Mohon tunggu...
Zaldy Zaldy
Zaldy Zaldy Mohon Tunggu... -

Rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi, Hukum, dan Masyarakat

24 Februari 2012   02:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak orang gelisah dengan perilaku penyelenggara negara yang korup. Perilaku mereka yang memanfaatkan kekuasaan untuk menyelewengkan anggaran negara telah benar-benar mengoyak rasa keadilan terdalam masyarakat. Begitu banyak kontradiksi yang nyata-nyata bisa kita lihat, baca dan dengar antara kehidupan  masyarakat kecil dengan penyelengara negara. Ibarat bumi dan langit. Ketika masyarakat kesulitan untuk menjalani kehidupan, para penyelengara negara begitu mudahnya mengeluarkan uang untuk kenikmatan dan kepentingan mereka. Ketika anak-anak di Lebak Banten harus mempertaruhkan nyawa menyeberangi jembatan yang rusak parah untuk kesekolah,penyelenggara negara di parlemen begitu mudahnya mengeluarkan dana yang sangat besar demi sebuah ruang sidang yang kecil. Satu demi satu pertunjukan yang dipertontonkan oleh penyelenggara negara di republik ini membuat kita muak, karena nafsu duniawi mereka benar-benar tidak terkontrol dan nafsu itu menuntun mereka untuk terus mengorbankan masyarakatnya

Penyelengara negara, didominasi oleh birokrasi dan politisi. Meraka ada di lembaga eksekutif,legislatif dan yudikatif. Merekalah yang mempunyai kekuasaan untuk merencanakan, mengumpulkan dan menggunakan anggaran. Karena kekuasaan yang besar, mereka pulalah yang juga mendominasi kasus-kasus korupi di negeri ini. Pertanyaanya adalah mengapa mereka berani melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas di larang oleh agama dan juga ideologi negara, Pancasila?.

Banyak hal yang membuat orang berani melakukan korupsi. Namun ada dua hal pokok yang mendorong korupsi marak di negeri beragama dan Pancasila ini. Pertama masalah penegakan hukum yan lemah dan kedua masalah sanksi sosial yang tidak ada dimasyarakat.

Hukum tunduk ditangan penguasa

Kita miris melihat perlakuan hukum terhadap manusia di Indonesia. Ketika orang-orang kecil, orang-orang pinggiran yang tidak mempunyai kekuatan kekuasaan dan uang, berhadapan dengan hukum, penegak hukum begitu perkasa menegakan pedangnya. sebaliknya ketika orang-orang yang  memiliki kekuasaan dan uang berhadapan dengan hukum, penegak hukum seperti gagap,tumpul untuk menghunus pedangnya. Alhasil orang-orang kecil yang mencuri kakao,piring,sandal dihukum tidak jauh berbeda dengan pejabat yang mengkorup milyaran uang negara. Ini tidak adil, siapapun yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya pantas dihukum, namun tentu lamanya masa hukuman tersebut harus berbanding lurus dengan akibat yang ditimbulkanya.

Kekuasaan, baik kerena kekuatan jabatan maupun kekuatan uang, mampu mengatur hukum dinegeri ini, para pemilik kekuasaan yang terlibat kasus hukum mampu mengatur hukum melalui permainan antara pengacara,polisi,jaksa dan hakim sehingga akhir keputusan dipersidangan sangat menguntungkan terdakwa, apakah ia diputus bebas maupun dihukum dengan masa kurungan yang ringan. Belum lagi dipotong masa remisi yang bisa didapat oleh siapapun yang sedang menjalani masa hukuman.

Akibat dari hal ini  pelaku korupsi yang melibatkan aparat negara, tidak jera melakukakan tindakan korupsi terus menerus, karena mereka memiliki keyakinan bahwa korupsi lebih menguntungkan daripada tidak melakukan korupsi, tidak hanya menyangkut masa hukuman yang ringan namun hasil korupsi masih tersisa banyak setelah mereka keluar dari penjara. Dalam logika para pelaku korupsi, seandainya pun mereka harus berhenti bekerja, kekayaan dan simpanan tabungan yang telah mereka miliki akan lebih besar daripada  gaji yang diterima selama sisa masa kerja mereka.

Hilangnya sanksi sosial masyarakat

Selain lemahnya penegakan hukum yang dilakukan aparat negara, hal lain yang membuat korupsi seperti tidak habis-habisnya juga dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap pelaku korupsi itu sendiri'. Kita secara keseluruhan memberikan andil bagi suburnya praktek korupsi itu sendiri.

Didalam sebuah wawancara televisi ketika membahas film Kita dan Korupsi yang diproduksi oleh KPK dan bekerjasama dengan Transparancy International Indonesia (TII) dan Usaid, Teten Masduki mengeluhkan sikap masyarakat yang terlalu lemah terhadap pelaku korupsi. Masyarakat seperti tidak memiliki keinginan untuk memberi efek jera kepada pelaku korupsi melalui sanksi sosial yang dapat mereka lakukan. Menurut Tetan, Banyak pelaku korupsi yang masih mendapat penghormatan semata-mata karena ia pejabat, memiliki kekayaan dan pernah memberikan sumbangan bagi pembangunan rumah ibadah ataupun kegiatan soaial. Mereka mendapat dukungan ketika dipersidangan dan juga penyambutan hangat ketika masa hukuman berakhir.

Kalau sikap masyarakat terhadap pelaku korupsi masih seperti ini, tentu di benak para pelaku korupsi, korupsi bukanlah beban sosial karena penilaian masyarakat terhadap seseorang,penghormatan masyarakat terhadap seseorang lebih karena kekayaan yang dimiliki bukan perilaku sesorang itu merugikan atau tidak.

Banyak orang yang khawatir, sikap diam sebahagian besar masyarakat terhadap pelaku korupsi,karena sebahagian besar masyarakat mengangap korupsi adalah tindakan yang wajar dan sebahagian besar orang pernah melakukan tindakan korupsi dalam skala yang kecil sekalipun. Kalau ini yang terjadi berarti korupsi sudah menjadi budaya dinegara ini.

Oleh karena itu selain  menuntut presiden sebagai penyelengara negara tertinggi untuk terus menerus membenahi aparat penegak hukumnya, maka masyarakat pun harus melihat ke dalam, ke diri dan keluarganya  masing-masing untuk terus-menerus membangun pendidikan keluarga yang berbasis moralitas. Sehingga lambat laun gerakan melawan korupsi membudaya didalam setiap diri kita masing-masing dan gerakan ini mencengkram dan membatasi keinginan penyelengara negara untuk melakukan korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun