Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Power of Love" [10]

4 Februari 2019   16:11 Diperbarui: 8 Agustus 2019   09:22 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Bang! Bangun..."
"Eh!"

Itu suaramu. Membuatku terjaga. Kau sudah disampingku. Aku gelagapan terburu memakai baju. Masih berkain sarung. Selimut hanya menutupi kaki. Mungkin Amak yang selimuti. Kau tertawa. Menikmati panikku. Amak pun tertawa. Sembari menuruni tangga. Aku tertidur usai shubuh di lantai dua. Didepan TV yang berganti fungsi. Menonton tidurku.

"Akhirnya..."
"Apa.?"
"Gaaak..."
"Eh?"
"Nik tahu, gimana Abang tidur...!"
"Kan, pejam mata?"
"Hehe..."
"Udah lama?"
"Setengah jam!"
"Waduh!"
"Haha..."

Setengah jam? Kau sengaja menunggu. Membiarkan tidurku. Aku melirik jam yang tergantung di dinding. Hampir jam delapan. Masih terlalu pagi bagiku. Hari itu minggu. Dua hari jelang lebaran. Sarapan pagiku senyummu. Tak merusak puasaku. Aku menatapmu. Sepagi ini gadisku sudah disini? Aku tahu. Datangmu bukan sebab rindu. Kau menatapku sembari melipat selimutku. Senyum itu betah di bibirmu.

"Antar Nunik, mau?"
"Ya..."
"Ke pasar!"
"Oh!"
"Beli bahan dapur!"
"Yup!"
"Nanti sore, Nik pulang ke Muara Aman."

Suaramu lirih. Senyum itu lenyap. Kau menunduk. Aku jadi tahu alasanmu. Sepagi ini bertemu aku. Aku segera bangkit. Bersiap. Meninggalkanmu sendiri menikmati sunyi. Aku tahu gelagat itu. Tak kubiarkan beningmu merusak pagiku.

"Kita ke Pasar Atas, Bang..."
"Senyum dulu!"
"Eh?"
"Atau tak usah pergi!"
"Iiih..."
"Aduuuh!"

Cubitanmu saat bersiap pergi. Sarapan keduaku sepagi ini. Kau menoleh ke belakang. Khawatir Amak melihatmu. Terlambat! Amak sudah melihat itu. Tersenyum dan segera memasuki rumah. Wajahmu pancarkan semburat merah. Aku tertawa lepas. Kau tertawa namun tertahan. Bercampur malu. Minggu pagiku tak lagi mendung.

Jelang dzuhur. Belanja kebutuhanmu usai. Dan kembali ke rumah. Alasanmu belum pamit dan bermaafan dengan Amak. Aku tahu. Itu caramu padaku. Untuk ungkapkan rasamu untukku. Kau pun tahu. Aku tak pernah mau. Jika diajak belanja di pasar. Namun tidak kali ini. Aku mau. Karena itu caraku padamu.

"Bang..."
"Iya."
"Nunik belum tahu kapan balik ke Curup."
"Terus?"
"Maafkan Nunik!"
"Sampaikan salam dan maafku. Untuk Ayah dan Mamak!"
"Eh..."

Pulangku, ke rumah adalah bonus. Sejak memutuskan. Pergi dari Curup. Pulang adalah kata langka bagiku juga keluargaku. Kau sudah tahu itu. Pulangku kali ini Ingin bertemu keluargamu. Agar tak perlu sembunyi. Saat meniti rasa dan asa. Tapi tidak saat ini. Inginku harus terhenti. Pintamu aku mengerti. Dan mesti menanti. Entah sampai kapan.

"Bang..."
"Cukup ucapkan dalam hati. dengan hatimu!"
"Hah?"
"Tak perlu ujarkan!"
"Eh!"
"Mau lakukan itu?"
"Iya..."
"Berhentilah menangis! Mau bertemu Mamak, kan?"

Kau menatapku. Menikam manik mataku. Seperti mencari sesuatu. Kau tersenyum. Mengambil tangan kananku. Menaruhnya didahimu. Tangan kiriku menyentuh ubun-ubunmu.

"Nik! Kita bersama meniti nanti. Untuk kata pasti. Cukup yakini itu!"

***

#Nik

#GetMarried #PowerofLove

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun