Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memaknai Divergensi dalam Berbahasa

12 Maret 2019   14:25 Diperbarui: 16 Maret 2019   20:47 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by: pixabay.com

Orang memerlukan dua tahun untuk berbicara, tetapi lima puluh tahun untuk belajar tutup mulut- Ernest Hemingway (1899 -1961)

Dulu, guru bahasaku sempat berujar, "Untuk mengetahui orang cerdas, simak dia berbahasa! entah itu bahasa lisan ataupun bahasa tulisan!"Ahaaay! Semoga rumus itu, masih berlaku.

Ingatan itu kembali hadir, saat aku menyimak "kejaiban-keajaiban" di linimasa berbagai media sosial. "Ajaib" menurutku, bukan hanya karena keterampilan merangkai diksi menjadi kalimat multi tafsir, namun juga kemampuan memaknainya, baik secara positif atau negatif, bisa juga secara produktif bahkan kontra produktif.

Sehingga, secara sadar atau tidak, keterampilan dan kemampuan itu menimbulkan divergensi atau perluasan makna. Bahkan menjauh dari makna sesungguhnya. Hehe...

Illustrated by : pixabay.com
Illustrated by : pixabay.com
Perluasan Makna (Divergensi) Acap Kali Memicu Kontroversi
Kata divergensi adalah serapan nginggris yang bermakna "perluasan". Kajian linguistik kata itu menurut KBBI online adalah proses terpecahnya suatu bahasa kepada beberapa dialek karena tiadanya fasilitas pendidikan yang standar dan kurangnya komunikasi.

Emejing, ya? Jika menggunakan rumus sebab-akibat terjadinya divergensi. Semisal urusan tiada/kurangnya standar fasilitas pendidikan bisa debatable. Karena, selain tentang kapasitas, juga needs, goods and interest setiap orang beda! Dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan kualitas memadai.

Apakah berpengaruh? Jawabannya, iya! Tapi apakah menentukan kemampuan seseorang berbahasa? Belum tentu.

Bisa jadi, adanya divergensi itu gegara kurangnya komunikasi. Kok bisa? 

Pasti sering menyaksikan seorang tokoh yang secara pendidikan formal, sudah melahap level akhir. Tapi ucapan dan tulisannya acapkali mengundang kontroversi, kan?

Kotroversi itu, bisa saja terjadi karena perbedaan standar nilai-nilai yang dianut. Atau perbedaan kemampuan menyerap makna ucapan dan tulisan itu. Mungkin saja gegara memiliki keterampilan berbahasa yang terbatas.

Sehingga malah memvonis akhir bernada tuduhan, "Tokoh itu, yang sekolah otaknya saja. Mulutnya tinggal di rumah! Makanya, suka bikin sakit hati!" Perih, ya? Hehe..

Illustrated by: pixabay.com
Illustrated by: pixabay.com

Bahasa Lisan Pelan-pelan Mulai Ditinggalkan!
Sejak di sekolah dasar dulu, aku pernah belajar pantun. Ada pantun budi pekerti, pantun perkenalan bahkan pantun jenaka. Pantun, tak hanya tataran gramatikal, tapi memiliki etika dan estetika tinggi, kan? Harus lengkap unsur yang mengandung sampiran dan isi. Bahkan TVRI dulu punya acara berbalas pantun! Pantun sekarang? Aku gak berani menilai. Hihi.

Ada juga petatah-petitih, yang biasanya dalam acara-acara adat digunakan, tak sembarang orang memiliki kemampuan itu. Seperti pantun, selain berisi, juga penuh pesona seni! Kukira, di belahan langit Indonesia manapun, ada tradisi petatah-petitih Ini.

Di Minang, tradisi bahasa Lisan ini mesti memiliki penguasaan 4 keterampilan. Dikenal dengan itulah "Kato Nan Ampek". Tak hanya tentang siapa yang berujar, Tapi apa saja isi ujarannya.

Pertama Kato Mandata. Kata-kata ini, dilakukan oleh orang-orang sebaya. Semisal sapaan "elu-gue", tak etis, jika digunakan kepada orang yang lebih tua.

Kedua, Kato Mandaki. Kata ini digunakan untuk merendahdirikan, sebagai penghormatan kepada lawan bicara. baik dari sisi usia, jabatan atau pengalaman. Terkadang juga usia sebaya bahkan lebih muda.

Ketiga, Kato Manurun. Biasanya, digunakan untuk orang-orang yang lebih muda. Keempat, Kato Malereang. Acapkali dimaknai sebagai bahasa kiasan, atau sindiran.

Semisal kalimat "besok, masih mau melihat matahari, kan?" Itu Kato Malereang bermakna ancaman. Tak mesti dengan bentakan dan teriakan. Tapi dengan satu sindiran sederhana, dahsyat namun mematikan. Kejam, ya? 

Pertanyaannya, berapa banyak orang yang memahami seni berkata lisan dan tulisan ini? Aku gak bisa jawab. Haha..

Illustrated by : pixabay.com
Illustrated by : pixabay.com
Bersama Tapi Tak Saling Bicara
Paulo Coelho, (Novelis) menuliskan, yang paling penting dalam hubungan manusia adalah "percakapan". Tapi sekarang, orang-orang tidak lagi bicara. Sepasang kekasih, pergi bersama menonton di bioskop, tapi tak saling bicara. 

Satu keluarga berkumpul di ruang yang sama, misal ruang tamu. Suami membaca buku, istri menonton televisi, anak-anak memegang gawai masing-masing. Bersama tapi tak bicara. Bisa membayangkan dan merasakan suasana seperti itu, kan?

Efek global media yaitu mengubah tatap muka, menjadi tatap mata; atau tatap suara bahkan tatap tulisan yang terkadang berubah menjadi gambar atawa simbol! Haha...

Jika sudah begitu, "kemampuan" berbahasa baik lisan ataupun tulisan pelan-pelan tergerus zaman. Yang berujung pada divergensi makna berbahasa dan bahasa itu sendiri, kan? Pahitnya, gegara divergensi itu, acapkali menimbulkan konflik!

Akh, sudahlah! Nanti aku pun dianggap melakukan divergensi hatespeech!

Curup, 12.03.2019
zaldychan
[ditulis untuk kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun