Macan Kumbang penguasa daratku, terikat di batang tebu. Di jaga Sekumpulan Elang. Jalak Hitam, penguasa Udaraku terikat Cacing Pita. Tak bergerak, dijepit ekor puluhan burung Cendrawasih. Aku nyaris menangis, melihat Labilabi. Penguasa airku, sibuk menelan cairan bayam. Dipaksa oleh Komodo dan burung Kakaktua.
Orang Utan terlihat cantik memakai sari. Badak kenakan kacamata hitam, melakukan gerakan lincah energik. Sesekali teriak aye..aye! Mataku terasa berjamur. Tak lagi jelas apa yang sudah terjadi di luar.
aku bergegas keluar pintu. Malin Kundang menghadangku. Tanpa kuketahui datangnya, Kancil bergegas duduk bersila dihadapanku. Anggun, seraya anggukkan kepala memintaku duduk. Tak ada pilihan. Kuikuti isyarat Kancil.
"Anda terkejut?"
Aku terperangah! Kancil berbicara menggunakan kata "Anda". Bukan "Bapak" atau "Yang Mulia" seperti biasa. Tapi, posisi dan situasi saat ini, tak menguntungkan bagiku. Amarah kusimpan diam-diam di hati.
"Ada apa, Ini?"
"Anda tenang saja di dalam rumah!"
"Tapi..."
"Kami tak akan mengambil kekuasaan Anda! Â Santai saja! Kami akan mengatur diri kami sendiri!"
"Macan Kumbang, Jalak Hitam juga..."
"Mereka Marah! Ingin pindah. Tapi tak disetujui teman-teman!"
"Eh? Pindah? Maksudmu..."
"Mulai tadi pagi, Disini bebas! Mau pilih warga mana saja. Atau negara mana saja. Tiap hari tukar juga boleh!"
"Hei!"
"Semua setuju, kok! Termasuk tiga anak buah Anda itu! Tapi di tolak!"
"Tapi Kenapa?"
"Untuk apa lagi bertahan? Para legenda kecewa. Tak lagi dikenal. Bahkan Sudah dilupakan! Aku, Roro Jonggrang, Â Bimba, si Pahit Lidah, Orang Utan, Komondo, Cendrawasih, Badak..."
"Sudah! Sudaaah!"
"Kami merasa, Anda..."
"Diam! Siapa yang punya ide ini?"
"Malin Kundang!"
Aku terpaku. Bocah itu lagi! Mataku menatap Malin Kundang yang masih berdiri tanpa ekspresi. Seakan menjaga Kancil yang masih tenang duduk bersila. Kali ini Kancil tidak lagi tersenyum.
"Kembalilah ke dalam. Aku jamin! Tak kan ada yang ingin mengganggu Anda!"
"Eh! Sejak kapan kau berani mengaturku!"
Suaraku terdengar keras. Dalam sekejap, Gatot Kaca segera menghampiriku. Bawang putih dan Bawang merah melangkah kearahku. Buto Ijo, si Pahit Lidah, Bobo dan Paman Gembul. Bimba, si Kuncung, Bona si Gajah Kecil sudah mengelilingiku.
Aku menelan ludah. Merasa kalah. Kancil, dengan anggun. Kembali anggukkan kepala. Memintaku masuk. Aku segera berbalik badan menuju pintu. Tapi kembali kalah oleh rasa ingin tahuku. Sekilas aku melirik Malin Kundang. Kemudian menatap Kancil.
"Sejak kapan berubah? Bukankah Malin Kundang, sudah membatu?"
"Malin Kundang telah dimaafkan Ibu Pertiwi!"