Mohon tunggu...
Zakky Ubaid
Zakky Ubaid Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Aktif Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Maulana Malik Ibrahin Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanggung Jawab Suami dalam Keluarga

10 Oktober 2017   00:03 Diperbarui: 10 Oktober 2017   00:05 6043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Hadits, Nabi SAW. bersabda

Artinya: "Wahai Para Pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah sanggup menikah, maka hendaklah menikah. Sesungguhnya menikah itu dapat menghalangi pandangan dan memelihara kehormatan. Barangsiapa yang tidak sanggup hendaknya berpuasa. Karena bepuasa adalah perisai baginya."(Hadits riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, Imam Nasa'i)

Sebagaimana hadits diatas, "jika mampu/sanggup/siap" untuk menikah , maka hendaklah untuk menyegerakan pernikahan, tetapi jika belum "mampu/sanggup/siap" maka hendaklah berpuasa, agar terhindar dari maksiat, khususnya berzina. Kata "mampu/sanggup/siap" diatas bisa juga diartikan dengan adanya pasangan yang hendak dinikahi, dan sanggup untuk memberikan nafkah kepada keluarga.

Nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Nafkah meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, bahkan perawatan kesehatan juga masuk dalam kategori nafkah. Nafkah tersebut disesuaikan dengan kesanggupan keluarga tersebut untuk menyediakannya. 

Misalkan, jika tempat tinggal, makanan, pakaian, dan perawatan kesehatan sudah terpenuhi, dilanjutkan dengan misalkan membeli alat-alat perabotan rumah tangga, dan/atau makanan daging setiap harinya, dan/atau alat-alat berhias diri, dan/atau kendaraan, dan sebagainya. Jika keluarga tersebut tidak sanggup menanggung hal-hal semacam diatas, meskipun tempat tinggal, makanan, pakaian, dan perawatan kesehatan sudah terpenuhi, maka dapat dikatakan keluarga tersebut sudah memenuhi tanggung jawab kepada keluarganya sendiri untuk menafkahi. Jadi, jika keluarga tersebut tak sanggup, maka jangan dipaksakan, asalkan kebutuhan pokok tetap terpenuhi.

Masyarakat Indonesia, yang sebagian besar adalah beragama Islam, sudah terpengaruhi dengan budaya dimana Islam tersebut pertama kali diperkenalkan kepada umat di dunia ini, yakni Jazirah Arab. Sebelum Islam datang, perempuan di Jazirah Arab merupakan harta benda, perempuan dapat diperjual belikan bahkan dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Istri bagaikan budak. 

Para ayah sangat malu ketika istrinya melahirkan bayi perempuan. Bahkan mereka berani mengubur bayi perempuannya hidup-hidup, karena perempuan dipandang sangat tidak berguna, tak berdaya, lemah, tidak bisa berperang, dan merupakan aib bagi kabilahnya (sebutan untuk "suku"). Pada masa itu, jika di dalam sebuah kabilah kebanyakan adalah perempuan, maka kabilah tersebut merupakan kabilah yang paling lemah, dan menjadi sasaran empuk bagi kabilah-kabilah lain.

Setelah Islam datang, semua hal-hal tersebut dihilangkan dengan perlahan-lahan. Karena Islam pada saat itu merupakan hal yang baru, dan membutuhkan usaha yang ekstra bagi Rasululllah untuk merubah keyakinan dan kepercayaan orang-orang di Jazirah Arab, maka Rasulullah tidak akan langsung mengatakan bahwa perempuan bukan merupakan harta benda yang dapat diperjual belikan dan diwariskan. Rasulullah merubahnya dengan perlahan-lahan, peristiwa demi peristiwa, dan tentunya dengan rangkaian turunnya wahyu al-Qur'an itu sendiri. 

Sebagaiman yang kita ketahui, al-Qur'an diturunkan secara berangsur-berangsur, peristiwa demi peristiwa, demikian juga perubahan yang terjadi di orang-orang Jazirah Arab pada masa tersebut, khususnya di Kota Mekkah. Salah satu perubahan tersebut adalah istri mendapatkan mahar, waris, jaminan selama masa iddah ketika dicerai oleh suaminya, dapat meminta cerai dengan cara khulu', dan mendapatkan nafkah dari suaminya.

Meskipun dengan adanya perubahan tersebut, budaya patriarki masih mengental kuat di Jazirah Arab. Budaya patriarki menempatkan posisi sosial kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan. Bedanya, jika sebelum Islam datang kaum laki-laki cenderung menindas kaum perempuan, setelah Islam datang kaum laki-laki cenderung melindungi perempuan. Budaya tersebut melekat kuat di berbagai penjuru Jazirah Arab. Misalkan, ketidakbolehan wanita untuk mengenderai kendaraan, ketidakbolehan wanita untuk membeli bahan-bahan masakan, dan sebagainya.

Sehingga tidak heran jika pendapat-pendapat para ulama mengenai suatu hukum juga terkena efek dari budaya patriarki, karena memang budaya itu yang terjadi di tempat dimana para ulama berijtihad, termasuk juga Imam Syafi'i yang notabene madzhab beliau digunakan di Indonesia.

Sehingga di Indonesia sendiri, juga terkena efek budaya patriarki ini, yang kemudian menentukan bahwa tanggung jawab mencari dan menyediakan nafkah keluarga adalah suami/ayah. Sedangkan ibu/istri lebih fokus pada peran reproduksi, merawat anak, dan berbagai hal dalam ranah domestik rumah tangga. Kedua peran ini, sesungguhnya tidak menjadi masalah jika suami dan istri menghendaki sendiri dan tanpa adanya tekanan apaupun, serta nyaman dengan peran yang dimiliki masing-masing.

Namun, kenyataan yang terjadi di masyarakat justru telah telah membentuk suatu anggapan bahwa pekerjaan publik produktif lebih tinggi karena mendapatkan penghasilan (bayaran), sedangkan pekerjaan domestik rumah tangga lebih rendah karena tidak menghasilkan uang. Anggapan tersebut kemudian berlanjut kepada anggapan suami lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, karena suami menjadi tulang punggung keluarga, pencari nafkah, dan  pengendali hak-hak keluarga yang ditanggungnya.

Jika suami sudah merasa dirinya tinggi karena kewajiban yang harus dia tanggung, besar kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga pun terjadi. Dan kebanyakan kasus, istri tidak berani untuk meminta cerai. Karena jika bercerai, beban istri akan menjadi lebih besar, karena dia sudah bergantung secara ekonomi kepada suaminya sedangkan dia tidak berpenghasilan apa-apadan tidak pernah berpengalaman dalam ranah poduktif tersebut. Akhirnya istri tetap bertahan dengan penderitaannya.

Namun, jika suami tersebut masih belum memenuhi tanggungjawabnya untuk memberikan nafkah, kebanyakan kasus, istri tetap tidak akan meminta cerai, dikarenakan adanya pandangan yang jelek dari masyarakat jika dia bercerai, dan juga dikarenakan kebanyakan perempuan memiliki konsistensi yang tinggi. suami tersebut sudah merupakan pilihannya sendiri, maka dia juga tidak akan menyesali pilihannya tersebut.

Dalam kasus diatas, yakni kasus dimana pencari nafkah tunggal tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka siap atau tidak siap, mampu atau tidak mampu, istri mengambil peran produktif di luar tugas wilayah domestik rumah tangganya. Hal tersebut pasti akan terjadi jika memang kebutuhan pokok saja tak bisa terpenuhi hanya dengan adanya pencari nafkah tunggal.

Melihat kasus diatas, istri juga ikut berperan mencari nafkah demi keluarga ketika suami tidak mampu berperan seorang diri. Namun, apakah kewajiban istri yang sebelumnya menjadi terabaikan? Saya rasa tidak. Istri tetap mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga serta berperan produktif diluar rumah tangga. 

Sehingga dalam kasus di atas, terjadi dua peran yang dilakukan istri. Lantas, sebenarnya mencari nafkah merupakan tanggung jawab siapa? Kalau memang tanggungjawab suami, kenapa istri tidak membiarkan suami mencari nafkah apapun caranya? Menurut saya, disini lah karakteristik seorang ibu, lebih menggunakan perasaan daripada akal, dan tak mau melihat seseorang kesusahan, meskipun dampaknya dia sendiri yang akan kesusahan.

Namun, kebanyakan suami, tidak menyadari apa yang dirasakan istrinya. Suami menganggap bahwa mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, dan semua hal domesrtik rumah tangga merupakan tanggungjawab istri saja. Suami menganggap bahwa hal-hal domestik tersebut merupakan sesuatu yang ringan. Sekali lagi, dikarenakan mengerjakan domestik rumah tangga tidak berpenghasilan, sehingga dianggap sebagai suatu pekerjaan yang ringan.

Oleh karena itu, sesungguhnya siapakah disini yang lebih bertanggungjawab kepada keluarga? Istri atau suami? Kalau suami, kenapa istri ikut membantu suami, padahal hal tersebut bukan merupakan tanggung jawabnya. Kalau istri, lantas darimanakah kebutuhan-kebutuhan pokok keluarga tersebut? Apakah dari istri yang mencari nafkah? Pastinya suaminya lah yang mencari nafkah.

Sebenarnya, kewajiban untuk mencari nafkah, mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, dan sebagainya, merupakan tanggungjawab bersama suami dan istri. Jadi mencari nafkah adalah tanggungjawab suami, dan pekerjaan domestik rumah tangga adalah tanggung jawab istri, adalah suatu anggapan yang keliru. Dengan beranggapan seperti itu, maka akan sulit untuk membentuk keluarga yang nyaman, bahagia, dan sehat.

Tetapi, kedua peran tersebut dilakukan bersama-sama oleh suami dan istri. Suami membantu istri, begitupun juga istri membantu suami. Dengan begitu akan terbentuk kasih sayang dalam keluarga, karena saling mengerti ketika berada dalam kesusahan, akan terbentuk keharmonisan dalam keluarga, karena dapat saling memahami kelemahan, kepribadian, pengalaman masing-masing, dan ringannya beban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dalam keluarga, karena satu hal dikerjakan oleh dua orang akan lebih mudah daripada dikerjakan oleh seorang saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun