Lalu, apakah ada rasa optimisme untuk menjadikan tasik sebagai kota pendidikan? Apakah warga Tasik bisa menjadi warga literasi. Literasi sederhananya adalah keterbacaan, apakah dalam kontek membaca, menulis, berdiskusi dan berpengetahuan sesuatu. Literasi bukan hanya reseptif tapi produktif. Literasi bukan hanya tahu tapi melakukan. Literasi adalah gabungan antara kemampuan kognitif, behaviouristik dan konstruktivistik. Jadi literasi adalah kemampuan “melek” manusia dalam kehidupannya.
Hari ini saya dipertemukan dengan komunitas yang hebat. Komunitasi ini membuat saya optimis untuk bisa mengembangkan Tasik sebagai kota literasi. Saya yakin Tasik bisa menjadi kota tujuan pendidikan, bukan hanya karena universitas negeri yang sudah berdiri dan PT lain yang menjamur, tapi saya melihat kecenderungan kecintaan orangnya terhadap literasi. Pertemuan ini membuka mata saya, bahwa banyak anak muda yang siap untuk menghantarkan Tasik sebagai kota pendidikan, mereka adalah calon warga yang produktif dalam literasinya.
Disamping pertemuan yang diinisiasi oleh Cibutabasi saat ini, saya pun harus adil untuk menceritakan optimisme saya atas komunitas literasi Tasik kota lainnya dimana saya mengenalnya. Saya telah banyak bersentuhan dengan kaula muda dan komunitas literasi, yang kesemuanya meyakinkan saya untuk menjadikan Tasik sebagai kota kecil yang akan maju suatu saat nanti. Komunitas-komunitas inilah yang akan membantu PT dalam mentransformasikan Tasik sebagai kota pendidikan yang tidak asal ada PT-nya saja, melainkan menjadi PT yang berkualitas dan memproduksi karya-karya yang memiliki kekayaan intelektual yang tinggi. Saya yakin itu.
Ini beberapa komunitas yang bisa menjadi referensi kota lain untuk bermigrasi menjadi kota literasi. Pertama komunitas Cibutabasi. Komunitas ini mengidentitaskan diri dengan akronim Cibutabasi dengan arti Cinta Buku Cinta Baca dan Diskusi. Kawan hebat saya Pak Asep Taman yang menjadi leading sector dari komunitas ini menjadi inspirator anak-anak muda terutama mahasiswa dalam membaca dan menulis. Walaupun Cibutabasi tidak mengandung makna “menulis” namun sepertinya visinya adalah membuat anggotanya bisa menulis.
Dengan program membuat majalah dari karya anggota Cibutabasi, komunitas ini mengharapkan lahirnya pemikir-pemikir muda yang brilian. Meminjam istilah Dudi RS, pentolan sastrawan Sunda dan Pemred salah satu koran terkenal di Tasikmalaya, bahwa Cibutabasi adalah bak telaga yang mengandung banyak mata air. Airnya sangat berkualitas sehingga perlu ada kanalisasi dalam sebuah produk. Maka, majalah yang dipilih oleh pemuka komunitas ini bisa jadi salah satu kanal yang dimaksud, disamping tentu saja diskusi WA yang sangat atraktif.
Kedua, komunitas penulis anak-anak muda kampus. Saya melihat di salah satu kampus ada komunitas KOPI (komunitas penulis IAIC) yang telah memproduksi beberapa buku, walaupun dominan tulisannya adalah fiksional. Mereka belum masuk ke wilayah faktual atau faksional. Di Kampus STAI Tasikmalaya pun saya melihat ada kegairahan mahasiswa untuk menulis dalam beberapa buletin kampus yang sangat kritis dan energik. Di kampus lain pun (dimana saya dulu menjadi ketua Pers Mahasiswanya) sudah mulai bergeliat untuk menulis, baik yang bersifat reportase, opini atau karya ilmiah lainnya. Dalam waktu terakhir saya diundang untuk buka bersama atas pertemuan penulis-penulis untuk menggairahkan kepenulisan di kampus-kampus.
Ketiga, komunitas pemikir dan penulis dewasa yang sudah jadi. Beberapa nama seperti LP2B dari kepanjangan Lembaga Pembaca dan Penulis Buku, dan Gumeulis kependekan dari guru menulis adalah contoh dimana kaula muda yang sudah beranjak dewasa memiliki kepedulian tentang literasi di Tasik. Hal yang patut diapresiasi adalah peran serta media massa yang membantu publikasi hasil mereka. Yang paling saya kagumi adalah mereka sampai ingin mencoba untuk mengkompilasi hasil tulisan berjamaahnya untuk dijadikan buku. Buku inilah yang menjadi bukti keseriusan mereka dalam berliterasi. Walaupun saya tidak mengetahui kualitas isinya, saya berharap ini bisa dipupuk untuk terus beraksi dan tidak berhenti dalam diskusi.
Keempat, komunitas sosial media yang aktif. Setelah beberapa ahli dan saya juga aktif di media sosial, sepertinya ada banyak pihak yang merasa terpanggil untuk melakukan hal yang sama. Mereka memposting tulisan-tulisan yang bergizi dan tidak hanya untuk urusan melucu atau mencari perhatian saja di medsos. Saya melihat kecenderungan kawan saya (baca: mahasiswa) yang mengikuti jejak menulis di salah satu blog nasional juga sangat membanggakan. Dengan saling dukung-mendukung, kami melakukan endorsement untuk mendukung kemampuan literasi masing-masing. Mereka sangat memilki energi untuk menulis dan sepertinya tulisannya sangat menakjubkan.
Saya berkesimpulan, para penulis yang sudah dulu literate dalam kemampuan menulis harus mampu memotivasi generasi lanjutan dalam menulis. Produk tulisan yang sangat melimpah pada golden age Islam (seperti yang dikemukan oleh kawan baik saya, Bu Nany Widyawati) adalah contoh produktifitas mulia dari warga Islam saat itu. Bukan hanya melimpahnya jumlah buku, tapi daya tahan buku pun begitu lama dan sangat memiliki ruh yang mendalam.
Saya optimis, bahwa suatu saat Tasikmalaya akan seperti Baghdad yang menjadi pusat studi ilmu ketika Eropa masuk dark age. Dengan banyaknya kawula muda yang memiliki energi untuk menulis, saya kira akan ada masa dimana mereka menumpahkan literasinya dalam menulis. Berbagai media yang hadir dalam kehidupan mereka semisal FB, WA, dan lainnya akan menjadi katalisator yang baik dalam membangun generasi literasi. Mereka akan mendayagunakan sumber dayanya untuk memajukan literasi kotanya.
Apa yang harus generasi muda itu lakukan? Hal yang sangat penting untuk mereka tunjukan adalah: (1) konsistensi untuk menulis, (2) komitmen terhadap diri sendiri untuk menulis, (3) membaca buku sebanyaknya dan mencoba menuliskan dalam dimensi pikirannya, (4) menghindari prilaku plagiarisme dan copy paste, (5) berkumpul dengan komunitas yang saling mendukung, (6) tidak merasa marjinal dan percaya diri di hadapan komunitas menulis yang lebih maju, dan (7) mencoba beraktualisasi diri untuk mengekspresikan apa saja yang dipikirkan, serta (8) memproduksi tulisannya sebagai bukti literasi untuk generasi selanjutnya. {}