Aku memandangmu, menyigi sosokmu. Mengingat lalu waktu, lajunya menipuku. Aku tahu, dan cukup hanya bagiku. Kurasakan kehilanganmu. Tak lagi mau, tapi saat itu. Sore sabtu itu, tak pantas ungkapkan rindu. Tak layak ucapkan itu. Untukmu.
Kau tak melihatku. Bang Afiq, Abangmu. Sibuk mengurus bagasi barang. Aku mengawasimu. Dan kurasakan. Hendra menatapku.
"Hei! Itu Nunik, kan?"
"Iya."
"Sudah Janjian?"
"Apa?"
"Pulang bareng?"
"Kan belum bertemu?"
"Serius?"
Hendra juga eri menatapku. Menggali kesungguhan ujaranku. Aku tersenyum, anggukkan kepala. Dan duduk terdiam. Sejak dulu. Entahlah, persekongkolan tingkat apa. Aku tak mau tahu. Semua teman yang kenal dan dekat. Percaya, jika kau dan aku memiliki hubungan khusus. Masa empat tahun, tak mengubah itu. Aku pun tak mau mengubahnya. Kubiarkan itu, menjadi alarm bagiku. Aku pernah. Menitip janji di hatimu. Untuk mencarimu.
Kau duduk di bangku loket. Abangmu melihatku. Berjarak puluhan meter. Aku tersenyum, mengangkat tangan kananku. Kau terkejut. Tersentak berdiri. Ketika Abangmu ajukan jari telunjuk ke arahku. Pandanganmu ikuti jari itu.