Mohon tunggu...
Zakiyyatun Naqiah
Zakiyyatun Naqiah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Ekonomi Islam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maafkan Aku (Bukan) Penggemar Kopi

9 Maret 2017   05:11 Diperbarui: 9 Maret 2017   16:00 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pujangga wahai pujangga.

Katamu berkelok indah kaya makna. Tak luput aku terpesona.

Apakah karena kau terlalu bahagia? Ataukah kau terlalu sempurna menghadapi rasa?

Dengarkan aku wahai pujangga. Aku padanya adalah rindu. Tahu kah kau…

Lembut selembut kewibawaannya. Jernih sejernih hatinya. Hening sehening sukmanya.

Indah seindah cintanya. Halus sehalus tuturnya.

Wahai pujangga.. jelaskan padaku, kepada siapa aku terpaut, padanyakah  hatiku terpatri?

Kepada dirinyakah aku jatuh cinta?

~hegheg.

Persetan dengan puisi ngalor ngidul ini. Hari ini aku sedang letoy, wujud dari letoy semangat hari ini adalah tulisan-tulisan petuah bijak di note kecil hasil dari obsesi  yang melangit *lagi. Kali ini keyakinan dan keraguan acapkali menyita perhatianku yang lemah ini. Semoga hanya sejam-dua jam jangan berlarut-larut kalo bisa 5 menit ahh *menunda-nunda. Butuh semangat untuk membuka buku dan menatap layar laptop sedari tadi.


 Barang beberapa detik aku menikmati sensasi menyeruput kopi hari ini. Aku kembali teringat sejarahku meminum kopi, yah dibalik niat agar mata melek ketika belajar adalah demi menjalankan misi seorang anak yang sedang berjuang di jalan Allah demi menuntut ilmu ditanah perantauan yang jauh dari orangtua. Dari menyeruput kopi aku jadi teringat tatapan basah di kedua mata mama ketika mengantarku ke bandara tepatnya kurang lebih sebulan yang lalu. Pertanyaan yang selalu ada dibenak ku adalah kenapa baru sekarang?, butiran kristal yang jatuh dari matanya tak pernah aku lihat ketika mengantar ku dulu, beberapa kali ketika melepas ku pergi pun beliau nampak tegas, gagah, percaya diri dan tepat sasaran bak melepas anak panah namun tetap terlihat anggun. Apalagi aku sudah terbiasa merantau selama 7 tahun karena memang sekolahku yang jauh di pulau Jawa. Tetesan demi tetesan itu seperti luapan air yang ditampung sedari dulu. Luapan kristal itu justru keluar ketika aku merantau dikala aku sudah beranjak dewasa. Tak ingin rasanya aku melepas pelukan erat hangatnya kala itu, apalah daya… binaran mataku seketika membocorkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun