Mohon tunggu...
Zakiy Bima Kusuma Aliyam
Zakiy Bima Kusuma Aliyam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Taruna

Saya adalah taruna poltekip tingkat 3 yang sedang menempuh pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Overcrowded , Apakah Tidak Bisa Diatasi?

23 Mei 2019   22:20 Diperbarui: 23 Mei 2019   22:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Overcrowded merupakan suatu permasalahan yang terjadi hampir disetiap UPT Pemasyarakatan khususnya yaitu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). 

Persoalan ini sudah bukan hal yang rahasia lagi, bahkan hampir diseluruh Lapas dan Rutan sudah terjadi overcrowded. Menurut ICJR ( Institute for Criminal and Justice Reform) Lapas dan Rutan di Indonesia telah mengalami overcrowding. Dimana menurut data per September 2018 jumlah penghuni Lapas dan Rutan sebanyak 248.340 orang sedangkan kapsitas Lapas Rutan seluruh Indonesia hanya 125.159 orang.

Permasalahan overcrowded di Indonesia tidak muncul dengan sendirinya, melainkan ada beberapa penyebab yang mendorong banyaknya narapidana dapat dengan mudah masuk ke Lapas Rutan. 

Hukum yang berlaku di Indonesia dinilai sangat gampang dalam memasukkan orang untuk bisa masuk di penjara. Salah satu contohnya yaitu kesalahan sangat kecil dimana seseorang dalam menggunakan media sosial kurang bijak dapat dengan mudah dijerat undang-undang. Selain itu peyebab lainnya yaitu kebijakan dari aparatur penegak hukum yang kurang bijak dimana pecandu atau juga pemakai narkotika yang seharusnya mendapatkan pelayanan rehabilitasi tetapi diajatuhi hukuman penjara.

Overstaying yang terjadi di Lapas Rutan seluruh Indonesia juga menjadi faktor yang menyebabkan overcrowded. Tersangka atau terdakwa yang sudah habis atau lewat masa pidana tahanan seharusnya kepala rutan atau lapas memberikan kebijakan untuk melepaskannya demi hukum. 

Akan tetapi kebijakan tersebut berbanding terbalik sehingga permasalahan ini tidak akan terselesaikan. Penyebab lainnya yaitu dalam penerapan tahanan rumah dan atau tahanan kota  yang belum bisa optimal karena dalam penerapannya penegak hukum masih menggunakan tahanan rutan. Hal ini yang seharusnya dapat sedikit demi sedikit dilakukan perubahan.

Faktor yang menyebabkan overcrowded di seluruh Indonesia dalam hal ini juga akibat belum diterapkannya pidana alternatif atau restorative justice. Seperti halnya kasus-kasus tindak pidana ringan seperti pencurian sandal, pencurian kayu, pencurian tanaman dan lain sebagainya. Kasus-kasus seperti ini seharusnya tidak perlu dijatuhi hukuman pidana, melainkan dicarikan pidana alternative atau restorative justice. Sehingga jumlah tahanan atau narapidana di Lapas dan Rutan tidak meningkat. Remisi yang seharusnya menjadi solusi untuk mengurangi overcrowded menjadi suatu permasalahan baru. Dimana dalam fungsinya dapat mengurangi jumlah penghuni tetapi berubah menjadi pengetatan regulasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012.

Penyebab yang terkahir yaitu adanya amanah di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang intinya bahwa di setiap Kabupaten atau Kota harus memiliki UPT Pemasyarakatan (Lapas dan Rutan). Akan tetapi fakta dilapangan berbanding terbalik dengan isi KUHAP. Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan khusunya Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang  ada di Indonesia saat ini berjumlah 489. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah yang diamanatkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Jadi dapat disimpulkan bahwa overcrowded di Indonesia terjadi akibat adanya kebijakan yang tidak diimbangi dengan praktik dilapangan yang seharusnya dilakukan. Dapat dianalogikan seperti halnya pintu untuk masuk ke UPT Pemasyarakatan sangatlah besar sedangkan pintu pembuangannya atau pintu keluarnya lebih kecil atau sempit dari pintu masuk. 

Sehingga tidak dapat dipungkiri permasalahan ini akan terus terjadi bahkan akan semakin parah kedepannya apabila tidak dipikirkan bersama antara pemerintah pusat dengan aparat penegak hukum yang trekait.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun