Mohon tunggu...
Zaldy Zaldy
Zaldy Zaldy Mohon Tunggu... -

Rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tahun Politik dan Negara Semak Belukar

1 Agustus 2013   10:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:45 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan politik dinegeri ini begitu bergemuruh,apalagi mendekati pemilu,ibarat gunung yang hendak meletus,semua berlomba mengeluarkan tenaga yang ada didalamnya. Bergemuruhnya kehidupan politik dinegeri ini begitu menarik, ibaratnya politik telah menjadi panglimanya,menjadi segalanya, maka semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan akses kekuasaan politik,agar memudahkanmendapatkan kekuasaan jabatan yang ujung-ujungnyapada pelipat gandaan kekayaan pribadi.Di negeri Pancasila yang masyarakatnya telah materailistis ini, bukankah ukuran utama dan nyaris satu-satunya,keberhasilan seseorang itu hanya pada jabatan dan kekayaan?Walaupun, Entah dengan cara seperti apa jabatan tersebut diperebutkan dan kekayaan itu didapatkan?. Maka hari-hari ini dan berikutnya, di negeri ini akan terus kita saksikan, begitu banyaknya orang yang telah berprofesi dan berkedudukan berhasrat tinggi untuk menjadi pemain politik, artis menjadi politikus, pengusaha menjadi politikus, olahragawan menjadi politikus,akademisi menjadi politikus, aktivis menjadi politikus,pegawai menjadi politikus,pensiunan menjadi politikus ,bahkan para preman pun bernafsu menjadi politikus. Inilah Demokrasi Indonesia.

Tahun 2014, kata orang adalah tahun politik, ditahun inilah perebutan kekuasaan dilakukan, dan start para pemain politik, pun telah di mulai hari-hari ini, diberbagai tingkatan, baik di desa sampai ke kota. Tahun ini dan tahun depan adalah tahun spanduk,spanduk para pemain politik pun bertebaran dimana-mana dengan beragam gaya dan kata,dan berbarengan momentum ramadhan,kelihaian mereka untuk menarik simpati pun patut diacungkan jempol,ucapan selamat menunaikan ibadah puasa disertai gambar diri dan partainya, semarak ada dimana-mana.

Berbeda dengan media spanduk yang biayanya dapat dijangkau oleh semua pemain politik,para calon wakil rakyat yang terhormat, maka media televisi pun menjadi tempat menabur pencitraaan, bedaanya, media ini hanya untuk orang-orang tertentu,pemilik modal besar,lebih khusus adalah pemilik televisi itu sendiri yang kebetulan juga seorang tokoh politik. Di televisi pribadinya, hampir setiap hari mereka mengiklan diri mereka, dengan beragam cara, mencitrakan diri,keluarga dan partainya sebagai yang terbaik. Pada batas tertentu mereka seperti tidak memiki kepekaan, bahwa banyaknya iklan yang disemburkan setiap hari, demi popularitas telah membuat banyak orang muak.

Memaknai hinggar bingar perilaku pemain politik,perasaan kita begitu beragam antara bangga dan sedih. Bangga karena,meriah danbebasnya kehidupan demokrasi di negeri ini, sesuatu hal yang sangat sulit diwujutkan dibelahan bumi lainnya. Namun diantarakebanggaan tersebut,tersembul juga rasa sedih, karena di antara begitu banyak tebaran spanduk dan iklan para pemain politik didalam menyambut hajatnya,sebagian orang berkenyit tentang manfaat langsung kemeriahan demokrasi yang telah dirasakan masyarakat. Mengapa begitu cepat perubahan hidup yang didapat para pemain politik itu namun begitu lambatnya perubahan hidup yang dirasakan masyarakat pada umumnya. Mereka tentu, tidak anti terhadap reformasi dan demokrasi yang telah terjadi dinegeri ini, sebahagian mereka mungkinadalah pelaku dan pendoanya dimasa lalu.Mereka Cuma bingung, ketika energi bangsa ini habis untuk kegiatan politik sepanjang tahun, dengan biaya yang luar biasa besar,kenapa hanya melahirkan begitu banyaknya setan- setan politik, bukan malah malaikat di negeri ini?.

Di era reformasi ini, kita belum melihat suatu proses yang jelasbahwa terowongan didepan telah terlihat dengan terang benderang menyambut hangatnya perubahan hidup bagi setiap orang, yang tejadi hanya lampu kelap kelip, sepanjang jalan, kadang terang namun lebih banyak gelapnya. Terang bagi sebahagian kecil orang,gelab bagi kebanyakan orang.Kekacauan hidup, begitu menyeruak dinegeri ini,baik bagi pribadi maupun masyarakat, bagi rakyat kecil maupun pembesarnya.Banyak hal yang melanggar hukum menjadi biasa dinegeri ini. Menyakiti dan mengkasari orang yang pandangannya berbeda biasa terjadi,mengambil sesuatu yang bukan miliknya menjadi sesuatu hal yang lumrah terjadi. Banyak hal yang timpang terjadi di negeri ini, ada masyarakat yang begitu mudah berobat, ada masyarakat yang begitu kesulitan ketika sakit,ada masyarakat yang begitu mudahnya menyekolahkan anak,namun banyak juga anak-anak kecil yang terputus sekolah.Ada masyarakat yang pergi kemana-mana mengunakan kendaraan kelas satu dari negara luar, ada juga masyarakat yang kemana-mana dengan penuh kesulitan. Ada banyak hal aneh di negeri ini, ketika masyarakat menyaksikan, para pelayanan mereka,yang digaji dari uang rakyat, mempertontonkan kemewahan hidupyang gila-gilaan yang tidak sebanding antara pendapatan resmi dan pengeluaran,keanehan pun sering kita saksikan ketika para penegak hukum secara kasat mata malah mempermainkan hukum demi jabatan dan kekayaan. Di bawah pun kita saksikan, ketika banyak pedagang kecil melakukan tindakan-tindakan kecurangan didalam menjual,betapa hari-hari ini kita bisa saksikan di sebuah stasiun televisi,begitu mudahnya dan tanpa rasa bersalah, ketika mereka menjual makanan dengan bahan-bahan bekas,sampah bahkan beracun yang berbahaya,yang mana para penyantap utamanya adalah anak-anak kita.

Maka, ketika bangsa ini tengah asyik berpolitik lebih tepatnya dipermainkan oleh para pemain politik, moralitas dankepribadian setiap orang dinegeri ini, sadar ataupun tidak sedang menurun tajam. Ada sedikit orang yang peduli,namun banyak pula orang yang tidak peduli dan mereka yang tidak peduli ini,tampaknya tengah berlomba mendapatkan kekuasaan, kekayaan dan harkat martabat.Beberapa tokoh masyarakat dan agama tampak peduli, mereka bersuara.Dan meraka memang wajib bersuara,tapi sayangnya suara mereka tidak didengar oleh penyelenggara negeri ini. Memang menyedihkan, ketika suara tokoh masyarakat dan agama hanyalah menjadi lembaran catatan di media cetak,hanyalah ungkapan terekam dimedia televisi,kalau kenyataannya hampir semua kita sedang bersama-sama memperosokan negeri ini.

Kemajuan seolah datang di negeri ini,pertumbuhan ekonomi tinggi,lapisan kelas menengah berkembang, mobil-mobil berserakan dijalan,mal-mal tumbuh bak cendawan diwaktu hujan,orang-orang baik kaya maupun miskin menenteng gadget, smartphone canggih kemana-mana. Terus apa yang dikhawatirkan?.Pertumbuhan ekonomi yang tinggi apakah benar-benar berkualitas?. Bukankah pertumbuhan itu disokong karena begitu banyaknya rakyat di negeri ini yang kebetulan begitu komsumtif daripada produktif,dan kemana larinya pertumbuhan ekonomi itu? Ketika kemiskinan begitu berserakan didesa-desa.Mobil memang berserakan dijalan seolah negeri ini negeri kaya,tapi dampaknya kedepan seperti apa bagi negeri ini, bukan hanya polusi, kecelakaan, kesemrawutan, tapi juga pemborosan besar-besaran telah terjadi. Suatu saat di negeri ini,mungkin orang memiliki mobil, tapi tidak bisa memakainya kemana-mana, bukan hanya karena macet tetapi karena orang tidak mampu lagi membeli bensin,karena pemerintah kedodoran untuk mengimport BBM dari Negara lain dan uang untuk subsidinya tidak ada lagi, yang lebih menyedihkannya pemerintah tak mengantipasi dengan membangun sistem transportasi massal yang layak.Begitu juga mal yang berserak dimana-mana yang menghantam peruntukan tata ruang yang semestinya, yang pada akhirnya mendukung terjadinya kemacetan dan banjir dimana-mana seperti yang terjadi di Jakarta. Barang-barang elektronik canggih khususnya smarphone telah menjadi bahagian hidup hampir semua orang,orang tidak terbebani membeli pulsa setiap hari hanya untuk curhat-curhatan, namun ketika harga BBM dinaikan,premi asuransi dikenakan, semua orang keberatan.Dan mereka yang keberatan bukan hanya kalangan miskin tapi juga lapisan menengahnya, yang silau oleh kenikmatan sesaat.

Bangsa ini memang tumbuh,tapi tumbuhnya bagai semak belukar raksasa, tumbuh kemana-mana,tak berwujut keindahan tapi kesemrawutan. Kadang susah bagi kita menentukan mana akar, batang, daun dan bunganya karena semuanya saling menutupi,melingkari,dan melindungi. Dan ketika kebaikan ingin datang merapikan, duri-duri yang bertebaranmenghambatnya. Tampaknya ada yang memperoleh keuntungan dari setiap proses kesemrawutan dinegari ini.

Ketika bangsa lain, berlomba-lomba membangun negaranya sepertisebuah taman, sudah seharusnya kita sadar,bahwa hasil akhir dari kedua tempat itu akan berbeda. Semak belukar yang susah dibersihkan, hanya akan menjadi tempat kotor,tempat orang membuang sampah, tempat kriminalitas bahkan bisa digunakan sebagai tempat kemaksiatan bagi orang-orang tertentu. Ditempat seperti ini,sangat susah membangun etika,nilai, dan moralitas . Semua adu siasat,adu kuat, dan keteladan menjadi barang langka.Tempat yang luas yang berantakan seperti ini tidak baik dipakai untuk tumbuh dan berkembangnya anak-anak.

Sedangkan sebuah taman yang berhasil dibangun dan dipelihara dengan sebaik-baiknya dengan berbagai pepohonan dan fasilitas yang menawan,maka orang akan takut mengotorinya, merasa berdosa untuk merusaknya,tidak ada sampah berserakan, tidak ada kriminalitas,dan anak-anak pun akan senang bermain,orang tua yang ceria memandangnya tanpa kekhawatiran,burung-burung pun berterbangan dengan bebas tanpa takut diburu,karena orang-orang yang ada di tanam mengerti bahwa burung-burung itu ada untuk keharmonisan alam. Ada kondisi positif yang membentuk keteduhan,keindahan,kenyaman dan keteraturan bagi lingkungan. Di tempat seperti inilah kemungkinan besar etika dan nilai dapat terbangun.

Kita ingin bangsa ini dibangun seperti sebuah taman, bukan dibiarkan tumbuh bagai semak belukar yang menakutkan anak-anak.Sebagai bangsa yang besar,yang memiliki kekayaan melimpah ruah, kehidupan luhur nenek moyang,ideologi Negara yang sakti serta keyakinan keagamaan pada diri setiap orang,sudah sepatutnya kita mampu membangun taman yang lebih indah dibanding bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki modal seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun