Pesantren adalah ruang paling berkesan di hidup saya. Di pesantren saya mendapatkan ruang untuk belajar banyak hal. Bukan hanya tentang melatih hidup mandiri namun juga cara memperlakukan perbedaan. Saya menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak saya temui, bahkan saya bayangkan. Terbiasa hidup di lingkungan dan keluarga yang homogen membuat saya sangat sensitif dengan perbedaan. Masyarakat di desa saya seluruhnya menganut agama Islam dan mayoritas hanya mengakui satu Ormas Islam (Organisasi Masyarakat).Â
Bahkan cenderung beranggapan bahwa Ormas Islam selainnya adalah tidak benar atau tidak baik. Sehingga, saat di pesantren saya dihadapkan oleh banyak perbedaan. Mulai dari hal-hal kecil seperti jam tidur yang berbeda, hobi berbeda, cara belajar yang berbeda, bahasa yang berbeda, logat atau aksen yang berbeda, bahkan Ormas Islam juga berbeda. Bagaimana saya mengatasi perbedaan ini? Padahal saya adalah orang yang terbiasa dengan sesuatu yang tunggal. Maka pesantren adalah ruang bagi saya untuk menumbuhkan pikiran tentang perbedaan. Mulai dari pesantren di Lamongan sampai pesantren di Yogyakarta.
Dari Lamongan ke Yogyakarta: Simpulan-Simpulan Perbedaan
Saya pertama kali merasakan kehidupan di pesantren sejak Tsanawiyah (setingkat SLTP). Pada jenjang Tsanawiyah dan Aliyah saya mondok di salah satu pesantren di Lamongan, Jawa Timur. Kemudian saat kuliah masih ketagihan  mondok di salah satu pesantren di Yogyakarta. Kehidupan di pesantren cukup keras bagi anak seusia saya waktu itu (13 tahun) karena dituntut mandiri. Mulai dari mencuci baju, membersihkan kamar dan mengatur keuangan (uang kiriman orang tua). Jadwal kegiatan di pesantren pun cukup padat mulai dari bangun tidur sampai malam hari. Belum lagi, saya harus menghadapi banyak perbedaan. Saya dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dan mengatur strategi beradaptasi.
Perbedaan itu saya alami dari hal-hal remeh hingga pada hal-hal besar. Hal-hal remeh itu misalnya perbedaan tentang jam tidur, selera musik dan cara belajar. Saya sendiri tipikal santri yang tidak bisa belajar di tempat yang ramai. Padahal saat mondok di Lamongan ada program belajar bersama yang terkadang ada beberapa santri yang membuat keributan dan suasana menjadi berisik.Â
Soal musik pun demikian. Setiap hari jumat kami boleh mendengarkan lagu dari tape recorder. Ada beberapa santri yang senang dengan lagu dangdut dan ada juga yang senang dengan lagu-lagu India. Saya sendiri gemar mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia dan lagu Korea. Pada kondisi ini lah saya dituntut belajar untuk menerima perbedaan dan beradaptasi.Â
Saya tidak mungkin menyikapinya dengan membenci kawan yang berbeda selera musiknya atau marah pada santri yang membuat keributan atau mengeraskan suaranya dalam belajar. Solusi saya adalah mencari tempat yang sepi dan terang, kemudian mengajak kawan lain yang mempunyai cara belajar yang sama. Kami pun memutar lagu secara bergilir supaya para santri dapat mendengar lagu sebagaimana favorit masing-masing.
Di pondok saya di Lamongan pihak pesantren juga tidak menyediakan alas tidur. Sehingga para santri diwajibkan untuk membawa alas tidur sendiri. Ada santri yang membawa karpet, tikar, kasur lantai dan kasur busa. Perbedaan alas tidur ini terkadang menyebabkan kecemburuan sosial karena ada santri yang tidur di kasur empuk dan lebih enak. Namun, saya mencoba untuk menanamkan dalam diri saya bahwa kenyamanan bukan diukur dari seberapa empuk kasur kita. Melainkan kemampuan kita mencapai ketenangan pikiran, ketenangan perasaan dan tidak terbebani oleh banyak masalah. Lagi pula, tidak jarang para santri saling bertukar alas tidur. Kami juga dapat tidur berdampingan dan tidur di bawah atap yang sama.
Saat mondok di Yogyakarta perbedaan yang saya alami semakin kompleks. Saya bertemu dengan kawan-kawan dari luar Jawa, seperti Aceh, Padang, Riau, Kalimantan, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Saya pun lebih mengenal adanya perbedaan bahasa dan budaya secara langsung. Bahkan saya mendengar sendiri bagaimana kawan saya yang dari Padang berbicara dengan bahasa dan dialeknya. Saya pun dapat mencicipi makanan khas dari berbagai daerah. Karena seringkali setelah liburan, para santri membawakan oleh-oleh dari daerahnya masing-masing. Misalnya pempek dari Palembang, Bonggolan dari Gresik, kripik Pisang coklat dari Lampung, wingko dari Lamongan, rendang dari Padang, carica dari Banjarnegara dan makanan lainnya.
Pesan Perdamaian dari Santri
Pengalaman tinggal di pesantren membuat saya memahami dan meyakini bahwa perbedaan adalah nikmat dalam hidup. Nikmat itu terbukti dengan hadirnya rasa senang, asyik dan gembira saat berkumpul dengan kawan-kawan santri dari beragam aliran dan suku. Bahkan di pesantren di Yogyakarta, untuk pertama kalinya saya mengenal santri dari ormas Islam yang lain. Kami berbeda dalam beberapa ritual ibadah, berbeda dalam sudut pandang atas kematian, namun tetap saling bercanda gurau dan mendiskusikan beberapa hal bersama. Karena prinsip kami adalah mencari teman sebanyak-banyaknya, bukan mencari musuh. Ketika ada santri yang tidak setuju dengan kegiatan tahlil atau diba'iyah, saya tidak harus memandang sinis kepadanya. Karena setiap santri mempunyai kebebasan untuk memilih dan meyakini ajaran-ajaran nya.
Menjadi santri harus menjadi agen perdamaian bagi negeri. Menjadi santri harus memahami perbedaan sebagai nikmat bukan sebagai laknat (bencana). Menjadi santri harus menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mempunyai hak hidup, hak mengembangkan potensi dirinya, hak berpendapat, hak menjadi pemimpin dan hak merdeka sebagai warga negara.Â
Santri terbiasa hidup dengan kesederhanaan (sepiring untuk bersama) dan saling berdampingan. Santri juga terbiasa hidup saling gotong royong, saling menolong, merasakan sedih dan susah hidup di pesantren, terbiasa survive dengan berpuasa karena kiriman bulanan telat dan terbiasa dengan perbedaan. Dengan demikian santri diharapkan mampu membawa spirit kesederhanaan hidup dan saling welas asih (menyayangi) ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.