Mohon tunggu...
Zaky Farid
Zaky Farid Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Muslim Activis, Member Of Nahdlatul Ulama, Member Of PMII, Love Books, Joke, etc

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi, Tirani Mayoritas

4 Juni 2014   21:57 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:21 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini bermula saat di pagi buta perjalanan menuju rumah salah seorang sahabati di Bojonegoro, ketika itu ada kejadian menarik, dimana "supir" mobil yang saya kendarai kebingungan mengenai arah mana yang akan dilewati, supir tersebut yakin arahnya sudah sesuai dengan yang dilalui kita waktu malam. namun karena para penumpang yang sepakat arahnya salah, akhirnya sang supir pun berputar arah sesuai kehendak yang di inginkan para penumpang. setelah berjalan sesuai kehendak penumpangnya ternyata ditengah jalan memang benar naluri seorang supir bahwa jalan yang dilalui adalah jalan yang tadi sempat dikatakan salah, sang supir akhirnya mendumel, akh ini akibat demokrasi voting.
menarik sekali bila saya cermati dari kalimat terakhir diatas, hanya karena voting maka kebenaran pun dianggap salah dan suara mayoritas menjadi kebenaran yang mutlak yang tak terbantahkan. Dalam sistem negara kita dijalaskan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat yang "katanya" ini merupakaan asas demokrasi. Bercerita tentang demokrasi maka kita tak akan lepas dari historitas demokrasi itu sendiri, salah satu sistem tertua di dunia, sistem ini tercatat pertama di terapkan pada masa Solon (600 SM) dan Kleistens (508 SM), pada waktu itu demokrasi diterapkan secara langsung melibatkan seluruh polis yang ada di yunani.Sistem demokrasi saat ini sudah di terapkan hampir di seluruh dunia karena dianggap sistem yang paling ideal dan paling manusiawi diantara sistem lainnya . Di negara-negara eropa hampir 90% menerapkan sistem ini, begitu pula di Di benua-benua lainnya.
Indonesia sebenarnya sudah menerapkan sistem demokrasi sejak dari awal proklamasi. walaupun dalam perjalannya banyak pengamat menyatakan sebelum reformasi 1998 demokrasi ini dianggap hanya sekedar demokrasi prosudural suatu istilah yang diperkenalkan oleh Robert Dhal. Dalam sistem demokrasi prosudural Dhal menjelaskan bahwa negara hanya menerapkan demokrasi dalam prosedurnya saja seperti pemilu tetapi pemimpin tak pernah berganti dan minim sekali partisipasi rakyat. Dalam masa orde  baru banyak pengamat menilai bahwa demokrsi di lilit oleh penguasa dari rezim otoriter, lantas bagaimana pasca reformasi?

Bila pribahasa mengatakan tak ada gading yang tak retak maka begitu pula yang terjadi dalam sistem demokrasi, sistem demokrasi akan menjadi suatu sistem yang buruk dimasyarakat jika masyarakat bersepakat pada suatu nilai yang tidak sesuai. misalnya saja di Amerika, sebelumnya warganegara di Amerika sepakat dengan bahanya minuman keras mereka beralasan bahwa minuman keras dapat merusak mental dan jiwa selain itu juga dapat memicu tingakt kriminaltis di dalam masyarakat, tetapi seiringnya waktu masyarakt yang telah terbiasa dengan minuman keras akhirnya semakin meluas dan mereka merubah peraturan mereka bahwa minuman keras itu diperbolehkan.
Walaupun di Indonesia tidak ada yang mirip dalam kasus tersbut tapi setidaknya ada beberapa kasus yang bisa dikaitkan dengan menybabkan demokrasi menjadi salah kaprah, misalanya saja kasus peruntuhan gereja di Bogor yang tidak mempunyai izin mendirikan bangunan, padahal jika kita bercermin bahwa banyak juga bangunan ibadah yang tidak punya IMB juga seperti mesjid dan mushola.

Tirani Mayoritas
Jika dahulu kita sering berbicara tentang penguasa yang tirani atau sewenang-wenang maka dengan adanya prinsip pendewaan demokrasi maka peluang muncul tirani atas nama keputusan bersama semakin banyak pula. Sistem tirani atau kesewenangan tak hanya dipraktekan suatu rezim yang ototriter tetapi juga bisa di simbolkan oleh pihak mayoritas yang semena-mena pada minoritas. terlebih lagi sistem Demokrasi kita (Indonesia) semaikin identik dengan sistem voting, terlihat dari beberapa pengambilan keputusan secara sederhana hampir semua keputusan suara terbanyak menjadi solusi baik dan cara instan dalam menetukan keputusan akhir. Padahal ini sudah tidak sejalan dengan prinsip musyawarah yang di amanahkan dalam pancasila.
Kembali bercerita tentang mayoritas filusuf demokrasi seperti Henry Mayo menjelaskan bahwa sistem demokrasi seharusnya bisa menengahi antara kaum mnoritas dan mayoritas serta bisa memecahkan segala konflik yang ada. Tetapi pergeseran suatu idealitas bisa saja terus terjadi lihat saja masa parlemeter awal pergantian perdana menteri di tahun 1950-1959 menjadi cermin bahwa terkadang kepetingan sangatlah berbahaya jika tidak di sadari dengan landasan yang baik, dan bisa melahirkan suatu kepentingan, bisa jadi tirani mayoritas lebih berbahaya di bandingkan dengan penguasa yang tiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun