Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rapor Itu, Suka Bikin Repot

24 Maret 2019   18:58 Diperbarui: 25 Maret 2019   09:45 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Eh, ibu mau kemana?"

"Ini loh Jeng, mau ngambil report!'

"Lah, kok repot diambil?"

 ***

"Anaknya sudah terima report, pak?"

"Oh, sudah. Hamdallah"

"Nilainya berapa, Pak?"

"Gak bisa patokan, naik-turun!"

"Gak apa-apa, Pak! Sekolahnya masih lama, kan?"

"Iya, tapi pas kuliah ga pakai rangking, ya Mas?"

***

"Anak bapak rangking, kan?"

"Nah, itu! Gurunya bilang, gak usah tulis kalo bukan 10 besar!"

"Iya, biarkan saja!"

"Gak! Aku suruh anakku ikut les!"

Euforia terjadi di daerahku! Tiga percakapan di atas hanya contoh. Gegara hari sabtu kemarin, hari vonis anak-anak sekolah. Mengenai segala sesuatunya si anak di sekolah! Guru, orang tua, siswa, sanak family orang tua dan siswa, kolega guru-guru, kolega ortu juga gank-nya anak-anak, sibuk berbicara isu hangat di kalangan siswa. Mungkin, kira-kira dua hari ke depan tentang "Rapor" menjadi trending topic!

Ilustrated by; pixabay.com
Ilustrated by; pixabay.com
Rapor [Report] Itu, Suka Bikin Repot 

Entahlah! Kenapa kita tetap saja betah menyebutnya rapor (Kadang, nulisnya pakai "t" jadi raport). Padahal, asasul-nya dari kata nginggris "report" (mungkin, sih!). Cuma aneh saja, jika diujarkan pakai spelling inggris.

Ternyata, memang disebut rapor lebih efektif, dari pada report yang emang bikin repot. Terus, rapor itu bermakna laporan hasil belajar siswa. Usai melalui rintangan belajar, ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester.

Coba saja lihat rapor itu. Biasanya, memuat macam-macam informasi, tak hanya hasil belajar. Misal tentang tidak masuk sekolah gegara gigi ompong! Izin sekolah karena tetangga dapat musibah. Atau catatan lain-lain semisal pernah dihukum guru atawa ketahuan memecahkan kaca jendela kantor. Artinya laporan "anak-anak bersekolah"! Bukan laporan "hasil belajar". Tuh, bikin repot kan?

Illustrated by; pixabay.com
Illustrated by; pixabay.com
Mengulik Dulu Keberadaan Anak Bersekolah, Sebelum Membaca Rapor

Aku tak sedang mengajak dan membahas seabrek teoritis evaluasi untuk satu lembaga pendidikan. Semisal sebagai alat untuk menilai kemajuan, menyusun strategi lanjutan. Bisa juga untuk memperbaiki atau melakukan sesuatu agar lebih sempurna. Dengan prinsip, fungsi atau tujuan dari sebuah evaluasi. Hanya mencoba mengulik ranah hulu-hilir entitas sekolah. Sehingga lega, dan tak marah-marah. Saat membaca rapor anak. Ahaay...

Pertama, Orang Tua Siswa. Alasan gampangku memasukkan orangtua di urutan pertama. Karena orang tua adalah guru pertama, sekaligus peletak dasar kosep pendidikan bagi anak. Dengan segudang harapan, yang terbaik untuk anak.

Celakanya, Banyak orangtua yang menyerahkan "utuh sepenuhnya" urusan pendidikan itu ke pihak sekolah. Tugas orang tua, adalah antar jemput dan sediakan dana. Terlupa, kalau peran orang tua juga sebagai pendidik dan figur terdekat si anak. Ujungnya, Marah-marah, saat hasil rapor tak sesuai harapan, kan?

Orang tua juga terlupa, menyigi apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi anak. Malah terjebak, dengan "keinginan" orang tua yang dititipkan pada anak.

Misal, Orang tua dulu gagal jadi dokter, maka anak diarahkan jadi dokter. Atau karena orang tua sukses jadi tentara, maka anak dipersiapkan jadi tentara juga. Salah? Gak! Mana ada orang tua yang mengaku salah. Kecuali sudah benar-benar salah, kan? Hehe..

Kedua, Siswa. Di dunia pendidikan kita, Siswa masih dijadikan objek dari pendidikan. Versiku, semestinya jadi subjek. Karena objeknya, pendidikan itu sendiri! Gegara sebagai objek, maka yang "terkuras" siswanya. Domain pendidikan, dalam hal ini sentuhan (Kognitif, Afektif dan Psikomotorik), saling bertabrakan saat eksekusi. Aku jahat, ya?

Alasanku; Anak-anak musti melahap kurikulum (Belasan rumpun ilmu wajib), kegiatan co-kurikuler (Kegiatan pendamping atau tambahan kurikulum) juga mesti ikuti kegiatan ekstra-kurikuler (kegiatan tambahan sesuai minat-bakat). Padat waktu dan modal? Iya. Efektifkah? Belum tentu. Bisa diharapkan anak maksimal dan tetap konsentrasi lalui itu? Aku susah jawab. Hehe

Ketiga, Guru. Aku gak mau bahas limitasi kesejahteraan. Guru sebagai pelaku utama, di ranah pendidikan. Terkadang memiliki banyak permasalahan jika tak layak disebut penderitaan. Mari kesampingkan urusan pribadi. Pola sertifikasi untuk peningkatan kesejahteraan, dengan beban mengajar harus 24 jam satu minggu. Membuat guru "terjebak" pada keribetan berkas administrasi.

Fokus guru terpecah! Mempersiapkan bahan ajar dan mengajar dengan baik, atau mengurusi berkas administrasi. Belum lagi jika yang bersangkutan kepala sekolah, dengan seabreg kegiatan kedinasan. Yang sukar ditimbang prioritasnya.

Ada lagi? Dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, Umpama di tingkat sekolah dasar. Dikenal dengan istilah guru kelas. Artinya, guru butuh kemampuan ekstra dan luar biasa. Agar menguasai multi-disiplin rumpun ilmu.

Susahnya, Perguruan Tinggi sedikit "terlambat" menyiapkan kompetensi keilmuan "multi-disiplin" ini, seumpama PGSD/PGMI. Silahkeun cek saja, berapa banyak guru SD yang memang alumni PGSD? Jika ditanya, itu resiko pekerjaan, kan? Benar. Tapi aku boleh tanyakan ini juga pada pembuat kebijakan, tah?       

Keempat, Stakeholder dan Sarana-Prasarana. Dua poin ini aku jadikan satu paket. Karena punya kaitan erat, sebab pihak sekolah "sukar" secara mandiri menyediakan sarana dan prasarana sekolah. Contoh terhangat, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Khusus di daerah, terkadang pemegang kebijakan "mewajibkan bahkan mirip memaksa" pihak sekolah untuk melaksanakan kebijakan pusat tersebat.

Sehingga abai memperhatikan, benarkah sarana-prasarana, atau sumber daya munusia di daerah sudah siap melakukan UNBK itu? Tak usah tanyakan betapa "keteteran" pihak sekolah (Kepala sekolah-dan guru), siswa juga orang tua siswa. Gegara satu kata "Komputer"? Contoh lain? Aih, banyakkan?

Illustrated by:pixabay.com
Illustrated by:pixabay.com
Rapor Sebagai Patokan Hasil Belajar Anak?

Boleh sepakat atau tidak. Apapun indikator penilaian yang dibuat sebagai kerangka acuan. Kemudian berbentuk nilai. Jika melihat empat hal yang diuraikan diatas, kukira Rapor "belum" dapat menjadi Patokan Hasil Belajar anak. 

Kasihan kepada anak! "Dihukum" dengan sekian lembar kertas. Setelah melalui rutinitas harian yang padat merayap, di sekolah juga luar sekolah. Anak-anak, kembali menjadi Objek, kan?

Ada beberapa alternatif, yang dipilih oleh orang tua. Ketika mendapati nilai anaknya rendah dibandingkan yang lain. Semisal ikut les privat, les di sekolah atau kelas-kelas bimbel non formal, kan? Maafkanlah!

Bagiku pribadi, Semakin menjamurnya lembaga pendidikan non formal semisal les atau lembaga bimbingan belajar, "membuktikan adanya kekurangan atau kegagalan" dalam pelaksanaan pendidikan di lembaga formal. Aku keliru? Bisa jadi. Logika sederhananya, jika kenyang di rumah sendiri. Ngapain cari makan ke rumah orang lain? 

Sudah sepanjang ini trus ngapain?  Itu aja! Hanya bagi sesiapapun. Jika miliki anak yang bersekolah. Biarkan ia nikmati itu. Sambil pelan-pelan "nitip" sesuatu berdasarkan momen! Tak perlu paksakan "kotak" kita pada anak. Toh, kecerdasan dan keajaiban masing-masing anak pasti muncul! Hanya perlu mencari tahu, bagaimana, kapan dan untuk apa dimanfaatkan itu. Jika ternyata kita sudah ketemu. Aku percayai itu!

Terus jika ditanya padaku, bagaimana ketika anak-anakku dewasa? Sabar, belum kupikirkan. sulungku baru mau tamat SMP! Nikmati aja alurnya sambil belajar kepada  yang tua-tua! Ahaay...

Curup, 24.03.2019

Zaldychan [ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun