Pertama, Orang Tua Siswa. Alasan gampangku memasukkan orangtua di urutan pertama. Karena orang tua adalah guru pertama, sekaligus peletak dasar kosep pendidikan bagi anak. Dengan segudang harapan, yang terbaik untuk anak.
Celakanya, Banyak orangtua yang menyerahkan "utuh sepenuhnya" urusan pendidikan itu ke pihak sekolah. Tugas orang tua, adalah antar jemput dan sediakan dana. Terlupa, kalau peran orang tua juga sebagai pendidik dan figur terdekat si anak. Ujungnya, Marah-marah, saat hasil rapor tak sesuai harapan, kan?
Orang tua juga terlupa, menyigi apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi anak. Malah terjebak, dengan "keinginan" orang tua yang dititipkan pada anak.
Misal, Orang tua dulu gagal jadi dokter, maka anak diarahkan jadi dokter. Atau karena orang tua sukses jadi tentara, maka anak dipersiapkan jadi tentara juga. Salah? Gak! Mana ada orang tua yang mengaku salah. Kecuali sudah benar-benar salah, kan? Hehe..
Kedua, Siswa. Di dunia pendidikan kita, Siswa masih dijadikan objek dari pendidikan. Versiku, semestinya jadi subjek. Karena objeknya, pendidikan itu sendiri! Gegara sebagai objek, maka yang "terkuras" siswanya. Domain pendidikan, dalam hal ini sentuhan (Kognitif, Afektif dan Psikomotorik), saling bertabrakan saat eksekusi. Aku jahat, ya?
Alasanku; Anak-anak musti melahap kurikulum (Belasan rumpun ilmu wajib), kegiatan co-kurikuler (Kegiatan pendamping atau tambahan kurikulum) juga mesti ikuti kegiatan ekstra-kurikuler (kegiatan tambahan sesuai minat-bakat). Padat waktu dan modal? Iya. Efektifkah? Belum tentu. Bisa diharapkan anak maksimal dan tetap konsentrasi lalui itu? Aku susah jawab. Hehe
Ketiga, Guru. Aku gak mau bahas limitasi kesejahteraan. Guru sebagai pelaku utama, di ranah pendidikan. Terkadang memiliki banyak permasalahan jika tak layak disebut penderitaan. Mari kesampingkan urusan pribadi. Pola sertifikasi untuk peningkatan kesejahteraan, dengan beban mengajar harus 24 jam satu minggu. Membuat guru "terjebak" pada keribetan berkas administrasi.
Fokus guru terpecah! Mempersiapkan bahan ajar dan mengajar dengan baik, atau mengurusi berkas administrasi. Belum lagi jika yang bersangkutan kepala sekolah, dengan seabreg kegiatan kedinasan. Yang sukar ditimbang prioritasnya.
Ada lagi? Dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, Umpama di tingkat sekolah dasar. Dikenal dengan istilah guru kelas. Artinya, guru butuh kemampuan ekstra dan luar biasa. Agar menguasai multi-disiplin rumpun ilmu.
Susahnya, Perguruan Tinggi sedikit "terlambat" menyiapkan kompetensi keilmuan "multi-disiplin" ini, seumpama PGSD/PGMI. Silahkeun cek saja, berapa banyak guru SD yang memang alumni PGSD? Jika ditanya, itu resiko pekerjaan, kan? Benar. Tapi aku boleh tanyakan ini juga pada pembuat kebijakan, tah? Â Â Â Â
Keempat, Stakeholder dan Sarana-Prasarana. Dua poin ini aku jadikan satu paket. Karena punya kaitan erat, sebab pihak sekolah "sukar" secara mandiri menyediakan sarana dan prasarana sekolah. Contoh terhangat, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Khusus di daerah, terkadang pemegang kebijakan "mewajibkan bahkan mirip memaksa" pihak sekolah untuk melaksanakan kebijakan pusat tersebat.