Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Bandara dan Tol Cigatas untuk Pendidikan di Tasikmalaya

11 Juni 2017   21:22 Diperbarui: 11 Juni 2017   22:37 1916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Presiden Jokowi melawat ke Tasikmalaya, salah satu perayaan yang mendebarkan dan membesarkan warga Tasik adalah peresmian lapangan udara (Lanud) militer bernama Wiriadinata menjadi bandara penerbangan umum. Ini sangat monumental bagi warga Priangan Timur, dimana hampir lebih 80% warganya belum pernah naik pesawat terbang. Paling mereka melihat pesawat di atas langit, itupun sangat jarang ada di langit Tasikmalaya. Mereka masih mengandalkan bis dan kereta untuk moda transportasi antar kota yang sangat lama dan melelahkan.

Para warga sangat antusias mendengar kabar ini (Lanud menjadi bandara komersial) beberapa bulan yang lalu, dimana mereka akan memiliki transportasi lengkap yang menghubungkan Tasikmalaya dengan kota-kota besar di Indonesia. Saya pernah membaca, harga tiket penerbangan sipil Tasik ke Jakarta sudah diperkirakan sekitar kurnag lebih 500 ribu Rupiah, dimana kalau naik bis ekonomi harganya kurang dari 100 ribu rupiah saja. Terlepas dari harga yang selalu menjadi pertimbangan masyarakat luas, mereka sangat bahagia atas peresmian ini, paling tidak mereka bisa melihat pesawat terbang di langitnya dan berbangga melalui selfie ria bersama burung terbang yang mahal itu.

Selain bandara komersial, Tasik juga akan digempur oleh pembangunan jalan tol yang menghubungkan tol Cileunyi, Garut dan Tasikmalaya (Cigatas). Tol ini dapat mempersingkat waktu dari kurang lebih 4 jam waktu tempuh Tasik-Bandung akan menjadi 1 jam. Ini hebat. Walaupun pemda Jabar telah menentukan untuk mendahulukan tol Cileunyi-Majalengka dari pada Cigatas dengan alasan berdirinya Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Majalengka, tetapi Cigatas sudah direncanakan akan secepatnya dibangun. Dalam level bandaranya, BIJB lebih penting ketimbang Bandara Tasikmalaya, karena BIJB akan diposisikan sebagai Bandara Husein yang sudah tidak bisa dikembangkan lagi, namun Bandara Tasik pun memiliki prospek yang tidak boleh diabaikan dalam bisnis penerbangan.

Nah, kabar di atas sebagai gerbang masuk analisis saya tentang dampak Bandara dan tol Cigatas untuk pendidikan di Tasikmalaya. Sebagaimana kita tahu bahwa Tasikmalaya dalam tigapuluh tahun terakhir menjadi destinasi pendidikan di Priangan Timur. Berjamurnya perguruan tinggi umum (PTU) dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di wilayah Tasikmalaya merupakan indikator bahwa banyak masyarakat menjadikan Tasikmalaya sebagai tujuan pendidikan. Banyak mahasiswa dari Jabodetabek belajar di Tasikmalaya, begitupun Kuningan, Cirebon, Garut, Majalengka dan daerah lainnya. Dalam bonafiditasnya, Tasikmalaya belum bisa menandingi Bandung atau Jogja, tapi jika di sandingkan dengan Cirebon sepertinya Tasik lebih maju.

Dengan dialih statuskan Universitas Siliwangi (Unsil) dari swasta menjadi badan hukum milik negeri, hal ini semakin menguatkan Tasikmalaya sebagai wilayah tujuan pendidikan. Informasi terakhir ketika saya berdialog dengan walikota Tasikmalaya, sekitar 70% mahasiswa Unsil adalah datang dari luar kota Tasikmalaya. Hal inilah yang menjadi kegalauan orang Tasik atas tergesernya posisi mayoritas yang mendapatkan porsi terbanyak di universitas tersebut. Hal ini berbeda dengan PTKI, belum ada PTKI yang dialih statuskan. Saya banyak menerima kabar, bahwa Jakarta sudah menawarkan salah satu PTKI untuk di negerikan, namun saat ini masih dalam nego-nego yang belum ada hasilnya. Semoga saja.

Lalu, apa dampak Bandara dan tol Cigatas dalam Tasikmalaya sebagai destinasi Pendidikan. Saya harus analisis dulu karakteristik orang Tasik. Pertama orang Tasik adalah orang yang berduit dan gengsinya lumayan tinggi. Sejalan dengan sejarahnya, orang Tasik adalah pedagang dan sangat terkenal sebagai tukang kredit sebelum di take over oleh perusahaan pembiayaan. Orang Tasik pun adalah pengusaha, dimana banyak lokalisasi perusahaan home industry yang berjamur di wilayah ini. Semisal kawalu untuk bordir, Tamansari untuk mebeuler dan kelom geulis, dan Ciawi Rajapolah sebagai kerajinan anyaman bambu atau tikar.

Kedua orang Tasik kental dengan ikatan keluarga dan islamis. Seperti orang Sunda kebanyakan, orang Tasik adalah orang yang masih lebih memilih tinggal di tatar Pasundan dan terutama di Tasik kota kelahiran bersama keluarga besarnya. Mereka akan memilih bekerja di Tasik, berusaha di Tasik dan berkumpul dengan keluarga di Tasik. Di samping mentalitas perantau yang kurang, walau dalam beberapa kasus orang Tasik adalah perantau hebat, warga Tasik pun sangat islamis. Pertimbangan agama menjadi pertimbangan yang utama dan kedua setelah keluarga. Hal ini menyebabkan bahwa orang Tasik sangat antusias dalam mengikuti pendidikan Islam yang sangat banyak di Tasik, sehingga bisa dipastikan para pendakwah di seluruh tatar Pasundan memiliki catatan historis dengan Tasikmalaya.

Karakteristik orang Tasik ini dan dibukanya jalur Bandara dan tol Cigatas tentu saja akan memiliki dampak serius terhadap perubahan arah pendidikan orang Tasik. Pertama orang Tasik akan meninggalkan Tasikmalaya untuk belajar ke kota besar macam Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Seperti yang sudah berjalan saat ini, orang Tasik mayoritas memilih tiga kota ini sebagai destinasi pendidikan. Kejadian ini sebelum adanya bandara dan tol Cigatas. Ketika bandara komersial dan tol Cigatas sudah established, maka saya meyakini bahwa orang Tasik akan bermigrasi ke tiga kota tadi secara besar-besaran. Akses jalan ini akan membantu Tasik membuka diri secara cepat dengan daerah lain.

Dengan bonafiditas dan rasa gengsi orang Tasik yang besar, maka jarak dan waktu bukan menjadi masalah yang serius untuk belajar di tiga kota itu, terutama Bandung yang hanya ditempuh satu jam saja. Hal ini sangat memungkinkan orang Tasik akan memilih Bandung sebagai destinasi. Alasan mendasar migrasi ini adalah (1) budaya belajar Tasik yang belum hebat sehebat tiga kota tadi, (2) level kualitas pendidikan Tasik belum setinggi kualitas tiga kota tadi, (3) SDM lembaga pendidikan di Tasik belum sebaik tiga kota tadi, (4) biaya hidup di Tasik tidak jauh berbeda dengan tiga kota tadi. Inilah pertimbangan penting orang Tasik untuk mendapatkan pendidikan yang “lebih baik” dari kota kelahirannya.

Orang Tasik yang awalnya memilih memasukan anaknya di PTU atau PTKI di wilayah Tasikmalaya, maka akan memiliki opsi tambahan untuk mempertimbangkan mengikuti tren ke tiga kota besar destinasi pendidikan. Hal ini dilakukan karena jarak yang sekitar 150 KM Tasik Bandung atau sekitar 300 KM ke Jakarta bisa ditempuh dengan 1 atau 3 Jam-an. Bila naik pesawat itu akan lebih singkat lagi, mungkin 30 Menit ke Jakarta. Jadi mereka akan mempertimbangkan memasukan anaknya ke PTU atau PTKI di tiga kota dimana orang Tasik sudah mempercayai kualitas pendidikan dan kehidupannya.

Satu hal yang mencegah orang Tasik bermigrasi ke daerah lain adalah adanya Unsil sebagai opsi lain sebagai universitas negeri. Tidak bisa pungkiri bahwa PT negeri selalu menjadi alasan keluar masuknya orang ke daerah lain untuk belajar. Unsil yang telah diambil alih oleh negara dapat menjadi pertimbangan lain yang menghalangi orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke luar Tasikmalaya. Tapi ini tidak terlalu besar pengaruhnya, karena kuota Unsil sangat terbatas dan memang Unsil belum menjadi universitas yang besar dengan daya tampung yang terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun