Mohon tunggu...
zakiya benaziroh
zakiya benaziroh Mohon Tunggu... -

Look around and thank god

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyangsikan Pagi

27 Mei 2012   13:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kayam, anak ibuk satu-satunya ikut suaminya ke Bangil. Wahyudi merantau ke Brunei, adiknya Ahmad sekalian. Busro sama Malik sudah jadi modin dan carik di kampung sebelah. Selain itu... “ bu Ida mendesah. Ada kepahitan dalam kalimatnya. “...anak-anak muda kampung ini sekarang lebih suka jogrogan di kafe. Atau kalau tidak begitu ya sibuk dengan pekerjaan atau sekolahnya.”

Candekolo, nyala merah yang menoreh di langit barat nampak seram. Angin kering sisa hari yang luarbiasa panas mendesau-desau. Seperti buru-buru sembunyi dari petang. Hatiku kian teremas-remas oleh penuturan Bu Ida.

“Ibuk ndak mau melihat Al Quran ditinggalkan sama anak-anak. Meski sedikit, Ibuk ndak papa. Kalau nanti di akhirat ditanya sama Gusti Allah ‘kenapa kampung ini rusak’, semoga Ibuk bukan termasuk orang yang disalahkan. Ibuk bisa ngaji, paling tidak a ba ta, ya sudah menjadi kewajiban untuk mengajarkan kepada orang lain. Alhamdulillah, Gusti Allah masih memberi sehat sama ibuk.” Bu Ida tersenyum sambil menepuk dadanya, berusaha menciptakan image kuat. Aku berusaha tersenyum. Bagaimanalah mataku bisa ditipu oleh gerak langkah kaki Bu Ida dalam perjalanan pulang tadi. Ibuku bilang, penyakit Bu Ida sering membuat beliau tidak bisa berjalan. Pernah karena sudah hampir sepekan Bu Ida istirahat karena penyakitnya, anak-anak libur mengaji. Tidak mau melihat anak-anak terlantar, Bu Ida pun memutuskan untuk mengundang anak-anak mengaji di rumahnya. Saat itu ibuku yang kebetulan sedang menjenguk beliau tidak bisa menahan tangis melihat betapa sulitnya Bu Ida berpindah dari kasur ke lantai, agar bisa menyimak bacaan anak-anak dengan nyaman.

Demi menahan lelehan airmata, kualihkan sebentar pembicaraan Bu Ida. “Anaknya Yu Kayam sudah berapa, Bu?”

Bu Ida menyahut antusias. “dua, yang besar sudah masuk TK. Sudah segininya ibuk.” Memberi isyarat pada bahunya. “haha, anak jaman sekarang cepet besar. Ibuk nanti bisa kalah tinggi lama-lama. Nah yang kecil baru terantanan. Ilham dan Adin namanya. Si Ilham juga sudah lancar mengajinya.”

“Alhamdulillaah,” responku singkat. Hatiku rupanya belum tertata untuk beralih ke topik lain. Kulempar pandangan ke jalan.

“Nduk,” sambung Bu Ida memecah kebisuan, “kalau anak-anak pintar seperti Marwah ini dan Rizal pada pindah semua ke kota, yang di kampung tinggal pemuda yang miskin ilmu, tidak mau bekerja, sukanya hura-hura. Tapi bukan salah siapa-siapa ya, kalian memang harus bersekolah sampai tinggi. Dan sekolah itu cuma bisa didapat di kota besar.” Bu Ida tertawa lagi. Entahlah, seolah berusaha meyakinkanku bahwa beliau baik-baik saja.

“Ibuk bukannya benci dengan anak muda, tapi gimana, kenyataannya begitu. Kang Sunar suaranya sudah klerak-klerek, tapi tidak ada yang lebih muda yang punya kesadaran menggantikannya jadi muadzin. Jamaah magrib sama subuh tinggal sebaris, tua-tua lagi. Ibuk sedih, sering pas pulang dari magrib di langgar disalip rombongan anak muda naik sepeda motor, rame-rame ndak tau mau kemana. Nah rombongan tadi baru ibuk lihat lagi sebelum subuh, pas ibuk sama bapak siap-siap ke langgar. Sering itu, ndak cuma satu dua kali. Coba nduk Marwah lihat, sekarang rame berdiri kafe-kafe kan? Itu isinya pemuda-pemuda kampung semua. Pada karaokean, gitaran, bersenang-senang. Mereka ndak mikir selain yang buat mereka senang. Boro-boro mikirin ummat.” Bu Ida menebah dada. “Duh Gusti...jangan-jangan kami orang-orang tua ini yang salah mendidik anak-anak kami, sehingga rusak begitu.”

Binar mata Bu Ida benar-benar redup sekarang. Beliau menunduk dalam, seperti menahan sesuatu yang bergolak.

“Nanti kalau ibuk diambil Gusti Allah, siapa ya yang menggantikan ngajar anak-anak ngaji...?” Sampai pada bagian ini, airmataku tidak tertahan lagi.

Adzan maghrib berkumandang. Ya, suara Mbah Sunar yang klerak-klerek itu mengalun melangit petang. Menghalau kawanan burung kembali ke sarang. Merangkum hangat sore jelang malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun