Mohon tunggu...
zakiya benaziroh
zakiya benaziroh Mohon Tunggu... -

Look around and thank god

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyangsikan Pagi

27 Mei 2012   13:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tersenyum sendiri mengenang kebiasaan tujuh belas tahun yang lalu itu.

Langgarlah yang menjadi saksi pergantian generasi di kampung kami. Ketika bu Ida baru pindah ke kampung ini, langgar kala itu menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Langgar yang utamanya merupakan tempat shalat jamaah lima waktu, kadang dimanfaatkan untuk menginap para pemuda kampung yang malas pulang ke rumah usai ngaji kitab atau meronda, selain juga menjadi tempat ibu-ibu rutinan yasin tahlil dan anak-anak belajar iqra'. Dengan semangat mudanya waktu itu, bu Ida ikut turun tangan, mengajar iqra' anak-anak kampung. Generasi TPA berganti tiap dua tahun sekali. Jika dihitung, anak yang mulai di-TPA-kan rata-rata berumur lima tahun. Selesai iqra' enam yang biasanya ditempuh selama setengah tahun, santri melanjutkan Al Quran hingga khatam tiga puluh juz. Jika orang tua sadar agama, anak-anaknya yang telah khatam Al Quran akan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan agama di Madrasah Diniyyah terdekat. Kelulusan santri TPA bukan berarti tugas guru TPA selesai, karena ada anak-anak generasi baru yang menunggu ditempa.

Aku masih menunggu di teras ketika anak-anak berhamburan keluar langgar. Sebagian masih antri mencium tangan Bu Ida, termasuk Suci. Tubuhnya yang hanya tiga perempat tinggi kawan-kawannya yang lain membuatnya kesulitan mencapai tangan Bu Ida. Terdesak melulu ke belakang.

“baarakallah..” Bu Ida mengusap-usap kepala Suci sambil menggandeng tangannya menuju aku.

Segera kucium tangan beliau, “Marwah bu,” ujarku mengingatkan. Bu Ida mengernyitkan dahi sejenak menatapku, kemudian, “Marwah sulungnya Pak Sunari?” Aku mengangguk.

“Ya Allah, pangling ibuk, kapan datang?” sambut Bu Ida renyah.

Obrolan pun berlanjut sembari berjalan pulang. Sesekali Langkah Bu Ida terhenti, penyakit pengapuran tulang yang diderita membuat gerak beliau tidak seaktif dulu. Namun demikian, Bu Ida kelihatan bersemangat mendengar ceritaku tentang Jogja, kota yang menahanku selama lima tahun ini. Terkadang beliau merespon dengan helaan khasnya, tertawa lirih, hingga menepuk-nepuk kepala belakangku, seperti yang biasa beliau lakukan dulu, ketika aku masih santri iqra’ Bu Ida. Sambil berkali-kali menarik lengan Suci yang mulai meloncat-loncat tidak stabil di jalan, aku bercerita tentang prestasi-prestasiku selama kuliah, hingga berhasil meraih beasiswa strata dua di kampus yang sama. Dari balik kacamata Bu Ida, kulihat binar matanya, takjub seolah baru mendengar cerita seperti itu seumur hidupnya. Bu Ida mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan formal setelah lulus SD, anaknya pun hanya bersekolah sampai SMP, kemudian bekerja membantu suami Bu Ida di sawah.

Air muka Bu Ida yang ceria seketika berubah sendu saat kusinggung mengenai sedikitnya santri yang tadi hadir di langgar.

“Anak-anak di kampung ini lebih memilih les ketimbang ngaji.” Aku mendengarkan takzim. “ya bagaimana, sekarang sekolah-sekolah kan sudah ples ples. Ada ngajinya sekalian. Ibuk senang kalau pendidikan agama sudah dipentingkan. Tapi ibuk heran kok akhlak anak-anak yang sekolah sampai sore, les di mana-mana, ada yang sampai manggil guru ke rumah, kok ndak tambah baik.” Bu Ida berhenti sejenak, meraba-raba lututnya. Tertawa kecil. “Maklum, produk lama, mulai karatan,...”

Aku merasakan kegetiran dalam tawanya. Suci kusuruh pulang duluan, sementara aku singgah di rumah Bu Ida.

“Dulu ibuk berharap Marwah atau Rizal bisa bantu-bantu ngajar.” Aku menunduk. Rizal, anak cerdas itu, sekarang di Jakarta, mengejar sarjananya. Kami memang sering menjadi contoh untuk santri lain, dikarenakan kemampuan kami menyerap ilmu dengan cepat. Bu Ida memandang nanar ke arah jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun