"Jangan menjadi petani. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja"
Dilan. Tokoh utama novel yang kemudian dilayarlebarkan dengan judul yang sama, Dilan 1990, karya Pidie Baiq ini berseliweran di media sosial dan grup-grup percakapan. Dan Dilan semakin fenomenal dengan capaian 1 juta penonton di bioskop dalam waktu 1 pekan.Â
Dilan menarik karena latar ceritanya yang bertema remaja dan romansa khas anak SMA. Ceruk pasar potensial karena ada sekitar 21 juta penduduk berusia 15 sampai 19 tahun dari total penduduk Indonesia. Tapi, Dilan juga menuai kontroversi, ekranisasi atau pengangkatan novel menjadi film ini menimbulkan ketidakpuasan teruatama di kalangan pembaca novelnya. Ketidakpuasan itu tertuju pada sosok Dilan yang jauh dari apa yang diimajinasikan.
Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya, Mukaddimah, mengatakan bahwa imajinasi mendapat suplai persepsi dari ruh, ia akan membentuknya sesuai dengan bentuk-bentuk yang terbiasa dalam persepsi sensual. Sedangkan sesuatu yang belum pernah dirasakan sama sekali tidak tak dapat menghasilkan bentuk. Maka wajar adanya ketika sebagian besar kekecewaan terpecik dari para pembaca novel Dilan ketika mereka menikmati dalam bentuk film karena persepsi yang sudah terbentuk tidak sejalan dengan realitas gambaran dalam sebuah layar.
Lantas, bagaimana dengan imajinasi swasembada pangan kita ?. Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, tepatnya tahun 1984, Indonesia mampu membalikkan keadaan, From Rice Importer to Self-Sufficiency, tulisan yang tertera pada medali yang diberikan FAO kepada Indonesia sebagai simbol keberhasilan mencukupi kebutuhan pangan dari hasil jerih payah petani sendiri. "Itu bukanlah keajaiban. Itu merupakan kerja keras seluruh bangsa kita, yang dilaksanakan secara ulet menurut suatu rencana pembangunan yang realistik tanpa kehilangan cita-cita masa depan", tanggapan Presiden Soeharto atas capaian tersebut seperti tertulis bukunya otobiografi, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Salah satu kunci keberhasilan swasembada pangan saat itu adalah produktivitas tinggi dan keberadaan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang kuat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tren peningkatan produksi mulai terlihat dari mulai tahun 1980 sampai 1985. Produksi padi Gabah Kering Giling (GKG) tahun 1980 adalah 29,6 juta ton, tahun 1981 sebesar 32,7 juta ton, 1982 sebesar 33,5 juta ton, tahun 1983 sebesar 35,3 juta ton, tahun 1984 sebesar 38 juta ton dan 39, juta ton pada tahun 1985.Â
Maka ketika produksi padi yang melimpah, Bulog langsung memerankan dirinya sebagai, istilah Sapuan Gafar, Mantan Wakil Kepala Bulog, 'waduk', pada saat panen padi Bulog menampung surplus musiman, pada waktu paceklik Bulog menyalurkan beras melalui operasi pasar. Konsep stabilisasi komoditas pangan strategis ini sederhana namun aktualnya ternyata pelik terutama kondisi sekarang ini.Â
Bulog tak mampu menyerap gabah/beras walaupun ada kebijakan pengadaan gabah dengan menggunakan fleksibilitas harga 10% diatas HPP dan pembelian gabah di luar kualitas. Khusus untuk penugasan penyerapan gabah di luar kualitas yang merupakan implementasi Perpres 20/2017 yang kemudian secara rinci diatur dalam Permentan 03/2017 telah habis masa berlakunya per tanggal 28 Agustus 2017 yang lalu.
Sementara itu, data yang dimiliki Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa produksi padi dalam empat bulan pertama di 2018 akan mengalami fluktuasi, puncak produksi akan terjadi pada bulan Maret, 11,9 juta ton, Februari dan April masing-masing 8,6 juta ton dan 8,8 juta ton sedangkan bulan Januari sebesar 4,5 juta ton. Hal inilah yang kemudian mendorong para petani untuk berani bersikap menolak importasi. Â Petani berharap, jerih payah dan hasil keringat mereka selama ini diparesiasi. Toh, sebagian besar dari 14,2 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) beras sejahtera (Rastra) adalah petani sendiri.
Semoga dengan kesederhanaan dan ketulusan para petani, imajinasi swasembada pangan mampu direkonstruksi. Karena, mengutip ungkapan Pram, "Kesederhanan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan".Berani menjadi petani ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H