturan pertama. 

Pernah dengar, kan? Kode etik ajaib ini, acapkali berseliweran di perbincangan para junior jika kesal terhadap senior. Tapi tak punya "keberanian" melawan. Tentu saja, senior pernah atau bisa berbuat salah. Kan, manusia? Nah, makhluk manis yang bernama manusia pasti pernah membuat kesalahan, tah? Sepakat?

Hanya terkadang, manusia yang disebut senior, semisal penguasa negara, pimpinan perusahaan, atasan di tempat kerja atau orang tua di rumah. Ada kecenderungan sungkan mengakui kesalahan. Apalagi kepada manusia yang dianggap "berderajat" lebih rendah dalam hal pengetahuan, pengalaman, kekayaan atau kekuasaan.

Kesalahan fatal dan kasat mata sekalipun, sedapat mungkin ditutup-tutupi. Bahkan dengan membuat kesalahan yang baru lagi! Susahnya, hal itu akan menjadi "tiruan" para junior, jika nanti naik pangkat menjadi senior. Ahaaay...

Ini, ada dua contoh sederhana. Pernah berpesan pada anak "Bilangin, Ayah lagi tidur...", ketika ada seseorang menelpon atau akan bertamu? Misal yang lain, saat suami menelpon ingin tahu keberadaan anak dan istri, karena sudah maghrib belum pulang ke rumah. Istri menyuruh si anak menjawab, "Bilang masih di jalan. Sebentar lagi sampai rumah!", Padahal saat itu, Sang Istri dan Anak masih menikmati semangkok bakso?

Kenapa tidak berusaha jujur saja? Akan ada berbagai dalih dan alasan, juga sebab melakukan hal itu, ya? Namun "Dua kesalahan" kecil yang dianggap tak penting itu, berdampak besar mengurangi kepercayaan dan nilai kejujuran anak kepada orang tua, kan? Bahkan menjadi "pupuk" bagi anak. Siap-siap saja, dan jangan ngamuk-ngamuk bin mencak-mencak. Jika suatu saat, anak pun akan lakukan hal itu, dan orang tua yang jadi korbannya! Hiks...

Sumber: pixabay.com
Sumber: pixabay.com

"Mendidik kepintaran di otak anak saja dan tidak pada moralnya, dapat menjadi ancaman pada masyarakat di kemudian hari" [Theodore Rooselvelt]         

Bukti dan dampak quote diatas, bisa dilihat dari contoh dengan maraknya kasus korupsi. Ketika kepercayaan dan kejujuran menjadi barang mahal, padahal itu musti ditanamkan sejak kanak-kanak. Namun, bila dalam keseharian anak-anak terbiasa dalam ketidakjujuran. Nuraninya bakal tumpul dan tak merasa bersalah jika melakukan atau mengatakan kebohongan. Gawat, kan?

Menurut Patt dan Steve Sasso, yang terpenting itu membentuk "karakter yang baik". Setiap manusia memiliki hati nurani sebagai elemen dari karakter yang baik. Yaitu mendengarkan hati nurani dan menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap tindakan. Meskipun manusia tak selalu mengikuti hati nuraninya. Maka dibutuhkan integritas dan keberanian untuk melakukan apa yang benar dalam situasi apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun