Mohon tunggu...
Zaldi Euli
Zaldi Euli Mohon Tunggu... -

warga negara yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Balada Plastik Berbayar

23 Februari 2016   15:15 Diperbarui: 23 Februari 2016   15:45 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kantong Plastik (coolerlifestyle.com)"][/caption]

Beberapa hari ini kita disuguhi pemberitaan yang cukup memberikan angin segar bagi keberlangsungan lingkungan hidup kita. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) baru saja menyepakati ujicoba kebijakan plastik berbayar untuk enam bulan ke depan di 24 provinsi. Setiap konsumen dibebankan Rp 200 per kantong plastik sebagai harga minimal.

Kebijakan tersebut disosialisasikan dengan Surat edaran KLHK kepada Kepala Daerah melalui surat nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016, tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Menurut Siti, Kebijakan pemerintah ini bertujuan untuk mewujudkan Indonesia bebas sampah 2020.

Seberapa besarkah kebijakan ini akan berpengaruh terhadap lingkungan?

Sebagaimana kita ketahui secara umum, plastik bukanlah bahan yang ramah lingkungan. Plastik merupakan istilah umum bagi polimer. Polimer adalah material yang terdiri dari rantai panjang karbon (C) yang mengikat atom hidrogen (H) serta atom oksigen (O) yang mudah diolah menjadi bentuk dan ukuran yang beragam. Di sisi lain, keberadaan plastik sangat populer di Indonesia hingga saat ini. Berdasarkan Data Riset Indonesia, terdapat 67 perusahaan besar yang memproduksi barang-barang berbahan plastik di Indonesia. Plastik merupakan bahan dasar dalam pembuatan kantong plastik yang kerap kita gunakan sehari-hari.

Di tengah upaya pemerintah menanggulangi pemanasan global, kantong plastik masih menjadi pilihan favorit masyarakat sebagai alat pembungkus yang mudah dan murah. Mulai dari pedagang warung-warung kecil hingga supermarket kelas atas menyediakan kantong plastik untuk para pelanggannya. Data yang dihimpun Jakarta Globe, Indonesia termasuk dalam peringkat kedua di antara negara-negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, di belakang Cina. Indonesia menghabiskan 187,2 juta ton setiap tahunnya. Tak heran, sampah kantong plastik sangat mudah dijumpai di berbagai penjuru negeri.

Berdasarkan sulit tidaknya penguraian, kantong plastik terbagi menjadi 2, yakni kantong plastik biodegradable dan kantong plastik non biodegradable. Kantong plastik biodegradable merupakan jenis kantong plastik yang dapat terurai dalam waktu yang relatif cepat (6 bulan sampai 5 tahun) oleh bakteri pengurai di alam bebas. Sebaliknya, kantong plastik non biodegradable adalah kantong plastik yang tak ramah lingkungan karena membutuhkan waktu 500 hingga 1000 tahun untuk dapat terurai sempurna.

Tingkat penggunaan kantong plastik, terutama plastik berjenis non biodegradable terbilang sangatlah tinggi. Tingginya angka penggunaan kantong pengemas berbahan baku plastik ini didasarkan pada delapan sifat positif yang dimiliki plastik. Kantong plastik memiliki sifat kuat, ringan, fleksibel, tidak mudah pecah, anti karat, isolator panas dan listrik yang baik, mudah dibentuk, serta mudah dalam hal pewarnaan. Selain kedelapan sifat positif kantong plastik di atas, kantong plastik yang sudah terbuang juga dapat didaur ulang menjadi kantong plastik baru.

Kantong plastik daur ulang merupakan salah satu jenis kantong plastik non biodegradable. Namun, di tengah sifat-sifat baik tersebut, jenis plastik inilah yang paling diwaspadai keberadaannya karena sifat buruknya yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan.

Kantong plastik non biodegradable menjadi pilihan mayoritas masyarakat karena tingkat harga yang lebih terjangkau. Namun, terlepas dari itu, penggunaan kantong plastik non biodegradable dapat menimbulkan efek jangka panjang yang buruk terhadap lingkungan dan kesehatan.

[caption caption="Pantai Plastik (surfermag.com)"]

[/caption]

Saat menjadi sampah, mikroba sangat sulit memutuskan ikatan rantai atom C penyusun kantong plastik tersebut. Butuh waktu hingga 1000 tahun untuk menguraikannya. Selain sebagai polutan bagi tanah, keberadaan kantong plastik juga sering dianggap sebagai penyebab bencana banjir. Emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan sampah plastik juga berpotensi menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Selain itu, kantong plastik non biodegradable juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Kantong plastik non biodegradable, terutama kantong plastik daur ulang dengan warna hitam merupakan produk daur ulang dari bahan-bahan plastik yang tak jelas riwayat penggunaannya. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), bahan plastik tersebut bisa saja berasal dari bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan/manusia, ataupun limbah logam berat.

Dalam proses daur ulang juga sering ditambahkan zat-zat kimia berbahaya untuk memperbaiki kondisi plastik yang dihasilkan. Warna hitam sering dipilih sebagai pewarna plastik daur ulang untuk menyamarkan buruknya kondisi fisik plastik daur ulang. Zat kimia dan pewarna ini dapat terlepas dan menempel ke makanan. Jika termakan, zat-zat kimia seperti Polyvinyl chloride, Phthalates, Polystyrene, Polyester, ataupun bahan-bahan berbahaya lainnya akan mengendap dalam tubuh dan berpotensi memunculkan penyakit-penyakit berbahaya, seperti kanker, infertilitas, iritasi, dan masih banyak lagi.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, dibuatlah kantong plastik ramah lingkungan (kantong plastik biodegradable). Kantong plastik ini dapat terdegradasi lebih cepat, yakni sekitar 0,5 hingga 5 tahun. Mikroba lebih mudah mendegradasi plastik jenis ini karena penambahan bahan ecopure additive yang bertujuan memudahkan penguraian. Namun, tingginya harga (sekitar Rp 1.000,00 per lembar) membuat plastik jenis ini tak banyak digunakan, terutama oleh para pedagang kecil. Lalu, jika plastik sulit sekali terurai di alam, bagaimana solusinya?

Ini yang mesti kita tinjau dan pikirkan bersama. Perlu dipikirkan solusi jangka panjang yang lebih komprehensif dalam menyentuh persoalan. Misalnya dengan menawarkan bahan lain yang jauh lebih ramah lingkungan seperti kertas. Bangsa-bangsa maju di berbagai penjuru dunia sudah jauh lebih dulu menggunakan kantong kertas sebagai pembungkus bahan belanja yang populer. Namun lagi-lagi, bola ada di tangan pemerintah. Kiranya di belahan bumi manapun, masyarakat hanya perlu diberikan regulasi yang jelas dan masuk akal untuk dipatuhi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun