Akhir Mei 1995. Cap tiga jari adalah simbol sah ijazah. Satu tanda, akhir masa empat tahun, aku di Padang Panjang. Berakhir pula, engkrama The Ganks. Siang itu, Kafe "Borobudur" di depan Bioskop Karya Padang Panjang, jadi saksi. Moment akhir perpisahan The Ganks. Tak ada kesedihan. "Mpuanxs Ganks" tidak bubar. Hanya terpisah ruang dan waktu. Suatu saat, entah kapan. Akan kembali berkumpul. Doyex, Aren dan Athan. Melanjutkan ke Ciputat. Ketiganya, tak ikut UMPTN. Athan menatapku.
"Mpuanx, ikut UMPTN?"
"Belum tahu."
"Tapi di Padang, kan?"
"Iya. Bareng aku!"
Suara Pipinx terdengar. Aku terhenyak. Semua mata menatapku. Beralih pada Pipinx, yang tersenyum. Tangan kanannya, terkepal tinju. Diajukan ke tengah meja. Suara Pipinx terdengar lagi.
"Apapun yang terjadi. Mpuanx Ganks harus kuliah! Sepakat?"
"Sepakat!"
Lima tangan bertumpuk diatas meja. Koor The Gank, bergema memenuhi ruang kafe. Sesaat, pengunjung melirik sumber suara. Tidak pemilik kafe. Sudah kenal polah The Ganks. Saat datang pun, tak perlu lagi memesan. Menu yang disukai sudah tercetak di kepala pemilik kafe. Pertemuan hari itu, tak lama. Doyex pulang ke Teluk Kuantan, Aren pergi ke Baso Payakumbuh dan Athan kembali ke Lubuk Basung. Ketiganya berjanji bertemu di Ciputat. Saat mendaftar di IAIN Syarif Hidayatullah.
Usai maghrib. Aku di Santokola. Para pekerja masih sibuk beberes. Aku ikut membungkus kerupuk di lantai satu. Saat Pipinx memanggilku, agar naik ke lantai dua. Aku duduk dihadapan ayah dan ibu. Sepertinya pembicaraan serius. Ibu menatap Pipinx.
"Besok ke Padang?"
"Iya. Insyallah."
"Pakai Motor?"
"Naik Bus!"
"Kau ikut, kan?"
Aku terkejut. Mata ibu tertuju padaku. Aku menatap ibu. Beralih pada ayah. Seperti biasa, ayah berlaku sebagai pendengar. Kali ini, tersenyum seperti pipinx. Kuanggukkan kepala. Ragu.
"Pipinx sudah cerita. Uang pendaftaran Ibu kasih ke Pipinx!"
"Oh! Makasih, Bu!"
"Kau juga anak Ibu..."
Tak kudengar lagi, kalimat terakhir ibu. Kuraih tangan ibu, juga ayah. Tak tahu, apa yang harus kuucapkan. Kukira, ada airmata malam itu.
Lantai dua Santokola hening. Senyap. Tiga pasang mata menatapku. Aku terdiam. Tak lagi berminat bicara. Terlalu banyak kecamuk amuk di benakku. Ketika siku Pipinx, menusuk pelan perutku.
"Cewek Mpuanx. kuliah di Padang, Bu!"
"Hah!"
"Namanya Nunik!"
"Suratnya pernah datang kesini, kan?"
"Iya! Haha..."
"Piiinxs!"
Tak sadar, aku teriak. Tanganku bergerak, ingin menutup mulut Pipinx. Terlambat! Pipinx sudah berdiri, setengah berlari. Turun ke lantai satu. Tawanya terdengar semakin keras. Ibu dan ayah juga tertawa. Mungkin, melihat wajahku atau tingkahku. Aku lupa yang kuucapkan. Yang pasti, aku segera bangkit. Terburu menyusul Pipinx ke lantai satu.
Akh! Nik. Aku tak tahu masa depanku. Juga caraku untuk meraih itu. Saat ini, aku mengingatmu. Tak ada suratku. Sejak surat terakhirmu. Aku sudah berjanji. Besok, kan kucari. Dan kutemui. Dirimu.
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H