Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka Agama dan Akademik

14 Agustus 2017   07:34 Diperbarui: 14 Agustus 2017   09:22 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemerdekaan dalam bernegara adalah satu bagian saja dalam kehidupan kita. Ia merupakan momen dimana negara kita terbebas dalam belenggu penjajahan. Rasa syukur atasnya harus diaktualisasikan atas karya mandiri untuk bangsa. Karya yang dapat menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang terhormat, bukan saja terhormat dalam dimensi sosial global namun juga terhormat dalam dimensi ketuhanan-transendental. Kemerdekaan bukan hanya masalah perjuangan, namun di sana ada dimensi spiritual yang mendorongnya. "Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa ..."

Untuk mengaktualkan diri dalam kemerdekaan, seyogyanya sebagai guru, kita harus memahami kemerdekaan dalam dua pandangan penting; Agama dan akademik. Pandangan itu dapat menolong kita dalam memahami kemerdekaan dalam kehidupan yang panjang. Padangan itu juga dapat merubah mindset visi kehidupan akademik kita agar lebih bermakna, dan tentu saja lebih bernilai.

Kemerdekaan Agama

Agama derivasi dari dua kata "A" dengan makna "tidak" dan "gama" berarti "kacau". Jadi secara sederhana Agama adalah instrumen (alat) untuk manusia agat tidak mengalami kekacauan. Jadi tidaklah heran bila agama memiliki konsep yang manusiawi dan sangat lengkap. Lebih lengkap dari Undang-undang negara. Agama menjelaskan aturan manusia dari mulai lahir hingga meninggal bahkan kabar peristiwa ketika sudah meninggal. Ia berisi dari bagaimana kita melakukan perkawinan sampai masuk WC. Mulai dari makan hingga tidur. Ia sangat komplit dan prosedural.

Kemerdekaan agama tidak diartikan sebagai kemerdekaan memilih dan memilah agama. Kemerdekaan agama adalah tunduk patuh terhadap ajarannya. Karena agama bersifat ketuhanan, maka di dalamnya bersifat dogmatis dan taken for granted. Sebagian besar ajarannya statis (qot'i) dan harus diterima apa adanya tanpa inovasi dan karya mandiri, walaupun dalam beberapa hal bersifat dinamis dan menerima pengembangan lebih lanjut (donni). Tunduk terhadap dogma dan hati-hati terhadap implementasinya adalah indikasi kemerdekaan agama.

Beberapa indikator kemerdekaan agama dalam Islam. Pertama merdeka dalam kehidupan duniawi. Konsep dasarnya adalah zuhud. Hal yang bersifat duniawi-materi tidak menjadi ukuran walaupun tidak harus ditinggalkan. Dunia cukup sampai di "tangan" tidak usah di masukan dalam "hati". Manusia boleh memiliki dunia-materi tetapi tidak menjadikannya lupa atas tujuan ibadahnya. Duniawi-materi hanya sebagai modal untuk ibadah ghoer mahdhoh (ibadah sosial) yang menjadi pelengkap ibadah mahdhoh (ibadah spiritual).

Kedua merdeka dalam kejahatan, baik kejahatan kemanusiaan atau kejahatan alam yang lebih luas. Surga-neraka adalah instrumen penting dalam membantu manusia untuk tidak melakukan kejahatan. Mereka adalah reward and punishment yang didesain Allah agar manusia menjadi mahluk yang baik. Namun, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah bukan hanya takut akan surga dan neraka tetapi lebih kepada takut kepada Allah. Mengetahui (makrifat) kepada Allah adalah akhir dari perjalanan manusia dengan Tuhannya. Dzikir dan berbuat amal baik sebagai "jalannya" (suluk) adalah untuk menggapai makrifat kepada Allah. Ketika makrifat itu sudah didapatkan, surga-neraka bukanlah bagian penting untuk meninggalkan kejahatan, tapi Allahlah segalanya.

Ketiga merdeka dalam egoisme. Hal yang paling banyak ditemui dalam kelalaian diri manusia adalah egoisme. Manusia yang paling tinggi derajatnya adalah mereka yang tawadhu, rendah hati. Ia sadar akan kemampuan diri yang tidak seberapa di banding Sang Kholik. Ia juga sadar ilmu yang dimilikinya hanya sebutir debu yang diberikan oleh Tuhannya. Ia sadar bahwa dirinya memiliki plus minus dan tidak berada di atas mahluk lainnya. Ia hanya ditakdirkan untuk berada di titik saat ini karena rahmat dan taufik-Nya, yang mana suatu saat bisa dicabut dan dihinakan-Nya. Tidak ada yang "lebih" dalam dirinya, jadi tidak ada alasan untuk menunjukan "kelebihan" dirinya atas orang lain, apalagi dengan Tuhannya.

Kemerdekaan Akademik

Kemerdekaan ini khusus untuk para akademisi. Mereka adalah para pemikir dan pejuang pendidikan. Mereka adalah manusia yang diberikan keberuntungan berupa akal dan pikiran yang baik melebihi lainnya. Mereka adalah panji pemegang ilmu dan penyebarnya. Mereka adalah simbol pengetahuan dan penerang jalan yang dibutuhkan manusia. Mereka benar-benar yang paling penting dalam kebhidupan, baik sosial maupun spiritual.

Berbeda dengan kemerdekaan Agama yang tunduk (submission), kemerdekaan bagi kaum ini adalah kemerdekaan berpikir. Merdeka untuk senantiasa menggunakan akal dan ilmunya untuk dapat bersenyawa dalam sebuah karya. Karya berupa pengembangan ilmu pengetahuan yang membantu manusia dalam kehidupannya. Itu dapat dituliskan dalam sebuah karya akademik yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi atau berbentuk karya produk yang berdaya guna dalam kehidupan manusia.

Jadi, kemerdekaan akademik adalah ketika akademisi sudah berkarya atas ilmu dan daya pikirnya. Para dosen merdeka bila mereka menuliskan dan memproduk karya atas disiplin ilmu yang disandangnya. Para guru merdeka manakala mereka sudah berkarya membimbing siswanya untuk menempuh jalan terjal kehidupan menjadi dewasa dan bermanfaat lebih untuk masyarakatnya. Para ulama merdeka manakala mereka telah menuliskan ilmu agama atau membimbing ummat ke jalan yang di kehendaki oleh Tuhan.

Bila para akademisi belum berkaraya atas ilmunya, maka mereka masih terjajah. Terjajah dengan dengan egoisme ilmu yang ada dalam dirinya. Mereka tidak mau berbagi dengan orang lain untuk menjadi lebih baik. Allah akan melaknat orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya. Agar tidak dilaknat, maka karya adalah solusinya. Ia bisa berbentuk buah pikirnya dalam bentuk tulisan, ia juga bisa berbentuk pengabdian yang besar kepada masyarakat melalui produk karyanya atau pikirannya. Dengan karya ini, bisa jadi ibadah mahdhoh yang tidak khusu digantikan dengan ibadah sosial yang diridhoi-Nya.

Ketika karya itu tidak juga muncul, bisa jadi ini merupakan penipuan. Para akademisi dituduh menipu manakala keilmuan tidak disenyawakan dengan olah pikirnya dan tidak menghasilkan apa-apa. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan. Orang akan menghormati ilmu yang hadir dalam diri akademisi, namun ia sendiri sebenarnya tidak memahami ilmu yang dimaksud. Ilmunya telah menjajah dirinya. Ilmunya hanya sekedar alat untuk kepentingan kemuliaan dirinya, bukan memuliakan orang lain.

Bila para akademisi telah memanfaatkan ilmu sebagai kedok kepentingan pribadinya, maka mereka adalah penjajah. Kemerdekaan dalam diri dan ilmunya belum dibebaskan dalam egoisme dan ketakaburan diri.  Ilmu yang ia miliki tidak memiliki manfaat sedikitpun untuk dirinya di dunia, apalagi di akhirat. Akhir dari keilmuannya akan dicibir dan hanya baik di hadapannya saja. Ketika di belakangnya, ilmu itu akan menikam dan memburukan dirinya. Mereka belum merdeka, tetapi mirip seperti merdeka.

Kemerdekaan Individu dalam Agama dan Akademik

Bagaimanakah seorang individu memerdekakan dirinya dari Agama dan Akademiknya? Agama adalah kepatuhan dan ketundukan. Akademik adalah kekaryaan dan pengembangan. Dalam satu sudut pandang ini bertolak belakang. Namun, dalam sudut yang lebih luas, ini merupakan persenyawaan yang sempurna bagi seorang akademisi yang religious.

Agama sebagai filosofi dalam hidupnya akan menjadi landasan dalam berkarya akademiknya. Bila saja nilai-nilai agama telah mendarah daging dalam dirinya, maka segala karya dalam bidang akademiknya akan ditujukan untuk kebaikan ibadah sosialnya. Karyanya tidak akan lahir dari materialisme dimana dimensi karya menjadi lahan bisnis yang meng"kaya"kan. Karyanya tidak akan membantu kejahatan dan dibuat dengan dasar kejahatan. Karyanya juga tidak akan diklaim hasil dirinya tanpa bantuan Tuhan. Ia sadar, tanpa bantuan Tuhan tidak ada yang bisa dilakukan oleh dirinya, sepintar apapun dia.

Jadi, untuk kaum akademis seperti ulama, dosen, guru dan para pemikir, kini saatnya kita untuk melanjutkan kemerdekaan kita dalam berkarya. Karya yang memuliakan manusia. Karya yang menjadikan manusia hebat untuk kehidupannya. Dengan bantuan para akademisi inilah hidup menjadi lebih "hidup".  Di tangan akademisilah, kehidupan berbasis nilai agama akan dipenuhi karya. Bekerjalah yang lebih keras agar kita pantas menjadi benar-benar akademisi-berkarya. Tekunlah agar kita diakui sebagai akademisi sesungguhnya. Berkaryalah agar dunia tahu bahwa kita benar-benar akademisi. Izinkan dunia membahagiakanmu dengan karya, dan mintalah akhirat untuk membuatkan rumah di surga atas karya keilmuanmu.

Bumisyafikri, 14/08/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun