Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gadis Rohingya

3 September 2017   07:33 Diperbarui: 3 September 2017   08:07 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hiburan ndasmu. Sini tak pindahin. Biar intelek dikit. Kasihan pahala tahajudmu rontok oleh paha artis yang menggairahkan itu. Kasihann hafalanmu yang kandas di belahan dada artis yang tak mengenalmu itu." Jawabku sambil membentak ala komandan. Maklum aku kan senior.

Dengan menyerah Andi hanya diam seribu bahasa. Sepertinya bukan karena saya berkata dengan benar dan menusuk, tapi ia takut akan jenggot ku yang mulai memanjang. Ku pindahkan acara itu ke berita di salah satu media. Lalu aku terhenyak. Aku baru tahu ada pembantaian di Rohingya, ya di Rohingya dimana gadis yang telah mengoyak perasaan ku itu tinggal. Muslim Rohingya yang menjadi minoritas itu di bakar hidup hidup, di sembelih dan anak-anaknya di bantai habis-habisan. Para wanita nya di perkosa dan diperlakukan bak hewan jalang. Aku melongok. Aku takut wanita itu adalah Aung Sie, si wanita yang ku rindu. Si wanita yang ceria. Si wanita yang ingin ke Indonesia mengunjungiku.

Sejenak ku seruput kopi hitam pahit itu. Aku segera membayar harganya. Ma Ijah pun melongo melihat sikapku yang terburu-buru itu. Ia pasti menyangka ada yang aneh dalam diriku. Ya aku memang sering nongkrong lebih satu jam untuk sekedar nonton berita. Namun, saat menonton berita Rohingya, wajah ku terlihat pucat, tanganku bergetar, jantungku berdenyut tak menentu, dan mulutku kelu untuk menjawab pertanyaan Bi Ijah.

"Kenapa Dang, kau seperti tikus ketemu Kucing. Jangan dipikirkan. Rohingya itu jauh sekali dari kita. Kita ga bisa berbuat banyak untuk mereka. Cukup do'akan saja. Jangan sedih begitu."

"Kau tak tahu bi, di sanalah masa depan ku simpan bersama gadis Rohingya yang cerdas. Di sanalah akan ku titipkan generasi muda Islam yang mujahid. Di sanalah akan aku jadikan pesantren yang menaungi minoritas dari kejaran para Budhis militan. Di sanalah aku akan menjadikan nyawa ini sebagai taruhan menegakan kalimat la ilaha illallah..."batinku tanpa bersuara sepatah katapun. Dengan bergegas kakiku segera menangkap sendal Carvil ku dan sesegera meninggalkan Ma Ijah yang bengong.

Dengan setengah berlari, aku ayunkan kaki ini sambil tak melihat kanan kiri. Semua santri melongo melihat diriku yang tak biasanya. Tiang madrasah yang tak terlihat pun menjadi sasaran kejaranku, ya kepala ku harus beradu dengan kerasnya tiang beton itu. Kepalaku pening dan hampir roboh. Namun, aku ingat perjuangan ini tak seberapa dibanding Aung Sie yang sedang melawan para pembantai. Aku terus berlari ke kamar kobong ku sambil berharap ada balasan WA dari gadis yang ku pikirkan sejak subuh tadi itu.

Sambil terengah-engah saya sikat HP di bawah tumpukan baju di dalam lemariku. Lalu dengan membaca bismillah ku buka kuncinya. Masya Allah ada puluhan WA masuk...ku perhatikan nama "Aung Sie Gadis Rohingya" di jajaran message WA itu dan benar juga akhirnya ku dapatkan. Ku tatap pesan itu, sambil bergetar aku baca hati-hati setiap kalimatnya.

"Akhi Dadang di Indonesia, di pesantren yang suatu hari aku puja untuk hidup di dalamnya. Izinkan aku untuk melupakanmu karena Allah memanggilku untuk menjadi tentara-Nya dalam perjuangan ini. Izinkan aku untuk tidak menunaikan janjiku padamu. Izinkan aku mati menjadi syuhada bersama para pejuang Rohingya yang tangguh. Izinkan aku menjadi bagian hidupmu dalam belajar mu di pesantren yang kau cintai itu. Izinkan namaku menjadi butiran do'a atas keselamatan dan kesyuhadaan ku. Akhi... dalam hati kecil ini, saya senantiasa berdo'a bila kelak aku menjadi istrimu, kita akan menjadi keluarga yang muslim yang tangguh. Keluarga Rohingya yang memiliki nafas perjuangan Islam di Tanah ini. Namun, sepertinya cita hati kecil ini kandas oleh serangan para Budhis kejam ini. Salam terakhir akhi..semoga antum baik-baik saja..."

Tak terasa air mata ini meleleh. Lelehannya terasa panas dan membakar kulit pipi. HP yang ku pegang jatuh ke lantai. Batreinya copot hingga tak benyawa lagi. Dengan segala perasaan yang tak karuan. Aku langkahkan kaki ini ke mesjid. Aku ambil air wudhu untuk sekedar melepaskan kegundahan hati ini. Lalu ku pegang mic mesjid dan dengan tak sadar aku berteriak di speaker mesjid yang keras itu.

"Ayo kawan-kawan muslim. Kita jangan mengaji kitab saja. Kita harus memabantu Rohingya. Kita harus menyelamatkan Islam di Tanah Rohingya. Kita tak boleh berdiam diri. Do'a tak cukup untuk menyelamatkan mereka dari siksaan Budhis yang kejam itu. Kita perlu melawan. Wahai saudaraku seiman, tunjukan kedalaman cintamu pada Islam saat ini di Rohingya. Perlihatkan daya juangmu untuk Rohingya saat ini kawan. Janganlah kita hidup nikmat atas pembantaian saudara kita di Rohingya. Marilah kawan kita berangkat sekarang juga!!!!!"

Smua santri yang sedang tidur bangun semua. Mereka melongo atas ulahku yang bagi mereka konyol. Mereka tak mengerti apa yang aku pikirkan. Mereka menertawakanku seolah aku jadi orang gila. Mereka menghardiku dengan cercaan yang tak beralasan. Mereka menganggap aneh prilaku ku yang beda dan sunggguh beda 360 derajat. Mereka berpikir aku adalah salah satu orang gendeng yang pernah lahir di pesantren ini. Mereka bergumam:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun