Mohon tunggu...
Zakiya Ar_Rahma
Zakiya Ar_Rahma Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar sepanjang hayat. This too shall pass.

Mencintai buku dan kehidupan yang dijalani saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perempuan dan Media: Mencapai Keadilan Media bagi Perempuan

5 Mei 2021   21:39 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:48 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak studi yang dikawinkan dengan media, seperti studi media dan agama, media dan budaya, media dan masyarakat dan studi tafsir Al-Quran di media sosial. Perkawinan tersebut melahirkan tema-tema kajian yang menarik dan berwarna di bidang keilmuan sosial dan sains. Misalnya dari studi agama dan media akan muncul tema-tema kajian seperti dakwah di media sosial, konvergensi agama, tasawuf virtual, fenomena ngaji online dan komunitas maya (cyber community).  

Begitu pula studi perempuan dan media. Studi ini bukan sesuatu yang baru, karena isu perempuan dan media telah muncul sejak munculnya media massa itu sendiri. Banyak tema yang dapat diangkat dari studi ini, seperti kekerasan perempuan di media, pornografi, pornoteks, citra perempuan di media massa dan tema-tema lainnya. Perempuan juga mengisi hampir 70% konten di media massa, yakni sebagai host, news anchor, pemain sinetron, infotainment, acara religi, ajang pencarian bakat dan iklan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perempuan adalah bahan bakar utama berjalannya media massa. Mengapa perempuan mendominasi tayangan di media massa?.

Pertama, hadirnya perempuan di media massa, masih sebatas sebagai konsumsi laki-laki. Ranah publik masih didominasi oleh laki-laki. Bahkan muncul pandangan ketika perempuan bekerja hanya untuk menambah keuangan rumah tangga. Alhasil banyak kebijakan yang timpang terhadap buruh atau pekerja perempuan, seperti upah lebih rendah, hak cuti yang tidak terpenuhi, rawan sebagai korban pelecehan, dan sulit menempati posisi strategis di perusahaan. Begitu pula pada bidang media, perempuan masih mengalami bias gender. Misalnya perempuan dianggap tidak cocok sebagai kameramen atau produser acara dan dinilai hanya mampu sebagai host nfotainment. Sebagai wartawan perempuan dinilai tidak layak meliput berita-berita kriminal, politik, ekonomi, bidang keamanan, namun hanya dilibatkan untuk meliput berita-berita seputar gaya hidup, feature dan sosial.

  Kedua, tubuh perempun sebagai komoditas di media massa. Selayaknya iklan yang menjual tubuh perempuan untuk menarik konsumen, banyak media massa seperti televisi, radio atau koran yang menggunakan tubuh perempuan untuk meningkatkan rating program, interaksi pendengar dan oplah media. Hal ini terlihat dari standard kecantikan perempuan yang ditampilkan oleh media massa melalui gambaran perempuan putih, tinggi, langsing, rambut hitam serta hidung mancung. Tidak heran jika kemudian kecantikan menjadi tolak ukur seorang pembaca berita, host program infotainment seperti program gosip yang juga didominasi oleh perempuan dan pengisi acara hiburan.

Sering kali perempuan harus bergoyang dan mengenakan pakaian ketat untuk menghibur penonton dalam program reality show. Pada program infotainment seperti Rumpi No Secret, Silet, Hot Issue, perempuan dijadikan sebagai host untuk memberikan citra bahwa perempuan memang tukang gosip yang gemar mencari keburukan orang lain dan mencampuri urusan rumah tangga publik figur. Bahkan program Rumpi No Secret menjadikan bibir perempuan sebagai icon siaran. Citra tersebut memberikan dampak negatif bagi perempuan karena akan memperkuat wacana bahwa perempuan adalah ahli neraka, sumber dosa dan sumber fitnah.

Perempuan belum sepenuhnya dipandang sebagai makhluk yang utuh, yakni makhluk yang berpikir dan berdaya. Sehingga, media massa sebagai institusi bisnis melakukan komersialisasi tubuh perempuan. Apakah komersialisasi tubuh ini dilakukan dengan rela oleh perempuan?.  Tentu saja tidak. Setiap perempuan ingin dipandang sebagai manusia yang utuh, mempunyai perasaan, akal, jiwa, bukan sebatas tubuh. Setiap perempuan ingin mempunyai banyak pilihan dan kebebasan. Sebagian besar perempuan termasuk perempuan pekerja media pasti ingin tampil sebagaimana keinginan hati kecilnya. Tidak dituntut memakai heels, bebas mewarnai rambut dan memilih hair style, bebas memakai pakaian yang membuat dirinya nyaman dan mendapat kesempatan untuk menempati posisi di perusahaan sebagaimana potensi dirinya.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan? Perempuan seharusnya melawan dan mengkampanyekan untuk stop melabeli perempuan hanya sebatas tubuh yang bergerak. Menafikkan kemampuan berpikir perempuan adalah kesesatan yang nyata. Perempuan seharusnya ditampilkan pada bidang-bidang strategis seperti host acara diskusi sebagaimana acara Mata Najwa yang menghadirkan sosok Najwa Shihab. Najwa Shihab dapat menjadi role model bagaimana perempuan seharusnya ditampilkan di media massa, yakni berani, cerdas, kritis, mampu menggawangi isu dengan baik. Najwa Shihab juga representasi dari seorang jurnalis perempuan yang mampu bekerja secara elegant dan profesional.

Perempuan seharusnya ditampilkan sebagai sosok yang cerdas dalam merespon isu-isu kemanusiaan, memperkuat nilai-nilai persatuan, baik dalam sinetron atau program-program lainnya. Pada dasarnya, kita memimpikan posisi perempuan di media massa sebagai agen perubahan sosial, agen pembawa nilai-nilai perdamaian dan agen kontrol kebijakan pemerintah. Sehingga, perempuan bukan sekedar penyalur produk perusahaan atau agen gosip.

Media mempunyai peran yang sangat besar untuk memberikan kesadaran terhadap peran perempuan. Karena bagaimana perempuan ditampilkan dan menampilkan dirinya di media, akan memberikan inspirasi terhadap khalayak tentang identitas dan peran perempuan di masyarakat. 

Untuk itu lah, penting bagi pihak media untuk merubah orientasi dan pandangan terhadap perempuan dari objek media ke subjek media. Sudah saatnya kita menciptkaan lingkungan media yang sehat bagi perempuan. Yakni memberikan kesempatan yang sama untuk laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan kemampuan dan potensi berpikir nya di media massa. Sudah saatnya melibatkan perempuan dalam isu-isu strategis seperti perekonomian, politik atau bidang keamanan. Karena konsep perempuan sebagai konco wingking atau teman di belakang (yakni sosok yang hanya mengurus dapur) harus dirubah. Penting untuk melihat perempuan sebagai manusia utuh dan bukan sekedar tubuh yang bereproduksi. Ketika perempuan memutuskan untuk bekerja di bidang industri media, hukum juga harus berjalan. Yakni bagaimana perempuan dapat bekerja pada industri media dengan leluasa, mendapat hak yang sama, bebas dari segala bentuk pelecehan (sexual harasement) dan bentuk-bentuk ketidak adilan lainnya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun