Mohon tunggu...
Zakiya Ar_Rahma
Zakiya Ar_Rahma Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar sepanjang hayat. This too shall pass.

Mencintai buku dan kehidupan yang dijalani saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jawaban Mengapa Menikah dan Ciri Siap Menikah

23 Juli 2023   07:10 Diperbarui: 24 Juli 2023   19:21 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, menemukan jawaban mengapa menikah jauh lebih rumit dibanding menjawab pertanyaan kapan menikah. Kapan menikah adalah soal mencari atau menemukan pasangan. Sedangkan mengapa menikah adalah soal memahami makna pernikahan.  

Jawaban pertanyaan 'mengapa menikah' sangatlah beragam. Mungkin ada yang menjawab karena ibadah, karena menyempurnakan iman, karena ingin seks secara halal, karena ingin dinafkahi, karena ingin punya teman hidup, bahkan ada jawaban yang cukup nyeleneh karena gabut. Tidak ada yang salah dengan jawaban demikian. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah kesiapan. Seharusnya, seseorang menikah karena dirinya telah siap secara lahir dan batin. Bukan sekadar ingin seks halal atau ingin dinafkahi. Juga bukan karena paksaan orang lain atau takut dianggap perawan/perjaka tua. Jadi, jawaban mengapa menikah adalah karena anda atau kita telah siap menikah. Lalu, kapan seseorang dinilai siap menikah?

Ciri Seseorang Siap Menikah

1. Sudah berusia 19 tahun ke atas

Laki-laki dan perempuan dipandang sudah siap menikah jika usianya sudah 19 tahun ke atas. Sebagaimana yang sudah diatur dalam UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019. Penetapan ini karena mempertimbangkan faktor psikologis dan faktor biologis pasangan. Usia 19 tahun ke atas sudah memiliki kepribadian yang matang, memiliki pemahaman yang cukup tentang pola asuh anak, dan cara mengelola rumah tangga. Seseorang yang matang secara psikologis akan siap menanggung segala rasa dalam pernikahan. Tidak hanya menanggung rasa senang atau hal-hal enaknya saja. Namun juga mampu menanggung rasa sedih, marah, lelah, rasa ingin menyerah dalam menghadapi ujian rumah tangga, dan hal-hal duka lainnya.

Sedangkan secara biologis, perempuan yang hamil di bawah usia 19 tahun sangat rentan mengalami keguguran, bayi lahir prematur, risiko depresi pasca melahirkan, dan terjadinya stunting. Penyebabnya adalah organ reproduksi perempuan belum matang, belum sempurnanya perkembangan tulang pinggul (pelvis), organ rahim belum terbentuk sempurna dan para remaja masih membutuhkan gizi maksimal sampai usia 21 tahun. Bila nutrisi tidak tercukupi selama kehamilan, maka bayi akan lahir dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan berisiko terkena stunting.  

Penetapan usia 19 tahun dalam perkawinan juga sangat melindungi perempuan dari pernikahan dini dan kehamilan dini yang sangat berisiko. Apalagi jika melihat data tingginya kematian bayi dan ibu melahirkan di Indonesia. Dari sisi agama, dalam pernikahan juga sangat mempertimbangkan prinsip kemaslahatan dan kesehatan reproduksi. Bahkan, syekh Ali Jum'ah yang menjabat sebagai mufti Mesir pada tahun 2010, sangat tegas dalam menanggapi kasus pernikahan dini (menikah di bawah usia 19 tahun). Beliau berargumen bahwa pernikahan dini/perkawinan anak adalah bentuk eksploitasi seksual terhadap anak-anak. Lebih tegas lagi, beliau menyatakan bahwa semua orang yang terlibat dalam proses akad perkawinan dini harus dijatuhi hukuman. Yaitu para orang tua, pelaku, penghubung, dan ahli hukum (Penjelasan ini dikutip dari buku berjudul Fiqih Perempuan oleh K. H. Husein Muhammad). Untuk itu, jika anda belum berusia 19 tahun, sebaiknya anda mengurungkan niat untuk menikah, dan fokus mencari penghasilan atau bekal lainnya untuk berumah tangga.

2. Mempunyai penghasilan yang cukup

Menikah dengan bondo nekat tentu bukan pilihan yang tepat. Karena faktor ekonomi sering menjadi sumber masalah dalam berumah tangga. Misalnya dalam kasus perceraian. Salah satu faktor terbesar penyebab perceraian adalah faktor ekonomi. Kesulitan ekonomi dapat mendorong pasutri (pasangan suami-istri) untuk saling berselisih, bertengkar,  bahkan mengarah pada perbuatan perselingkuhan.

Saya sangat menolak pendapat tentang 'nikah aja dulu, cari kerjaan kemudian'. Karena tanpa mempunyai pekerjaan, tanpa adanya penghasilan, rumah tangga tidak dapat berjalan. Jangan sampai rumah tangga dijalankan tanpa penghasilan apapun. Karena hanya dengan bekerja, mencari nafkah, rumah tangga dapat mencapai kesejahteraan. Mungkin masih ada  pasutri yang bergantung pada pemberian orang tua. Namun, sepantasnya, kita menjadi pasutri yang mandiri. Karena pemberian/bantuan orang tua pasti ada batasnya. Lagi pula, mencari penghasilan  tidak harus menjadi karyawan di perusahaan. Namun dapat melalui membuka bisnis atau usaha, sekaligus membuka lapangan kerja.

Pihak pencari nafkah tidak harus dibebankan kepada pihak suami atau laki-laki. Tidak masalah jika perempuan yang bekerja dan laki-laki yang mengurus rumah. Jika keduanya memutuskan untuk bekerja, juga tidak masalah. Karena yang lebih utama, kedua belah pihak sudah saling setuju atau sepakat terkait siapa yang menjadi pencari nafkah, dan memahami cara mengatur keuangan rumah tangga yang baik dan bijak. Jadi, bagi anda yang belum mempunyai penghasilan, anda belum siap menikah.

3. Memahami konsep kesalingan

Konsep kesalingan adalah konsep kerjasama antara suami dan istri untuk menjalankan peran-peran dalam rumah tangga. Seperti peran menjaga/mengasuh anak, peran memasak, peran bersih-bersih rumah, peran mengelola keuangan, dan peran lainnya di luar peran-peran biologis (mengandung, melahirkan) yang tidak dapat dipertukarkan. Konsep kesalingan ini sangat penting untuk membangun keharmonisan rumah tangga. Karena tanpa adanya kesalingan, tujuan mendapatkan ketenangan jiwa dalam berumah tangga tidak dapat tercapai. Hal itu disebabkan oleh salah satu pihak atau keduanya merasa selalu tertekan. Contohnya pada proses pengasuhan anak.  Saat istri sedang kerepotan memasak dan saat bersamaan anak menangis, tapi suami cuek saja. Karena suami beranggapan tugas mengasuh anak hanya tugas istri. Saat anak berperilaku tidak baik, suami justru menyalahkan istri dan tidak mencoba melakukan sharing satu sama salin. Contoh lainnya dalam hal nafkah. Saat gaji/penghasilan suami pas-pasan, istri hanya marah-marah dan tidak mencoba membantu menambah pemasukan rumah tangga.

Demi mencegah hal-hal buruk itu terjadi, maka konsep kesalingan ini sangat penting untuk dipahami setiap pasutri. Setiap suami dan istri harus bisa saling mengerti, saling menyayangi, saling membantu, saling bekerja sama, sehingga memperoleh ketenangan jiwa dalam pernikahan. Dengan adanya saling pengertian, pertengkaran dalam rumah tangga dapat diminimalisir. Untuk memahami konsep kesalingan ini, anda dapat memperkaya literatur. Misalnya membaca buku berjudul Qira'ah Mubadalah karya Faqihuddin Abdul Kodir atau buku Fiqih Perempuan karya K. H. Husein Muhammad.  

Dengan demikian, jika anda telah memenuhi ke-3 ciri tersebut, maka saatnya anda mencari dan menemukan pasangan untuk berlabuh dalam rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun