Fragmen-1
Hari Pahlawan Nasional baru saja berlalu dua hari lalu. Banyak cara untuk mengingat dan merefleksikan nilai dan semangat kepahlawanan. Sementara penetapan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional, merujuk pada peristiwa pertempuran besar antara pejuang Indonesia dengan tentara Inggris di Surabaya yang menelan banyak korban. Penjajahan secara fisik, face to face, memang tidak lagi dihadapi oleh generasi pasca baby boomer. Namun, bukan berarti penjajahan sudah berhenti, melainkan berubah menjadi "penjajahan model digital".
Jika selama tiga abad lebih (sebagaimana kita pelajari di sekolah) penjajah mengeruk kekayaan bumi pertiwi, menguras tenaga layaknya perbudakan, saat ini yang dihadapi generasi X hingga alpha tidak jauh berbeda dengan masa itu, yaitu menyedot kekayaan Nusantara dan potensi anak bangsa. Cara boleh berbeda, namun ciri yang ditampilkan adalah sama, yaitu menanamkan kebodohan dan ketidakpercayaan (tidak PD) pada potensi diri, lingkungan, dan semesta Indonesia.
Pamflet-pamflet meruah di media-media sosial, akan tetapi, selayaknya kita tidak berhenti di sini. Tidak salah jika kita mengulang pertanyaan yang para guru --sejak tingkat SD-- ajukan, "Apa arti pahlawan menurut kalian? Siapakah pahlawan di mata kalian?" Maka itu pula semangat refleksi yang berputar-putar di dalam kepala saya ketika diundang dalam sesi temu wicara di Radio Perkasa FM Tulungagung. Saya dari generasi X seruang dengan Woko Utomo, S.Ag, generasi Z, mahasiswa pasca sarjana UIN Sayyid Ali Rahmatulloh Tulungagung, dan juga pegiat literasi, tepat tanggal 10 November, memperbincangkan kepahlawanan dunia literasi dengan keteladanan.
Saya mengurai di sini, lantaran terbatasnya waktu saat mendiskusikannya di udara, serta beberapa catatan yang tidak sempat kami diskusikan pagi itu.
Kembali pada pertanyaan para guru, jawaban (versi saya) yang sangat diharapkan adalah simpulan karakter kepahlawanan, sehingga menjadi motivasi bagi siswa (dan kita semua, tentunya) untuk mengembangkan karakter tersebut serta menemukan pahlawan-pahlawan masa kini di sekitarnya, sebagai penghargaan atas perjuangan tulus dan totalitas.
Pertama, memiliki sifat berani yang tidak sekedar merujuk secara fisik, namun lebih pada sikap mental, terlebih lagi "berani dengan berilmu" sehingga tidak menggunakannya secara kontra produktif. Negara sangat membutuhkan pribadi yang berani untuk melindungi dan mengelola potensi-potensi (benda dan tak benda) Indonesia yang teramat kaya untuk kepentingan warga sebesar-besarnya dan ketahanan NKRI. Salah satu contoh adalah dengan menghimpun potensi tersebut dalam bentuk aneka karya melalui beragam media, diantaranya dalam bentuk tulisan nonfiksi dan fiksi, seni, produk teknologi tepat guna, dan lainnya.
Kedua, pengorbanan. Pengorbanan lebih dikaitkan dengan lepasnya kepemilikan kita secara terpaksa yang sesungguhnya tidak kita inginkan. Contohnya berkorban nyawa dan harta. Di dunia "tanpa perang", kita melihat orang lain (atau diri kita sendiri), memberikan banyak waktu, tenaga, pemikiran, beragam dukungan untuk sesuatu yang diperjuangkan bersama. Seorang ayah, yang dalam lelah, setiap malam membacakan buku secara nyaring pada anak-anaknya, adalah sebenar-benar pahlawan bagi anak-anaknya. Para relawan literasi yang bergerak di wilayah bencana, lalu membacakan buku secara nyaring, mendongeng, bermain bersama, untuk mengurangi kesedihan dan trauma, mereka adalah pahlawan.
Ketiga, kegigihan, keuletan, karena tidak ada sesuatu pun yang mudah dimiliki tanpa kegigihan. Mungkin kita berulang kali menemukan orang-orang yang tidak kenal lelah memperjuangkan sesuatu yang diyakininya akan bermanfaat bagi masyarakat atau sekelompok warga tertentu. Saya contohkan para penggerak dan pegiat literasi, hak anak, perlindungan perempuan, kehidupan sosial tanpa stigma bagi penyandang disabilitan dan penyakit tertentu, dan lain sebagainya.
Keempat, kepedulian dan berempati. Jika para pejuang kemerdekaan 1945 tidak memiliki kepedulian terhadap Indonesia, kemerdekaan Indonesia, para pejuang sebelumnya, mereka pasti enggan menyabung nyawa dengan berada di garda terdepan untuk kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Sifat ini pula yang menguatkan para pejuang dan pegiat literasi terus melakukan gerakan pencerdasan dan kemandirian untuk mengelola potensi sekitar dan menguatkan identitas Indonesia.