Apakah berdamai itu sebentuk subordinasi satu pihak terhadap pihak lain?. Yang kemudian menjelma menjadi hegemoni. Atau mungkin juga dimaknai sebagai terobosan, sebuah upaya mengais potensi kemungkinan untuk melanjutkan keberlangsungan.Â
Karena, ibarat kata, orang Betawi punya istilah, seumpama terus-terusan mengambil sikap berseberangan, melawan adalah jalan bebas hambatan menuju kuburan atau yang agak lebih mendingan, mendatangkan  kerugian dalam nilai yang sangat besar.
Berdamai biasanya muara dari sebuah konfrontasi, sengkarut konflik. Proposal dibuat oleh pihak yang tersudut. Tapi pada konteks yang lain, pihak  superior kerap juga menydorkan peta damai. Alasannya tentu bukan karena kewalahan. Tapi karena tujuan yang diincar sudah tercapai. Dua hal itu selalu begitu seterusnya.
Karenanya, penulis dan sejarahwan Italia abad ke-16, Luigi da Porto menyampaikan apa yang disebut sebagai siklus perdamaian dan konflik, "perdamaian mendatangkan kemakmuran, kemakmuran mendatangkan kebanggaan, kebanggaan mendatangkan amarah, amarah mendatangkan perang, perang mendatangkan kemiskinan, kemiskinan mendatangkan kemanusiaan, kemanusiaan mendatangkan perdamaian".Â
Oh iya, Luigi da Porta ini juga yang membuat William Shakespeare terkenal. Kisah Romeo dan Juliet yang masyhur itu ternyata sebelumnya pernah ditulisnya yang kemudian dialihbahasakan oleh penulis berkebangsaan Prancis hingga sampai di tangan suami Anne Hathaway, membuatnya jadi salah satu selebritis Inggris.
Maka, ungkapan damai itu indah tentu memang benar adanya. Karena dalam situasi damai segala hal bisa dilakukan. Berbeda halnya dalam keadaan konflik atau perang. Warga sipil gelap mata dan tak bisa berpikir panjang. Untu hal ini, Sitor Situmorang dalam salah satu puisinya, Lembah Nil, ia mengingatkan,
Hitam warna asap perang, putih warna tulang manusia!
Jika alam, sejarah, filsafat dan agama dilalui,
Gurun pasir dan taman firdaus tiada beda.
Atau dalam puisinya yang lain, Tanah tumpah darah
Membangun dalam damai
Dengarlah seruan berabadabad
Seperti panggilan burung yang
Membangun sarangnya
Merdeka, bebas dan sejahtera
Impian dari rakyat
Tapi untungnya, bukan orang Indonesia kalau tidak ada untung dalam setiap peristiwa. Ada hikmah, nilai positif dari sebuah konflik.Â
Oleh para pakar, seperti yang ditulis oleh Adon Nasrullah Jamaludin, peneliti dari UIN Sunan Gunung Djati, Bandung dalam bukunya Agama dan Konflik Sosial: Studi Kerukunan Umat Beragama, Radikalisme, dan Konflik Antarumat Beragama, bahwa konflik dibutuhkan karena berguna untuk membuat kita menyadari adanya masalah, mendorong ke arah perubahan yang diperlukan, memperbaiki solusi, menumbuhkan semangat, mempercepat perkembangan pribadi, dan mendorong kedewasaan psikologis. Sehingga kita pun mengenal apa yang dinamakan manajemen konflik.
Jadi, apa sebetulnya pemicu konflik itu?. Tentu banyak variable yang menyulut terjadinya konflik, salah satunya adalah adanya perbedaan nilai. Masih ingat apa yang dilakukan oleh Ferdian Paleka dan dua orang temannya?.
Iya, Ferdian memberikan bantuan sembako kepada salah satu transpuan  yang ternyata isinya berupa batu bata dan sampah. Aktivitas itu ia rekam dan diunggah di kanal youtube miliknya.Â
Sontak, kecaman dari berbagai kalangan datang. Bahkan ia menjadi buron, dan mendekam di lembaga pemasyarakatan. Namun, apa alasan  ia melakukan hal demikian?. Jawaban Ferdian seperti banyak dimuat beberapa media adalah hanya karena urusan hiburan semata. Duh!.
Publik pun kemudian membanding-bandingkan apa yang dilakukan Ferdian dengan Baim Wong, artis sinetron dan bintang iklan. Seperti diketahui, dalam setiap unggahan video di kanal youtube-nya, Baim Wong sering membagi-bagikan uang dalam jumlah yang tidak sedikit.Â
Baim Wong yang memiliki followers  11 juta di akun Instagramnya dan di kanal youtubenya tercatat 10,3 juta subscribers bahkan mendonasikan Rp 15 miliar untuk keperluan pencegahan pandemi Covid-19.
Lalu, apa motivasi Baim Wong membagi-bagikan uang itu?. Jawabannya bisa diikuti pada salah satu postinganya, "Uang itu jangan dikumpulin. Lebih baik diputarkan lagi ke jalan ibadah. Nabung untuk akhirat yu. Mumpung masih ada waktu," ajak Baim Wong di caption postingan IG-nya, Senin (11/5/2020).
Apa yang dilakukan Baim Wong terselip unsur transedensi. Terlepas apakah itu hanya kepentingan konten atau prilakau keseharian yang sungguh-sungguh terjadi. Karena bagi sebagian orang, yang dilakukan Baim Wong itu tidak masuk akal, irasional.Â
Tapi jika semua urusan cara dan bentuk beribadah seseorang dipaksa diterima akal, sebagai produk rasio, maka sama dengan melakukan reduksi atas kemanusiaan  tidak mengimani kemahakuasaan Tuhan, begitu Kuntowijaya bilang. Contradicto in terminis.
Di akhir tulisan ini, saya tidak ingin menjadi juri atas dua youtuber tadi. Tapi sekedar kembali menyegarkan pandangan kritis Kuntowijoyo tentang relasi transedensi dan modernisasi teknologi dalam salah satu essai-nya, kita perlu humanisasi, memanusiakan kembali manusia, karena peradaban modern cenderung merendahkan derajat manusia melalui berbagai jalan, diantaranya ialah teknologi.Â
Sebuah karya seni atau konten kreatif yang melukiskan kedamaian akan mengangkat kembali manusia yang tidak pernah berdamai dengan lingkungn sekitar karena teknologi.
Jadi, Berdamai atau melawan melalui perang, silahkan saudara tentukan. Terserah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H