Di tengah perubahan zaman yang semakin cepat ini, tidak bisa dimungkiri bahwa masih ada orang tua yang khawatir saat ingin memasukkan anak-anak mereka ke dalam pesantren.
Mereka khawatir bahwa putra-putri mereka akan kesulitan beradaptasi dengan dunia luar yang keras dan seakan nyaris tanpa batas,begitu lulus dari pesantren.
Belum lagi stereotip lulusan pesantren yang mentok-mentoknya “hanya jadi guru agama atau pengajar baca tulis Alquran” saja. Tidak ada yang salah dengan kedua profesi mulia tersebut, tapi anggapan ini juga tidak tepat.
Jika dijalani dengan benar, ada empat (4) ciri ketangguhan seorang lulusan pesantren yang dapat membantu seorang anak bertahan hidup dan beradaptasi di dunia luar, yaitu:
- Moralitas.
Tidak hanya pendidikan formal dan agama, pendidikan moral juga ditekankan selama seseorang belajar di pesantren. Contohnya: untuk mencegah kemungkinan zina di antara santri putra dan putri, ada larangan pacaran. Berteman dengan lawan jenis masih boleh, selama masih dalam batas yang wajar.
Jadi, bagi Anda yang tidak ingin anaknya terjebak dalam pergaulan bebas, kenapa tidak masukkan saja mereka ke pesantren?
- Kemandirian.
Karena pesantren sama dengan sekolah asrama, maka sejak dini para santri sudah dilatih untuk hidup mandiri. Bangun tidur sendiri, membereskan kamar, mencuci piring dan pakaian sendiri, dan masih banyak lagi.
Alangkah senangnya bila putra dan putri Anda lulus menjadi pribadi yang tidak manja dan enggan merepotkan orang lain.
- Etika.
Tidak hanya soal kemandirian, santri juga akan belajar banyak mengenai etika, termasuk kejujuran. Misalnya: daripada menyembunyikan surat cinta dari santri lawan jenis, lebih baik jujur saja. Bukankah Allah SWT selalu Maha Melihat?
Selain itu, semoga pendidikan etika selama di pesantren dapat mencegah kebiasaan korupsi bila lulusannya bekerja di instansi pemerintah. Saatnya para santri menunjukkan ketangguhan sejati mereka.
- Mampu menghadapi segala tantangan.
Di pesantren, seorang santri belajar bagaimana mengatur dirinya sendiri, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Ia belajar berbagi dengan teman-temannya, menghadapi berbagai keterbatasan fasilitas, dan memenuhi berbagai tuntutan akademis yang ditetapkan pihak pesantren.