Mohon tunggu...
Zakiyatul Muti'ah
Zakiyatul Muti'ah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sejarahkan kisah saja..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jiwa & Kedirian Manusia

9 Juni 2014   04:57 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:37 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jiwa yang terkesan abstrak itu, disebutkan sebagai psyche oleh Plotinus dan termasuk dalam konsep hierarki emanasinya yang ketiga setelah Yang Esa/the one dan akal/nous. Tentang jiwa adalah tentang segala sesuatu dengan keluasan dan beragam aktivitasnya. Plotinus membagi jiwa menjadi tiga bagian yaitu jiwa rasional, sensitif dan vegetatif yang ketiganya ini masing-masing berada atau mensifati pada manusia, binatang dan tumbuhan.

Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi pun sependapat dengan Plotinus bahwa jiwa rasional adalah bagian dari jiwa universal. Lain halnya dengan Aristoteles yang mengidentifikasikan bahwa jiwa rasional sebagai intelek. Namun terlepas dari itu, Aristoteles tetap memiliki argumen yang sama atas pembagian tiga bagian jiwa seperti Plotinus. Adapun jiwa rasional adalah jiwa yang hanya dimiliki oleh manusia, tersebut pula sebagai roh murni yang bersih dari kesalahan. Jiwa rasional ini adalah jiwa yang abadi, tidak hancur dan dengan kata lain adalah “hati mistis”. Jiwa rasional memiliki prinsip kuat dan tujuan tunggal yaitu mencapai pengetahuan sejati dan sadar benar akan makna tentang kesatuan dengan Yang Esa. Sementara kedua jiwa lainnya yaitu sensitif dan vegetatif lebih erat kaitannya dengan siklus biologis atau aktivitas-aktivitas dari organ tubuh.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Plotinus dan Ibnu ‘Arabi, bahwasannya tentang jiwa adalah tentang tiga hal yang terdapat dalam diri manusia yaitu jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa rasional (hati mistis). Akan tetapi, jiwa rasional inilah yang merupakan jiwa murni dan lebih dekat hubungannya dengan yang diatasnya yaitu akal. Demikian tersebut karena jiwa rasional menerima pancaran dari akal dan selalu berusaha mendekat dan memiliki kehendak untuk bersatu dengan yang utama, yaitu siapa lagi jika bukan Yang Esa.

Disisi lain, adalah soal kedirian manusia. Adakah sebenarnya hubungan jiwa dengan kedirian manusia? Kedirian manusia adalah mengenai kesadaran yang menjadi satu-satunya dasar dari kedirian manusia itu sendiri. Di satu pihak, manusia adalah tubuh, sementara pada pihak lain manusia adalah yang mempunyai tubuh. Ini artinya, bahwa manusia selain berjiwa juga memiliki hal lekat yaitu tentang dirinya. Tentang dirinya berisi tentang urusan dia dan apa yan ada di dalam dia. Itulah keterkaitan dengan kedirian. Kedirian manusia itulah yang mewarnai proses manusia “menjadi manusia” dalam arti perkembangan kepribadian dan perolehan budaya. Manusia juga selalu berkembang pada arah penyelesaian. Ke arah penyelesaian inilah yang disebut juga dengan periode terbentuknya diri manusia (human self) hingga pada akhirnya manusia menemukan kedirian-nya dalam ujung kesimpulan selesainya permasalahan.

Marcel berkata “aku adalah tubuhku”, akan tetapi secara serentak dipandang dari segi lain, aku juga mempunyai tubuhku. Tubuh merupakan penghubung antara subjek dan dunianya. Tubuh berperan sebagai penengah, tidak terpisahkan dengan aku dan pada pihak lain berakar dalam dunia.

Jadi, tubuhlah si konkrit itu sementara jiwa adalah keabstrakannya yang nyata. Didalamnya terdapat kedirian dan kemudian tubuh merefleksikan sebagai implementasi dari keputusan-keputusan jiwa dan bagiannya sebagai ruh. Maka, kedirian manusia adalah bagaimana diri manusia tersebut dan bagaimana pula manusia menampilkan identitasnya sebagai diri dalam lintas dan konteks kewajaran dan bahkan kebenaran sebagai manusia dan sikap kemanusiaannya.

Maka dari itu, dalam islam tersebutlah Taqwa sebagai kualitas kedirian manusia yang mampu mengendalikan manusia dari kecenderungan-kecenderungan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan dan syari’at yang telah ditetapkan. Dengan ketaqwaan itulah, manusia selalu berupaya untuk berjalan di atas jalan yang dikehendaki dan berusaha untuk melakukan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta berharap selalu akan ridlo-Nya.

Sekian.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun