Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nuzulul Qur'an: Beda Ayat Tekstual dan Kontekstual

12 Juni 2017   06:34 Diperbarui: 12 Juni 2017   09:50 3601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam yang spesial di Bulan Ramadan selain Lailatul Qodar adalah Malam Nuzulul Qur’an. Malam ini adalah ulang tahun turunnya Surah pertama Al Qur’an ke bumi di Gua Hira. Tanggal 17 Ramadhan diyakini sebagai hari dimana Nabi Muhammad mendapatkan ayat pertama “Iqra” yang memiliki rumusan kata kerja insyaiyah (perintah, imperative) dengan makna mendalam. Kata ini pun adalah kata perintah pertama dalam kajian akademik yang ilmiah, dimana setiap riset dan rumusan disiplin ilmu harus diawali dengan membaca, iqra.

Saya bukan ahli tentang Al Qur’an, tapi saya mengenal Al Qur’an sebagai bacaan yang wajib saya baca. Untuk urusan ulumul qur’an yang sangat sistematis kajiannya, saya serahkan kepada ahlinya. Saya akan mencoba berbeda (atau mungkin sama dengan terminologi yang berbeda) dengan kajain Al Qur’an para ahli yang banyak menggunakan terminologi Qur’an yang kaku dan terstandar. Saya akan coba menggunakan istilah-istilah pendidikan yang dinamis untuk menangkap pesan Al Qur’an. Semoga saya tidak di sebut liberal, apalagi kafir.

Saya setuju dengan Muhammad Saltut (mantan Rektor Universitas Al Azhar, Kairo) yang membagi ayat-ayat Allah menjadi dua; Kauniah dan Qauliah. Kauniah adalah ayat kontekstual sedangkan qauliyah adalah kebalikannya yakni tekstual. Nah, saya akan mencoba membahas dua istilah ini dan mencoba membedah keduanya melalui kedipan mata saya, ya mata pendidikan.

Pertama, Ayat tekstual. Ayat-ayat inilah yang kita kenal dengan Al Qur’an dan Kitab-kitab suci lainnya semisal Injil (perjanjian baru), Taurah (perjanjian lama), dan lainnya. Al Qur’an diyakini sebagai “perjanjian terakhir” yang menyempurnakan semua kitab yang sudah ada sebelumnya. Qur’an dipercayai sebagai kitab paling lengkap dari berbagai dimensi, baik (1) dimensi kemukjizatan, (2) dimensi kesastraan, maupun (3) dimensi keilmiahan.

Ketika tiga dimensi itu dijadikan alat ukur untuk menentukan kevalidan sebuah kitab suci, Al Qur’an terbukti sangat valid. Isi al Qur’an telah dibuktikan dengan banyak mengandung kemukjizatan yang luar biasa. Ia lahir telah melampau zamannya dan selalu membuktikan kebenaran pada saatnya tiba. Qur’an pun berisi dengan kalimat-kalimat sastra yang sangat kental dan memiliki makna super dalam. Qur’an tidak mudah dikaji oleh bukan ahlinya, karena isi kandungannya begitu dalam dan tidak mudah ditebak. Qur’an juga mengandung konsep (teori) ilmiah dan fakta ilmiah yang sudah diakui kehebatannya oleh ilmuan, baik muslim maupun non muslim. Qur’an itu lengkap. Kap. Kap.

Ayat tekstual dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kandungan yaitu (1) ayat konseptual, (2) ayat faktual, dan (3) ayat prosedural. Ketiga kandungan ini disampaikan dengan menggunakan dua bentuk kalimat yakni kalimat insya’iyah (perintah) dan khobariyah (declarative, kabar). Karena kedalaman bahasanya, adakalanya kalimat khobariyah bermakna insyaiyah (khobariyatul lafdzi, wa insyaiyatul ma’na) atau sebaliknya kalimat insyaiyah namun bermakna khobariah (inyaiyatul lafdzi, khobariyatul ma’na). Hanya orang yang bahasa Arab lah yang sanggup mengerti bahasa Arab dengan segala dimensinya, baik dimensi gramatika-morfologis (nahwu-sharaf) maupun dimensi makna-gaya bahasa yang banyak dilakukan oleh orang linguistik bahasa Arab (ma’ani-mabadi’).

(1) Ayat konseptual terdiri dari konsep-konsep dasar tentang ketuhanan (ketauhidan) nubuwah (kenabian), ibadah, sistem sosial (muamalah), pernikahan (munakahah), politik (jinayah), hukum (ahkam) dan lainnya. Dalam ayat konseptual inilah melahirkan tafsiran-tafsiran yang yang membangun sebuah disiplin ilmu seperti ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu ushul fikih, ilmu warisan, dan lainnya. Terjadinya perbedaan tafsiran ayat konseptual ini mengakibatkan berbeda aliran dalam ajaran Islam.

Ayatnya bisa satu, tapi tafsirannya bisa lebih dari satu. Hal ini bisa mengakibatkan ayat konseptual ini (a) mengakibatkan perbedaan pemahaman, walaupun perbedaannya tidak tajam. Perbedaan yang sifatnya surface (permukaan) saja, karena bila dikaji secara mendalam akan lahir ruh (prinsip) yang sama dalam ajarannya. (b) mengakibatkan ajaran yang terus relevan sepanjang zaman. Ayat konseptual ini didesain sedemikian rupa dan disimpan tidak mirif dengan undang-undang yang terstruktur dengan baik, sehingga untuk mencari ayat konseptual yang sama akan membutuhkan kajian Qur’an maudhu’i (tematis). Ini sangat dinamis dan berakibat bahwa Qur’an relevan sepanjang zaman. Hal ini berbeda dengan undang-undang yang kadang harus diamandemen karena menjawab tantangan zaman.

(2) ayat faktual adalah ayat yang menunjukan kepada kita fakta-fakta inderawi baik itu masa lalu, masa kini atau masa depan. Qur’an dengan ayat faktual berfiungsi memberikan kabar tentang fakta yang benar akan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Walaupun Qur’an telah melewati batas kemampuan manusia dalam menyajikan fakta inderawi-duniawi, namun Qur’an memiliki informasi faktual yang non-inderawi. Orang menyebutnya prediksi atau halusinasi. Terlepas itu semua, itu adalah “fakta-fakta” yang harus diyakini akan kedatangannya.

Paling tidak ada tiga fakta yang disebutkan dalam Al Qur’an yaitu (a) fakta di waktu yang lalu bernama sejarah. Saya pernah mendapatkan informasi bahwa 2/3 kandungan Al Qur’an adalah sejarah ‘fakta” masa lalu. Saya belum membuktikan kevalidan info itu, namun bila melihat nama-nama surat Qur’an (yang tentu saja menggambarkan isinya) adalah suatu fakta bahwa nama-nama itu mengandung unsur sejarah. Silahkan kepada ahli ulumul qur’an mengkritisinya.

(b) fakta saat ini bernama fakta ilmiah yang terbukti. Banyak para ahli yang terhenyak dengan fakta ilmiah yang sudah disebutkan oleh Al Qur’an 1438 tahun yang lalu. Semisal tentang kandungan air dalam the miracle of water karya ilmuwan Jepang bahwa kepadatan air berubah manakala disebut dengan kalam ilahiah. Misal lainnya bahwa bumi bulat namun bulatnya seperti telur unta, bahwa bumi berkembang biak, bahwa bumi tercipta atas ledakan Big Bang, dan lainnya. Ini menunjukan bahwa fakta ilmiah yang disebutkan dalam Al Qur’an dapat dibuktikan dengan habitat ilmiah yang memiliki metode yang sangat positivistik.

(c) fakta masa depan yang belum ditemukan bernama teori ilmiah. Ada kalanya para ilmuwan masih bingung dengan pernyataan Qur’an yang belum bisa dibuktikan fakta ilmiahnya. Mereka sebut ini teori ilmiah (walaupun prinsip ilmiah yang positivistik terabaikan). Semisal bahwa manusia terbentuk dari sepasang gen Adam dan Hawa, belum ada ilmuwan genetika yang mampu menemukan faktanya.

Hal yang paling penting dari fakta masa depan adalah teori akhirat yang menjadi rukun iman kaum muslim. Bagaimana Shiratal Mustaqim, bagaimana surga-neraka, bagaimana padang mahsar, yaumum mizan, dan seterusnya. Ini adalah teori ilmiah yang suka tidak suka harus diterima secara dogma dan pasti terbukti ketika saat itu tiba. Saya yakin.

(3) Ayat prosedural adalah ayat yang sangat kental dengan perintah-perintah sistematis dalam melakukan ritual keagamaan atau kehidupan secara umum. Ayat inilah yang sering menjadi landasan untuk meracik hukum sehingga dikomodifikasi menjadi sebuah kitab “suci’ kedua. Ilmu fikih biasanya muncul dari ayat prosedural ini, sehingga kevalidan hukum dapat langsung disandarkan pada ayat sucinya.

Ada beberapa klasifikasi ayat prosedural seperti (a) ayat yang mengandung nilai-nilai luhur semisal prosedur untuk kehidupan bernegara dan memilih pemimpin, (b) ayat yang mengandung nilai ibadah seperti dalam fikih dimana ayat ini sebagai alat ukur apakah sebuah amalan mendapatkan pahala atau dosa dan syah atau tidaknya, (c) ayat prosedur tentang kemutlakan sebuah hukum semisal faroid (pembagian) dalam hak waris. Ayat-ayat ini kadang jelas kalimatnya tanpa ada multitafsir. Ini berbeda dengan kebanyakan ayat-ayat lainnya yang kaya dengan multi tafsir.

Kedua, ayat kontekstual. Allah swt tidak hanya menurunkan ayat tekstual yang tertulis dalam kitab-kitab suci. Allah juga menurunkan ayat “tanda” yang tidak dituliskannya tetapi hadir dalam kehidupan nyata secara tersirat bernama kontekstual. Hal inilah yang diperintahkan oleh Allah dalam banyak ayat qauliah “afala tadzakkarun”, “afala tatafakkarun” dan seterusnya. Intinya Allah memerintahkan untuk berpikir tentang makna ayat itu baik ayat kauniyah maupun qauliyah.

Ayat kontekstual sebenarnya lebih kaya daripada ayat tekstual yang hanya 114 surat itu. Bila saja Allah menuliskannya, maka niscaya orang tidak akan mampu membacanya, karena saking banyaknya. Seorang ulama mengatakan bila ilmu (pengetahuan) Allah dituliskan, maka semua pohon yang dijadikan qolamnya dan seluruh air laut jadi tintanya, maka ilmu itu tidak akan selesai dituliskannya. Ini menunjukan betapa tak terhingganya ayat kontekstual itu.

Namun, ayat ini terbatas pada ruang dan waktu. Ayat ini bisa berlaku pada zaman satu dan tidak berlaku pada zaman yang lainnya. Dulu kalau berwudhu tentu saja di kolam, sehingga muncul tafsiran ayat Qur’an syarat air yang mensuciukan adalah dua qullah. Hari ini, konteks itu hilang diperkotaan. Dengan harga tanah yang mahal, qullah itu diganti dengan air kran. Dulu sejarah mencatat bahwa perang itu dengan pedang, maka sekarang tidak zamnnya lagi. Masih banyak contoh ayat kontekstual yang sangat kaya, namun harus dipikirkan.

Saya bagi ayat kontekstual ini menjadi dua; kontekstual agama dan non agama. (1) ayat kontekstual agama adalah ayat tentang keagamaan yang seharusnya ada dalam ayat tekstual, namun faktanya belum ditemukan. Ayat ini disandingkan dengan Qur’an menggunakan qiyas-qiyas (analogi). Bila ada ayat kontekstual, seorang ahli agama mesti mencari padanan ayat tekstualnya pada Al Qur’an. Ahli agama harus melakukan itu karena mereka yakin semuah hal konteks yang lahir di muka bumi memiliki informasi singkat dalam teksnya. Saya juga yakin bahwa semua konteks yang ada dalam kehidupan memiliki ruh yang sama dalam teks Al Qur’an.

Selanjutnya (2) ayat kontekstual non agama. Ini adalah ayat yang sangat luas, dan bahkan beyond (lebih dari sekedar) ayat tekstual. Kajian-kajian ilmiah (yang ditekstualisasikan) dalam bangunan disiplin ilmu di perguruan tinggi misalnya memiliki kajian ayat kontekstual yang maha luas. Bila saja hasil karya ilmiah ditumpuk dan dibandingkan dengan jumlah halaman Qur’an yang 500an halaman, maka akan jauh bebeda. Sebuah buku ilmiah non agama akan lebih tebal dari Qur’an, walaupun nilai kesuciannya tidak seberapa dibanding Qur’an. Tapi, itulah fakta bahwa ayat kontekstual non-agama lebih meluber ketimbang ayat tekstual.

***

Itulah ayat tekstual dan kontekstual yang dititipkan Allah kepada kita. Keyakinan atas Qur’an sebagai ayat tekstual tentu saja harus dipegang dan menjadi yang pertama dan utama dalam kajian kita, namun jangan berhenti di sana. Ayat tekstual itu harus dibumikan kepada ruang dan waktu dimana kita hidup sehingga akan mampu menyuratkan ayat-ayat tersirat dalam kehidupan. Duet maut tekstual dan kontekstual dalam ilmu seseorang akan mampu membuat seorang bijaksana dalam berkarya, berpikir dan melaksanakan fungsi kehidupannya.

Bagi saya, bila seseorang sangat fanatik dengan ayat tekstual tanpa mempertimbangkan ayat kontekstual, mereka kurang bijaksana. Bila pun mereka mengagungkan ayat kontekstual dan mengabaikan ayat tekstual, maka mereka pun orang yang sesat. Bagi mereka yang ahli ayat tekstual, silahkan desain ayat itu untuk menjadi manual guide para ahli kontekstual, sedangkan orang yang ahli kontekstual, buatlah gambaran yang lengkap akan rahasia kontekstual agar bisa disenyawakan dengan ayat tekstual oleh ahlinya. Duet ini lah yang lebih hebat dari sekedar duet Roma Irama dengan Sonetanya.

Bila dulu Allah menitipkan ilmu agama itu kepada para rasul dan kitab suci, maka saat ini ketika perjanjian terakhir (Qur’an) diturunkan, tidak ada lagi rasul dan kitab lainnya. Allah menitipkan ilmu kauniayah itu kepada para ulama. Ketika para ulama juga sangat terbatas jumlahnya, maka Allah titipkan ilmu kauniyah itu kepada setiap hati individu. Hati yang bekerjasama dengan akal (reason) akan mampu menyingkap segala rahasia ilmu kauniah yang Allah selalu teka-tekikan. Hanya orang terpilihlah yang mampu membukakan tabir-Nya. Wallahu a’lam bi murodihi.{}

Refleksi Nuzulul Qur’an
Bumisyafikri, 12/6/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun