Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Demokrasi Liberal Berkaca pada Pesantren Manonjaya

10 Juni 2017   20:55 Diperbarui: 10 Juni 2017   20:59 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini diupayakan sebagai oleh-oleh presiden Jokowi setelah dua hari “blusukan” ke Tasikmalaya dan sekitarnya. Walaupun kunjungan terakhir tuan presiden ke Pesantren Darussalam Ciamis dan karakteristik pesantren ini hampir sama dengan Cipasung pada tulisan lalu, maka saya putuskan untuk mengangkat pesantren lainnya yang dikunjungi, yaitu Pesantren Miftahul Huda. Pesantren ini lebih dikenal sebagai pesantren Tauhid-oriented yang berlokasi di Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya.

Saya menggunakan terminologi Pesantren Manonjaya bukan tanpa alasan. Walaupun nama keren dari pesantren Miftahul Huda adalah “Mida” atau “Muda”, tapi seingat saya pesantren yang hebat yang sudah lama hidupnya biasa menggunakan nama tempat lahirnya sebagai nama tenar pesantrennya. Kita tidak tahu nama arab dari Cipasung dan Sukahideung atau sukamanah, tapi mereka menggunakan nama daerahnya. Kita juga tahu nama Pesantren Suryalaya lebih populer ketimbang Pesantren tasawuf Latifah Mubarokiah. Pun demikian, Pesantren Manonjaya adalah nama tenar sebagai pengganti pesantren Miftahul Huda.

Untuk urusan nama, bagi saya tidak terlalu penting. Yang penting adalah Manonjaya sebagai pusat pesantren di sebelah timur kabupaten Tasikmalaya. Sebagaimana kita kenal, daerah Tasikmalaya dikelilingi pesantren hebat dan memiliki karakteristik tertentu. Sebelah utara ada Suryalaya dengan orientasi tasawuf (dan pusat dari tasawuf Qodariah Naqsabandiyah Internasional), di barat ada Cipasung dan Sukahideung dengan Fikih dan Balaghoh sebagai core nya, sementara di sisi Selatan ada Pesantren Manonjaya (PM) dan pusat tarikat Tijaniah Syeh Abdul Muhyi dengan orientasi tauhid yang khas, dan di sisi Timur ada Pesantren Darussalam dengan Fikih sebagai kompetensi intinya.

Saya mengenal pesantren ini dari ayah dan kakek saya. Karuhun saya adalah bagian dari jaringan ulama PM sehingga saya memiliki darah yang terkoneksi kepadanya. Kakek nenek saya belajar tauhid di pesantren ini dan mengajarkan kembali “ajaran” tauhid khas PM dimana mereka membuka pesantren. Sayang, saya tidak pernah mengenyam pendidikan di sini, namun saya mengenal ajarannya dari sang ayah dan kakek nenek. Untuk urusan PM yang kekinian saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu adalah wakil DPR RI wilayah kami diwakili oleh salah satu “darah biru” pimpinan PM, dan bupati kami pun adalah cucu dari pendiri PM. Itu saja.

Lalu, apa hubungannya PM dengan demokrasi liberal (DL)? Saya tidak akan memaksakan demorasi liberal ala Amerika untuk ditempelkan pada PM. Tidak. Itu tidak mungkin saya hubungkan, kalau ada hubungannya, itu ta’wil bil ba’id (hubungan yang jauh sekali). Saya akan menjadikan PM sebagai cermin untuk berkacanya DL sebagai sebuah ideologi. Apakah DL yang kita agungkan saat ini berbayang bersih atau sebaliknya dalam bayangan cermin PM. Mari kita analisis.

DL adalah demokrasi yang dipromosikan dan dipaksakan negara Barat untuk kita. Demokrasi ini awalnya dilandasi oleh Trias Politica nya J.J. Rouse. Demokrasi ini dibangun dengan tiga pillar penting yakni; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Demokrasi ini pun memiliki brandmark “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Cara meraih kekuasaan Demokrasi ini adalah dengan cara one man one vote, dengan adagium vox populi vox dei ( suara rakyat suara Tuhan). DL adalah model demokrasi yang dikembangkan oleh dunia Barat dengan segala nilai kebaratannya untuk disusupkan kepada demokrasi gaya baru bernama DL.

Jadi dalam beberapa konteks, DL adalah model demokrasi baru ala Amerika dan Eropa yang meyakini bahwa manusia itu memiliki kebebasan yang mendasar. Kebebasan memilih, kebebasan hidup, kebebasan bersikap adalah beberapa kebebasan yang menjadi bagian penting dari “Liberal” yang melabeli DL. Kata kuncinya adalah “Liberal”. DL adalah demokrasi yang sangat menghargai kebebasan, walaupun kebebasan itu melebihi batas. Mereka merancang demokrasi ini dengan catatan bahwa mereka telah lama merdeka, pendidikan masyarakat mereka sudah established dan SDM mereka sudah siap untuk berdemokrasi liberal.

Orang Amerika dan Eropa yang telah lama merdeka dan telah dewasa dalam bernegara telah meyakini bahwa DL adalah pilihan terbaik. Mereka mempercayai bahwa DL juga bisa membaikan negara lain seperti kita. Namun, di balik semua itu, DL ternyata tidak diadopsi secara menyeluruh oleh negara-negara Eropa. Kita lihat Britania Raya dengan Ratu Elizabethnya, begitupun Jerman dengan Kanselirnya dan Dutch juga dengan Ratu Betrixnya. Jadi, mereka mengambil nilai baik dari DL untuk sistem pemerintahannya (perdana menteri), tetapi dalam konteks kekuasaan masih tetap monarki untuk mengontrol “kenakalan-kenakalan” DL sebagai sistem baru.

Saya berprasangka, penerapan DL di beberapa negara dengan inisiatif Amerika sebagai leading sectornya memiliki misi yang lebih luas. Pertama menanamkan nilai Amerika yang super bebas kepada seluruh dunia. Semakin nilai Amerika ditancapkan, semakin kokoh pula hegemoni mereka dalam prilaku bangsa. Amerika memiliki tujuan untuk menghegemoni dunia dengan nilai-nilai yang mereka rancang.

Kedua mencobakan nilai DL kepada mereka yang baru merdeka agar local wisdom yang dibangunnya goyang dan menerima Amerika sebagai bagian dalam dirinya. Ini penting, karena suatu saat Amerika membutuhkan material yang dibutuhkan oleh mereka. Dengan kebebasan itulah maka mereka akan cepat menguasai benda yang mereka inginkan. Dan dengan cepat pula negara lain terbius dengan nilai kebebasan Amerika yang mencerabut diri dari identitas aslinya

Ketiga, DL adalah model untuk membebaskan manusia dari kekuatan lokal yang mencengkrama. Semisal kita, pancasila adalah kekuatan lokal kita. Semisal Arab, kekuatan mereka adalah Islam. Semisal Asia, kekuatan mereka adalah kepercayaan kepada supra natural. Mereka memiliki kerajaan yang besar dengan nilai lokal yang kokoh. Kekuatan inilah yang menghalangi kekuatan Amerika untuk menguasai negara lain. Maka DL dengan freedom of life nya diharapkan dapat “membebaskan” kekuatan lokal dan masuk kepada perangkap kebebasan yang diusung oleh DL itu sendiri.

Ketika DL yang dimasukan kepada Indonesia pasca reformasi, maka DL memiliki dampak yang serius dalam kehidupan kita. Misalnya adalah: (1) Indonesia terpuruk dari sudut identitas sendiri. Pancasila yang menjadi kesepakatan pendiri bangsa terpaksa dianulir nilainya demi memasukan nilai DL dalan sistem perpolitikan kita. Banyak dampak negatif dari hancurnya perpolitikan kita, tapi seolah kita enjoy menikmatinya.

(2) efek domino dari penerapan DL dalam politik kita berakibat lahirnya ekonomi liberal-kapital, budaya liberal, prilaku liberal dan ujungnya setiap individu memiliki keliberalan yang sulit diatur. Beberapa nilai ekonomi koperasi kita hilang, begitupun prilaku gotong royong kita habis terkikis. DL telah mengorbankan segala identitas dan nilai luhur yang dipasangkan oleh founding father kita. Kita rela berkorban dengan tidak sadar dan masuk ke perangkap DL yang membelenggu.

(3) liberalisasi sistem bernegara yang kacau balau karena kekurang siapan kita dalam ber-DL. DL Amerika yang sudah dewasa dengan segala dimensinya dipaksa untuk diadopsi oleh Indonesia yang baru saja tinggal landas era orba. Sebenarnya jika saja Amerika dan sekutunya tidak mengganggu kita dalam bernegara, bisa jadi kita bisa melesat maju meninggalkan Malaysia dengan Mahathir Muhammadnya. Tapi apa yang terjadi, DL merasuk dengan topeng kebebasan yang menjebloskan.

Jadi saya simpulkan, dengan melepaskan diri dari segala kehebatan DL untuk Indonesia, DL memiliki masalah serius bila terus dipaksakan di Indonesia. Ia tidak bisa bersenyawa dengan Indonesia yang sangat berbeda dengan kultur Amerika yang sudah dewasa. Lahirnya ekonomi kapitalisme, terbunuhnya nilai luhur bangsa, melebarnya freesex, samen liven, demokrasi yang kebablasan, money politics, korusi merajalela, moralitas yang rendah, dan kebobrokan manusia Indonesia lainnya adalah beberapa contoh bahwa DL tidak cocok di Indonesia. Indonesia mesti kembali kepada Pancasila dan nilai luhur bangsa.

Saya menawarkan, jika kita ingin berdemokrasi, maka lihatlah ajaran tauhid-tasawuf yang di ajarkan oleh PM. PM yang dipersonifikasi oleh Kyia pengasuh pesantren memiliki otoritas tinggi terhadap santrinya. Santrinya adalah rakyat yang patuh sami’na wa ato’na demi mencapai tujuan bersama. Tujuan utama dalam tauhid adalah mengesakan Tuhan dengan segala dimensinya dan berupaya bersama untuk menggapai keridhoan-Nya. PM sebagai bagian pesantren tauhid, memiliki blue print untuk membawa “rakyat”nya meraih apa yang hendak dicapainya. Santri mempercayai sepenuh hati terhadap kyainya untuk meraih apa yang diharapkannya. Kyai pun dengan segala upaya bertekad untuk meraih apa yang dicita-citakan rakyatnya. Inilah demokrasi PM.

Bila kita beranalogi dengan demokrasi ala PM dengan orientasi tauhid, maka kita bisa membentuk negara Indonesia yang baik. Presiden sebagai pimpinan tertinggi seperti kyai di PM memiliki otoritas yang tinggi untuk mengatur sedemikian rupa tentang arah kemajuan bangsa. Namun, presiden tidak serta merta gegabah dalam menjalankan roda pemerintahan, karena mereka memiliki kitab suci dan kitab kuning sebagai Undang-undangnya. Tujuan PM untuk membantu santrinya meraih keridhoan Tuhan sama halnya dengan tujuan presiden yang ingin membantu rakyatnya dalam meraih kebahagiaan bernegara.

Rakyat dengan demokrasi PM adalah bukan seperti rakyat yang memiliki kebebasan tak terbatas, tetapi rakyat yang mewakilkan asa, rasa, cipta dan karya kepada para ustad (wakil) yang sangat dipercayanya. Percaya di sini bukan kepercayaan yang dibangun atas nilai rupiah yang menggunung seperti yang DL lakukan, tetapi wakil yang benar-benar sudah mukasafah (kompeten dan amanah) dengan tujuan rakyatnya. Para wakil rakyat dengan demokrasi PM adalah mereka yang memiliki maqom yang tinggi dan diyakini sudah melepaskan hasrat kepentingan dirinya. Kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Tidak mungkin mereka menjual bangsanya hanya untuk kepentingan sesaat dirinya. Mereka benar-benar fokus untuk rakyatnya.

Demokrasi PM dibangun atas kepercayaan santri “rakyat” kepada para ustad dan kyai yang tidak mungkin menjebloskan kepada kehinaan. Rakyat dengan demokrasi PM akan memiliki ikatan emosional tinggi dan kepercayaan besar atas mewakilkan asa hidupnya untuk meraih tujuan. Kata kunci dari demokrasi PM adalah, kepemimpinan mutlak Kyai-presiden-parlementer. Bila eksekutif-legislatif telah dipercaya untuk membawa gerbong Indonesia sepercaya santri terhadap kyainya, maka negara Indonesia ini bisa cepat tinggal landas untuk meraih kemajuan bersama dan tidak akan menjadikan hidup penuh dengan intrik politik yang tidak perlu.

Sistem politik bagi demokrasi PM adalah salah satu sistem kehidupan yang berdiri seiringan dengan sistem kehidupan lainnya. Politik dianggap sebagai bagian yang tidak lebih penting dari ekonomi, pendidikan, riset dan sistem kehidupan lainnya. Politik akan dipandang sebagai sistem yang biasa dan tidak mengontrol kehidupan kita secara keseluruhan seperti yang ditunjukan oleh DL. Politik diserahkan kepada ahlinya dan semua orang berperan untuk memajukan bangsa dengan segala kekayaan dirinya. Tidak akan ada dosen yang ingin jadi perlemen, tidak akan ada pengusaha yang ingin jadi penguasa, tidak ada dokter yang menjadi walikota. Semua bersama berangkat untuk memajukan bangsa sesuai kiprahnya.

DL telah memaksa kita untuk mengongkosi politik kita yang mahal. DL juga telah meruntuhkan nilai luhur bangsa. DL pun telah meluluh lantahkan kehidupan bernegara kita yang kuat dan dapat hancur sehancur-hancurnya dengan isu murahan hanya dengan media. DL perlu dihindari oleh kita sebagai sebuah bangsa. Kita harus kembali kepada nilai bangsa kita. Kita harus berkarya dengan segala potensi kita, dan kita pun harus meletakan politik bukan segala-galanya.

Saya meyakini, demokrasi yang berkaca kepada nilai PM dapat berdiri kukuh di Indonesia untuk maju bersama. Nilai PM yang menjadi landasan demokrasi dapat sejalan dengan jiwa rakyat Indonesia yang belum dewasa dalam demokrasi. Bukan berarti mereka butuh waktu untuk menjadi dewasa dalam implementasi DL, tapi DL memanglah tidak cocok untuk Indonesia. Wilayah yang luas, bahasa yang beragam, budaya yang berbeda dan ras yang beragam adalah alasan kenapa demokrasi ala PM bisa bersenyawa dengan baik dalam jati diri Indonesia. wallohu a’lam. {}

Bumisyafikri, 10/6/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun