Saya tidak berani mengatakan bahwa “pertempuran” atas kebijakan Fullday School (FS) adalah pertempuran antar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, melihat penolakan yang kental dari NU terhadap kader Muhammadiyah di Kabinet sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi, atas kebijakan 5 hari sekolah dan FS bisa dipersepsikan sebagai pertempuran antar dua ormas terbesar itu. Saya kira itu tidak dibenarkan.
Muhajir Effendi sebagai aktor utama dalam kebijakan ini adalah kader Muhammadiyah yang sangat berhasil di Universitas Muhammadiyah. Ia merupakan pengganti Anies Baswedan, yang “dipecat” oleh Presiden Jokowi satu tahun lalu. Menteri Muhajir disinyalir oleh beberapa kalangan sebagai potong-potong kue kekuasaan Jokowi atas pemerintahannya, di mana di awal pembentukan kabinet, Muhammadiyah ketinggalan gerbong pemerintahan. Dengan memasukan kader Muhammadiyah ini diharapkan pemerintahan Jokowi bisa stabil dan produktif. Saya setuju.
Ada tradisi unik dalam posisi Muhammadiyah dan NU dalam pemerintahan setiap rejim. Dengan ini, saya tidak berarti mengecilkan peran ormas Islam lainnya semisal Persis, Mathlaul Anwar, PUI, Nahdlatul Wathon, DDI dan ormas lainnya, saya hanya mengemukakan persepsi yang hadir dalam fakta politik-ormas kita.
Sejalan dengan sejarah yang panjang, Kementerian Agama adalah “rumah” politik bagi NU di satu sisi, dan Kementerian Pendidikan adalah “rumah” untuk Muhammadiyah di sisi lainnya. Saya sebut rumah politik, karena mau tidak mau jabatan menteri adalah jabatan politis yang tidak bisa menghindarkan dari kebijakan kompromi politik pemenang pemilu.
Walaupun tidak secara tertulis, “tradisi” ini hadir dalam perpolitikan kita. Adapun ketika era SBY, kemendikbud dipimpin oleh Muhammad Nuh yang dikenal sebagai kader NU, itu merupakan kelainan yang diterima oleh Muhammadiyah. Bila itu terjadi kepada Kemenag, saya tidak tahu reaksi hebat seperti apa yang akan dilakukan oleh para kaum nahdliyin. Dalam konteks ini, kita bisa menyadari bahwa masalah politik-Agama, memang NU lah yang mampu merekatkan semua agama, karena NU lahir dengan core NKRI harga mati, hubbul wathon minal iman, dan anti takfiri (mengkafirkan orang lain). Pantas saja.
Beberapa waktu lalu Pak Mendikbud menjelaskan akan mengimplementasikan FS dengan 5 hari sekolah. FS disinyalir adalah sekolah ideal yang sukses diimplementasikan oleh Muhammadiyah dalam persekolahannya. Penolakan massif organ-organ NU semisal PBNU, Anshor, kader NU yang menjadi bupati (Rembang) dan jamaah NU seperti FKDT (Forum Komunikasi Diniah Takmiliyah) dan lainnya adalah reaksi perlawanan.
Mereka menganggap kebijakan yang “Muhammadiyah” minded tidak bisa serta merta menjadi kebijakan nasional. Bagi saya, ini adalah seperti “pertempuran” sengit antara dua ormas ini. Walaupun itu tidak seutuhnya benar. Ini hanya prasangka saya saja. Benar atau tidak, wallohu a’lam.
Untuk masuk ke dalam “pertempuran” ini, saya kira kita harus memahami gambaran singkat profil dua ormas ini, terutama dari sisi sistem pendidikan yang di kelolanya. Pertama, NU adalah organisasi tradisional dan kultural. Organisasi ini hadir atas modernisasi pengelolaan saja, karena organisasi ini secara kultural sudah ratusan tahun hadir bersamaan dengan lahirnya Islam di Indonesia, terutama masa ke”wali”an Indonesia.
Dengan modernisasi pengelolaan jamaah nahdliyah ini, maka muncul dua organ NU, yaitu jamaah struktural dan jamaah kultural. Struktural adalah mereka yang menjadi pengurus dari tingkan nasional yang di panggi PBNU, provinsi PWNU, kabupaten kota PCNU sampai Pengurus ranting tingkat desa.
Kultural adalah mereka yang memiliki tata cara peribadahan NU yang mirif tanpa terikat secara struktur kepada NU. Inilah yang membuat NU menjadi ormas terbesar di Indonesia, dimana dengan sejarah Islam yang panjang di Indonesia ajaran Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang diklaim NU sebagai ajarannya sudah dipraktikan oleh mayoritas Islam Indonesia. Jadi, kekuatan NU sebenarnya bukan di struktur, tapi di Kultur.
NU mengemas organisasinya dengan dua hal pokok, yaitu ajaran dan sosial-pendidikan. Yang pertama adalah ajaran. NU mengkomodifikasi ajaran Islam dengan kekhasan fikih, tauhid dan tarikat. Fikih madhab empat, terutama madzhab fikih Syafi’iyah adalah pilihan utama dan sudah lama hadir di Indonesia. Tauhid Asyariah (menengahi qodariah dan jabariah) adalah yang utama dan tarikat Qodiriah (dari Abdul Qodir Jaelani) adalah salah satu yang paling banyak digunakan oleh NU.
Untuk masalah sosial pendidikan, NU lebih mendorong jamaahnya untuk memiliki bidang sosial atau pendidikan secara mandiri. Pesantren yang menjadi lembaga paling penting bagi NU dengan segala derivasinya, di miliki jamaah NU dan menjadi salah satu kekuatan warga nahdliyah secara mandiri. Belakangan ini, NU sedang memperkuat sosial pendidikan yang organik-strukturak langsung ke NU semisal UNU dan rumah sakit NU.
Kedua, Muhammadiyah adalah organisasi modern dengan visi dan misi yang lebih jelas dan banyak diikuti oleh warga perkotaan. Organisasi ini adalah organisasi yang fokus kepada sosial-pendidikan dan keagamaan. Pengabdian kepada masyarakat tanpa lebih menekankan kepada ajaran adalah salah satu tujuan Muhammadiyah dalam perannya. Karena organisasi ini mayoritas diikuti oleh kalangan orang terdidik, maka mayoritas warganya lebih mengutamakan organisasi yang lebih maju dan tersistematiskan.
Walaupun warga Muhammadiyah memiliki lembaga sosial-pendidikan keagamaan secara mandiri, namun organisasi Muhammadiyah lebih membumi dari pada jamaahnya. Ini berbeda dengan NU. Dengan organisasi yang lebih modern dan terbuka, Muhammadiyah mengorganisir lembaga-lembaganya secara struktur langsung kepada Pengurus Muhammadiyah.
Misal lembaga pendidikan, Sekolah dan universitas Muhammadiyah dikelola secara professional dan di bawah naungan Majelis Pendidikan Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah mengadopsi pesantren ala NU, Muhammadiyah pun membuat pesantren yang langsung dinamai pesantren Muhammadiyah. Yang lebih terkenal dari fokus sosial Muhammadiyah adalah pengelolaan rumah sakit Muhammadiyah yang lebih maju daripada NU.
Muhammadiyah memiliki core organisasi pada aksi sosial keagamaan dan sedikit menekankan ajaran. Fokus kepada aksi ini membuat Muhammadiyah lebih professional dalam bidang pengelolaan organisasi dan menjadi organisasi yang terbuka. Orang NU yang ingin pindah keormasannya, bisa memilih Muhammadiyah yang lebih dekat dan terbuka daripada kepada Persis, misalnya, yang lebih menekankan ajaran yang berbeda dengan NU (walaupun ada yang mirif dengan NU, misal PUI, NW, DDI).
Nah, untuk masalah pendidikan ala Muhammadiyah, maka organisasi ini memiliki dua model. Model pertama adalah model yang sama dengan model pemerintahan. Sejalan dengan perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah lah yang mendukung sistem persekolahan warisan Belanda untuk terus dijadikan sistem nasional pendidikan.
Hal ini berbeda dengan NU yang lebih memilih sistem pesantren. Dalam perjalanannya, pertemuan dua sistem ini mengalami metamorfosis satu sama lainnya, Muhammadiyah mengadopsi pesantren, begitu juga NU mengadopsi persekolahan. Jadi bertemulah sistem FS dalam Muhammadiyah dan sebetulnya hadir juga di tubuh NU. Model perskolahan terintegrasi dengan peantren ini menjadi model kedua Muhammadiyah.
Lalu, kenapa NU menolak FS? Mari kita analisis. NU adalah organisasi yang dimodernkan dengan kultur sebagai massanya. Kultur inilah yang menyebabkan warga nahdliyah memiliki kemandirian penuh untuk mengabdi kepada agama melalui pembentukan lembaga-lembaga agama. Dengan jaringan luas pesantren NU yang menyebar, para alumninya sangat melebar dan dipastikan membuka majelis-majelis taklim di daerah asalnya. Dengan waktu yang panjang, maka alumni pesantren ini telah menancapkan kaki di setiap pelosok negeri.
Pengembangan majelis taklim yang dibawa alumni pesantren ini bisa menjadi pesantren, bisa juga mengembangkan Madrasah Diniyah (MD), bisa juga Taman Pendidikan Qur’an (TPQ). Biasanya mereka mendesain pendidikan agama sebagai pelengkap pendidikan anak setelah sekolah formal. Untuk beberapa kasus, para alumni pesantren juga mendirikan Madrasah (MI, MTs, MA) sebagai pendidikan formal, namun tetap mereka melestarikan MD sebagai pelajaran agama setelah persekolahan formal. Di samping itu juga, mereka menjejalkan pendidikan agama dengan adanya pengajian ba’da magrib dan ba’da subuh. Jadi pengajian berbasis agama lebih lengkap ketimbang umum dan para alumni pesantren ini tidak berharap materi (gaji duniawi) dalam pengabdian agamanya.
Dalam konteks ini, para alumni pesantren NU ini mendesain pendidikan agama lebih dari sekedar pendidikan yang dibatasi oleh 8 jam perhari (full days) tapi lebih dari sekedar 8 jam. Mari kita hitung. Bila di sekolah mulai 7 sampai jam 12 berarti ada 5 Jam sekolah. MD dilaksanakan jam 14.00 sampai asyar jam 16.00 berati 2 jam.
Pengajian magrib mulai jam 18.00 sampai jam 20.00 berarti 2 jam dan TPQ ba’da subuh dimulai jam 5.00 pagi sampai jam 6.00, jadi ada 1 jam. Bila kita hitung maka pembelajaran tatap muka dengan guru adalah 5+2+2+1 sama dengan 10 jam. Itu belum dihitung interaksi belajar mereka dengan sesama siswa sebelum jam belajar formal. Sisa waktunya adalah interaksi anak dengan orang tua dan tidur. Jadi begitu panjangnya siswa kita belajar.
Ada beberapa alasan menteri Muhajir dalam implementasi 5 hari belajar dengan sistem FS sebagai instrumennya. (1) karena 40 hari beban guru mengajar Aparat Sipil Negara (ASN) seminggu, jadi ketika para guru sudah bekerja 40 jam selama seminggu, maka selesailah tugas guru. Dengan sistem FS ini, setiap sekolah menghabiskan waktu 8 jam setiap hari sehingga 40 jam bisa habis dalam lima hari. Dua harinya digunakan belajar bersama kedua orang tuanya. Hal ini fokus pada guru bukan pada siswa. 40 jam untuk ASN.
Saya kita menteri Muhajir tidak menggunakan frame kemuhammadiyahan dalam landasan berpikirnya. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan agama tidak akan mampu diberikan di sekolah saja. Bahkan kalau kita jujur, kemampuan beribadah kita lebih banyak dilatihkan di MD ketimbang di sekolah yang formal itu. NU dan Muhammadiyah sepakat bahwa pendidikan agama harus lebih banyak diajarkan dalam majelis-majelis yang lebih lama ketimbang pengetahuan umum. Karena agama lebih sulit daripada umum. Mengasah moral akan lebih sulit ketimbang transfer ilmu.
(2) sebagai kelanjutan alasan pertama, menteri Muhajir menganggap bahwa 8 jam belajar di sekolah bukan berarti membunuh MD yang sudah ada dan mentradisi, justru mereka akan jadi mitra. Saya kira ini juga agak membingungkan. Lokus FS dan MD tidak lah dalam satu lokus atau atap dan ini akan meribetkan pengelolaan.
Kita tahu setiap sekolah tidak memiliki fasilitas agama yang lengkap, jadi FS bisa jadi akan memenjara siswa dalam sekolah dan mereka akan mudah jemu dan bisa jadi stress. Bila pihak MD (pihak yang dikalahkan oleh FS) diundang ke FS, maka itu tidak mudah. Ada beda paradigma antara FS sebagai sekolah resmi yang ruhul jihad dan dimensi spiritualnya lemah dibanding MD yang memiliki ruhul jihad yang tinggi dan hampir mengabaikan materi.
Sebagai gambaran, di kabupaten Tasikmalaya telah diujicobakan program Ajeungan Masuk Sekolah (AMS). Ajeungan (kyai) secara terstruktur masuk ke sekolah formal dan mengajarkan kitab kuning yang biasa diajarkan di pesantren. Lalu apa yang terjadi? Sakralitas kitab kuning dan lembaga kekyaian menjadi lemah, dan ada tendensi untuk materialisme yang lebih pada individu kyai nya. Ini berbahaya. Saya tidak melihat ada kemajuan serius program AMS ini sebagai program dalam kategori unggul. Ukurannya susah dan saya kira ini upaya yang belum maksimal dengan tujuan mulianya.
(3) FS sebagai bagian dari Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK dengan menggunakan “waktu lebih” dalam sistem FS dianggap dapat merubah karakter bangsa dengan lima fokus karakter; relijius, nasionalis, integritas gotong royong dan kerja keras. Yang saya tahu, semakin anak lama dalam satu tempat maka semakin bosan mereka. Bilamana 8 jam di sekolah dengan menggunakan proses pembelajaran itu-itu juga, maka anak akan stress.
Lalu di mana penanaman PPK dengan lima karakter tadi? Mereka sudah bosan. Bila alasannya adalah bahwa pembelajarannya tidak hanya seperti biasa, ada proses interaksi dengan MD sebagai mitra atau proses lainnya, maka pertanyaannya adalah kapan guru mengajarnya? Kan pertimbangan awal adalah jam ngajar guru yang 40 jam, mereka jadi guru MD? Ah bagi saya ini membingungkan.
Saya paham bagaimana Pak Menteri Muhajir ingin menerapkan FS ini agar kita lebih maju dan progresif dalam belajar, terutama mengasah karakter. Hal ini bisa ditunjukan oleh FS-FS yang telah berhasil dikembangkan oleh sekolah Muhammadiyah dan sebagian NU (atau lainnya). Saya meyakini ini adalah usaha baik.
Namun, lagi-lagi ini tidak bisa dipukul rata. Sekolah yang digambarkan FS yang berhasil tadi memiliki karakteristik (a) berada diperkotaan, dimana sistem MD sudah hampir hangus dan kedua orang tua anak bekerja di luar rumah. FS sangat membantu membesarkan anak mereka yang dalam pengasuhannya mereka tidak memiliki kesempatan maksimal. Jadi FS lebih berfungsi sebagai lembaga sekolah sekaligus penitipan anak.
(b) FS memiliki fasilitas lengkap sehingga anak bisa at home di sekolah. Tidak semua sekolah mampu untuk menyediakan fasilitas itu. Apakah Mendikbud berani melengkapinya dari ratusan ribu sekolah yang tersebar di Nusantara? Itu tidak mungkin. Saya kira landasan contoh FS yang diambil sebagai pertimbangan pak menteri Muhajir adalah muhammadiyah dengan sistem pesantren. Ini sangat cocok karena sekolah itu berasrama. Bila tidak, maka ini juga mengqiyaskan konsep yang salah. Tidak apple to apple.
Saya setuju dengan MUI bahwa FS dengan 5 hari sekolah akan “membunuh” atau “menggulung tikar”kan MD. Walaupun ini dibantah oleh Menteri dalam beberapa kesempatannya, namun ini sudah saya jawab secara konseptual di paragraf atas. Saya akan mencoba mengambil jalan tengah atas “pertempuran” menteri dengan para aktivis MD di bawah panji NU.
Sebaiknya FS diimplementasikan dengan sistem sebagai: (1) sekolah di perkotaan yang sudah tidak memiliki MD. Ini sangat membantu siswa yang sudah jauh dari agama sehingga 8 jam di sekolah akan mampu membina mereka dalam beragama dan menjauhkan mereka dari hal yang tidak diinginkan. Dua hari (sabtu dan ahad) yang menjadi hari libur, sangat baik bagi orang tua untuk berinteraksi dengan anaknya yang selama 5 hari mereka bekerja di luar rumah.
(2) FS juga sebaiknya digunakan untuk sekolah SMP dan SMA. Sebagaimana kita tahu bahwa MD dijejali oleh siswa SD, jadi FS bisa menjadi kelanjutan MD. Namun bila di beberapa daerah MD masih fungsional untuk SMP, saya kita SMA yang perlu jadi FS. Untuk kasus MTs dan MA, saya kira perlu ada kurikulum khusus untuk FS, karena PPK yang dipromosikan Mendikbud hampir sudah terealisasi di sana.
(3) FS jangan dipukul rata di semua daerah. Local wisdom yang selama ini sudah berjalan dalam pendidikan kita tidak boleh dibenturkan oleh kebijakan kontra produktif. Di pedalaman misalnya, pendidikan non FS telah mengajarkan anak pedalaman hidup dengan pendidikan sosial yang kental. Mereka memang tidak di kelas, tapi mereka belajar di masyarakat tentang nilai-nilai luhur sebuah kehidupan. Itu juga pendidikan, betulkan? Jadi, memukul rata tanpa ada pilot project untuk kebijakan ini akan berakhir kepada protes yang kontra produktif untuk pendidikan kita.
Untuk yang getol mengkritisi kebijakan baru menteri kita, seyogyanya kita juga perlu menganalisis dengan jernih dan benar. Saya kita mendikbud memiliki sudut pandang yang berbeda dengan pola kebanyakan, namun di dalamnya ada kebaikan yang memang tidak terpikirkan. Pendapat saya, FS dengan 5 hari jam sekolah dapat diterapkan di berbagai sekolah yang sudah siap tanpa mengorbankan lembaga yang sudah ada. Perlu ada project pilot untuk merubah kebijakan ini, jangan asal mukul rata. Karena kalau dipukul, mereka akan rubuh babak belur. {}
Bumisyafikri, 13/6/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H