Sains pun sebenarnya bisa jadi sangat sederhana kalau basis pengajarannya adalah pengalaman. Tentu saja pengalaman itu tetap harus ditambahi dengan keterangan soal rumusan hukum-hukum. Tapi hukum-hukum itu akan jauh lebih mudah kita ingat bila situasi yang dijelaskan oleh hukum tersebut sudah kita pahami terlebih dahulu.
Sebenarnya ini tidak spesifik soal sains saja. Semua pelajaran begitu. Pelajaran bahasa menjadi sangat rumit ketika kita diminta menghafal berbagai istilah bahasa. Demikian pula, pelajaran sejarah menjadi kumpulan hafalan tentang nama tempat, tanggal, dan nama orang. Padahal kalau kita membaca sebuah novel atau buku cerita, kita bisa mengingat jalan ceritanya.
Meski sebenarnya sadar soal situasi itu, guru-guru kita tak melakukan banyak hal untuk mengubah metode mengajar. Parahnya, kita juga tak melakukan perubahan metode belajar. Hal-hal yang kita anggap rumit, kita terima sebagai takdir. Kita tak mencari cara untuk memudahkannya. Ketika orang dewasa tak paham, mereka tak berusaha untuk paham. Yang mereka sadari cuma satu hal, bahwa kewajiban mereka untuk belajar sudah selesai saat mereka tamat sekolah.
Yang harus dilakukan sebenarnya membangun mekanisme pengajaran yang membuat siswa paham, bukan memperbanyak materi pelajaran. Hasil akhir yang sebenarnya lebih penting dari proses belajar adalah kemampuan belajar mandiri sebagai orang dewasa. Kalau seseorang sudah punya kemampuan itu, ia bisa menambah sendiri materinya.
Kacaunya, fokus sistem belajar kita tidak di situ. Murid-murid seakan hendak dibekali dengan sebanyak mungkin pengetahuan agar mereka tahu. Padahal yang mau membekali pun banyak lupa soal apa yang pernah mereka pelajari.
Pendidikan kita harus diubah, dari pendidikan yang mengajarkan pelajaran, menjadi pendidikan yang mengajarkan cara belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H