Mohon tunggu...
Zaky Zamani
Zaky Zamani Mohon Tunggu... Guru - Konseling Terapi Mind Art

Guru, Motivator, Penulis Pemula.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Trauma

20 April 2023   05:05 Diperbarui: 20 April 2023   05:01 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok safeplacetherapy.com

Ketika aku sedang menunggu angkot dipinggir jalan raya untuk berangkat ke sekolah, tiba-tiba...

Detak jantung ku berdegup cepat, seiring terdengar bunyi suara sirine polisi dan ambulance menghampiri telinga ku dan mobil ambulance tersebut menuju rumah pak ketua RT, ku ingin mendekat ada apa disana. Dalam hati menyapa pikiran ku yang sedang kacau "Apa aku harus menghindari atau menghampiri rumah pak ketua RT??.

Sambil mengusap dadaku yang sesak karena mendengar bunyi sirene tak juga hilang dari telinga, aku terus berusaha memberikan kekuatan pada diriku "aku harus bagaimana?". Padahal saat itu mobil sirine itu sudah tidak terlihat dihadapan mata memandang. Sebenarnya ada apa dengan diriku, kenapa aku seperti nya takut dengan bunyi sirene jika terdengar dekat nyata di telinga ku.

Mobil sirine sudah pergi 3 jam yang lalu dari rumah pak ketua RT. Dengan tubuh berkeringat karena takut ada yang terluka, aku mendekati sumber informasi. Sambil gemetaran aku coba mencari info terkini, ada apa 3 jam yang lalu?

Fakta mengejutkan bahwa hari itu bagiku hari terburuk dan sulit untuk dilupakan selalu teringat, ternyata mobil sirine adalah mobil jenazah dari rumah sakit umum kota, aku terkaget dan sempat pingsan karena melihat jenazah pak ketua RT yang kematian nya tidak lazim, penuh keanehan.

Semenjak hari itu, aku mengalami ketakutan yang amat sangat menggangu pikiran jika telinga ini mendengar suara sirine, walaupun suara tersebut hanya keluar dari alat pengeras suara (toa), pasti aku teriak dan menangis sejadi-jadinya dan memohon kepada orang sekitar untuk menghentikan suara sirine tersebut.

Waktu sudah sore, aku ingin pulang untuk menghilangkan rasa ketakutan, karena hal ini dapat menggangu kesehatan lahir dan batinku. Tidak lagi ada senyum manis, tidak ada lagi keceriaan perilaku yang muncul tiba-tiba dan orang lain suka dengan kepribadian aku yang supel.

Kehidupan terus berjalan, kegiatan hari-hari tak akan berhenti jika kita masih banyak yang harus dikerjakan dan belum tuntas sampai akhir hayat, aku merasa sudah tidak ada kenikmatan hidup sebab setiap hari dipenuhi rasa ketakutan akan suara sirine.
Mengapa ini bisa terjadi pada diriku? Aku memang diakui oleh lingkungan, seorang yang sangat baik dalam pergaulan dan selalu dapat dipercaya serta senang berbagi informasi dan berbagi rezeki.

Tetapi, jika keadaan internal dalam diriku sudah mulai tidak stabil, aku harus apa?

Sebab aku memiliki tabungan yang cukup untuk dipergunakan dan aku berpikir bahwa perasaan takut berlebihan adalah tanda-tanda orang sakit jiwa. Aku ga mau gila, aku ingin tetap seperti biasa. Pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke psikolog demi masalahnya selesai lebih cepat.

Sesampainya di Psikolog, aku diminta untuk menceritakan tentang apa yang menjadi sumber rasa ketakutan, singkat cerita menurut psikolog tempat aku konsultasi bahwa aku ini ada TRAUMA. dengan deteksi dini oleh psikolog itu, aku mencoba mengingat kembali adakah masa lalu yang menimbulkan ketakutan sangat tinggi.

Aku telpon mama papa, karena diriku seorang perantau dari bumi cenderawasih. Menurut mama papa, masa kecil ku mengalami kecelakaan tertabrak mobil ambulance, meninggalkan bekas luka pada dada dan kepala. Sudah jelas adanya, kalau aku trauma masa kecil karena mobil ambulance.

Lama aku melakukan konsultasi ke psikolog belum ada kemajuan, akhirnya aku putuskan untuk pergi ke teman papa yang berprofesi sebagai psikiater. Sebenarnya mama tidak setuju dengan usulan papa ini karena jika psikolog sudah mengatakan bahwa aku ini "trauma", seharusnya aku dibawa ke terapis. Aku sebagai anak hanya mengikuti apapun saran dari papa atau mama atau ada saran dari keluarga yang lain, dan pada akhirnya aku dibawa ke terapis karena mental ku terus saja tidak stabil.

Kedekatan aku dengan mama papa yang menjadikan secara mental ada perhatian khusus dari keluarga, sehingga trauma yang aku alami tidak berlarut-larut dan mudah diobati secara perlahan dan pasti untuk menuju kesembuhan lahir batin.

Setelah diberikan terapi, aku menjadi lebih segar dan semangat hidup ku sudah terlihat hasilnya, sangat berbeda dari sebelumnya, mama papa khawatir dengan anaknya yang trauma masa lalu nya.

Alhamdulillah .. saat ini diriku sudah jauh dari trauma, sudah sembuh namun masih perlu ditingkatkan melatih mental ku dengan tidak lari dari kenyataan jika sedang jalan-jalan lalu mendengar sirine dan aku berserah diri kepada Tuhan yang Maha Pencipta. Aku membiasakan hal-hal yang sekiranya dapat menggangu kesehatan mental ku ini.

Itu saja yang bisa aku ceritakan pengalaman pribadi pada masa lalu, moga cerita ini dapat bermanfaat untuk pelajaran bahwa usaha seseorang dalam menghadapi masalahnya tidak selalu pada di satu orang untuk mencari solusi akhir.

29 Ramadhan 1444 Hijriah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun