Malam tarawih pertengahan Ramadan tahun ini, Presiden Jokowi bergumul dengan 2000 lebih santri Pondok Pesantren Cipasung (PC). Dengan sangat antusias, para santri dan asatid di Cipasung menyambut presiden untuk melaksanakan shalat malam bernama tarawih. Bermacam prilaku yang ditunjukan oleh para santri terhadap kunjungan presiden ini, ada yang ingin salaman sun tangan ala tradisi pesantren tradisional umumnya, ada juga selfi dan wefie dengan handphone ala masyarakat masa kini. Mereka heboh dan sangat memanfaatkan momen langka ini sebagai bonus pengajian ritual di bulan suci.
Saya memiliki ikatan panjang dengan PC. Secara historis dan kultur, saya memiliki catatan khusus tentang PC, baik sebagai santri, sebagai guru, sebagai dosen, dan tentu saja sebagai bagian keluarga besar PC. Jadi, saya sangat paham tentang arah perpolitikan PC walaupun tidak sepaham pada lingkaran intinya. Namun saya sedikit banyak tahu tentang sepak terjang PC dalam kontribusinya secara Nasional, baik dalam dimensi keagamaan, sosial sampai perpolitikan.
Secara historis, Cipasung dan Sukamanah yang diwakili tokoh pahlawan KH Zaenal Mustofa dan KH Ruhiyat adalah awal tonggak sejarah PC sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Tahun 1996, Muktamar NU melegitimasi Cipasung sebagai bagian pesantren penting di Indonesia. Di sinilah Gus Dur dipilih jadi ketua PBNU secara kontroversi, di mana pemerintah saat itu tidak menghendakinya. Tahun 2012, Cipasung pun jadi tempat Ijtima’ Ulama Nasional ke IV di mana saya adalah koordinator Bahasa untuk delegasi internasionalnya. Ada 14 ulama internasional yang harus didampingi pada acara ini. Singkatnya, PC telah menancapkan perannya di bumi Indonesia sebagai pesantren yang penting dan berperan.
Di samping kegiatan keagamaan, keluarga PC pun memiliki wakil rakyat mulai dari kabupaten, provinsi sampai nasional. PKB dan PPP adalah afiliasi mayoritas PC dalam menentukan pilihan politiknya. Namun, partai bukanlah yang terpenting dalam struktur PC. Partai hanya kendaraan saja, tetapi “ideologi” Nahdlatul Ulama (NU) lah yang menjadi patokan keberpihakan politiknya. Sampai saat ini, bahkan kepengurusan PCNU yang baru, kombinasi PC dan Pesantren Sukamanah/Sukahideung menjadi lokomotif NU di kabupaten Tasikmalaya.
Dalam konteks ke-NU-an, kita mengenal organisasi Jam’iyah dan organisasi Jamaah. Organisasi yang pertama adalah organisasi struktural yang memiliki kaitan struktur organisasi dengan jam’iyah NU. Banyak organisasi yang terstruktur kepada Jam’iyah NU seperti Lembaga bahtsul Masa’il, Lakpesdam, Lesbumi, dan Badan otonom (Banom) lainnya. Untuk yang linier dengan PC sebagai lembaga pendidikan, maka ada Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) yang membawahi STAINU dan UNU. Untuk pendidikan dasar dan menengah ada Al Maarif.
Cipasung sebagai lembaga pendidikan pesantren bukan lah organ langsung dalam NU. Ia adalah organisasi yang dimiliki oleh Jama’ah NU. Ia adalah follower NU dalam segala aspek, baik secara historis maupun kultur. Afiliasi PC, seperti kebanyakan pesantren di Indonesia, ke ormas NU merupakan perjalanan yang panjang dan tidak bisa dipisahkan secara mudah. PC yang memiliki pendidikan PAUD, MI, MTS, SMP, SMA, MAN, PTKI, PTU adalah gambaran bagaimana PC menjadi pesantren yang mampu melahirkan pendidikan formal.
Bila PC disebut pesantren tradisional, kita mengiyakan. Karena kitab kuning dan tradisi kepesantrenan masih terwariskan dengan baik. Namun bila melihat perkembangan pesat PC sebagai pesantren yang jauh meninggalkan pesantren takhasus, sepertinya PC telah bertransformasi menjadi pesantren yang komprehensif. PC adalah salah satu pesantren yang berafiliasi ke NU dan menjadi “orang tua” untuk pesantren-pesantren kecil lainnya. Dari sisi kegiatan, hampir semua kegiatan NU dipusatkan di PC sebagai simbol inteegrasi Jam’iyah dan Jama’ah.
Jadi, dalam konteks apapun ketika kita menyebutkan PC sebagai lembaga sosial pendidikan keagamaan, maka di situ pulalah NU hadir tak terpisahkan. NU dan PC adalah bak sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. NU tidak bisa berkembang tanpa PC, begitupun PC tidak bisa melangkah maju tanpa NU. Mereka adalah satu dalam dua dimensi. Aktornya adalah orang hebat di dalamnya yang tidak bisa dipisahkan, bahkan bisa dalam satu individu. Aktor terpenting inilah yang selalu mengintegrasikan NU Jam’iyah dan Jama’ah dalam satu bingkat bernama perjuangan Islam.
Lalu, kenapa Jokowi sangat tertarik kepada PC. Saya tahu bahwa sebelum mencalonkan presiden, Jokowi pun datang ke sini untuk meminta restu. Hal ini berbeda dengan Prabowo. Turunan-turunan dari prilaku Jokowi atas restunya tahun 2014 pun begitu kental dengan PC. Setiap gubernur atau bupati yang mau nyalon, pasti meminta restu PC. Bahkan untuk dunia akademik pun memiliki suasana yang sama dimana restu PC sangat mujarab untuk merubah arah keberpihakan kementerian. Ini tidak lepas dari kedekatan Kyai H. A. Bunyamin dengan KH. Hasyim Muzadi (Almarhum). Dua sosok inilah yang mengantarkan Jokowi menjadi RI 1 pada tahun 2014, terlepas dari segala kontroversinya.
Jokowi yang jadi RI 1 tahun 2014 sudah barang tentu bukan hanya direstui oleh PC, namun NU secara umum. Hal ini menjadi antitesa atas pemilihan Prabowo kepada tokoh Muhammadiyah ketum PAN, Hatta Rajasa sebagai pendamping Pilpres 2014. Sebagaimana kita maklumi, bahwa ada kontestasi tingkat tinggi antara NU dan Muhammadiyah dalam melihat kecenderungan keberpihakan politik. Semisal dulu Gus Dur pasti selalu berbeda dengan Amin Rais pada awal reformasi. Islam Rahmatan Lil Alamin dan Islam Nusantara yang diusung NU berbeda dengan Islam berkemajuan ala Muhammaiyah pada konteks saat ini, bahkan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan yang selalu identik dengan kontestasi dua ormas ini.
Bagi saya, kontestasi itu adalah dinamika yang menguntungkan Islam. Jadi ketika Islam berdiri pada dua kaki, maka Islam tidak akan ketinggalan gerbong dalam berpolitik, bernegara dan berbangsa. Bila Islam dalam ormas satu “kalah” maka ormas lain menjadi ‘pemenang”. Ini sangat baik dalam dinamika kehidupan beragama, dan tentu saja Islam sebagai agama mayoritas memiliki kepentingan politik untuk keberlangsungan kegiatan keagamaan di negeri tercinta kita ini.
Nah, Jokowi dalam kecerdasan berpolitiknya tidak mungkin meninggalkan PC yang membawa gerbong kaum nahdliyin yang begitu besar. Ia tahu bahwa Jawa Barat adalah lumbung suara Prabowo pada 2014 lalu, tapi Jokowi sadar bahwa NU harus terus dipupuk untuk menjadi teman di 2019. Dengan hitungan 2 tahun lagi, Jokowi harus tetap menjalin komunikasi dan sinyal kepada seluruh Indonesia, bahwa ia adalah presiden yang dekat dengan NU. Bila itu tidak dilakukan, maka bisa jadi Jokowi ditinggalkan warga nahdliyin yang sangat patuh pada kyainya itu. Rugi kan?.
Jadi, bila saya analisis ketersambungan safari Ramadan 1438 ke beberapa pesantren “NU” di Priangan Timur ini, maka akan ketemu akar pada Pilpres 2019. Memang masih panjang untuk pemilihan presiden di 2019, namun untuk merajut benang kesuksesan pilpres di Indonesia yang sangat luas ini membutuhkan waktu yang panjang dan tenaga ekstra. Ini tidak bisa instant hanya di tahun 2019 saja. Sabang sampai merouke itu untaian pulau yang sangat panjang bro.
Walaupun demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus saya katakan bila PC dan NUnya akan terus bersama Jokowi. Para nahdliyin yang sekarang sudah agak rasional akan memilih Jokowi sebagai presiden jilid kedua manakala kebijakan untuk kaum nahdliyin yang mayoritas wong cilik bisa terpenuhi. Pertama pajak dan beban kehidupan terutama listrik bisa ditekan sehingga masyarakat tidak menjerit. Jokowi adalah presiden yang mampu meredam kekecewaan masyarakat luas dengan segala kenaikan beban hidup tanpa ada demo dan lainnya. Rejim ini pintar memainkan isu sehingga hal yang paling mendasar dalam kehidupan terlupakan. Hebat.
Kedua isu meminggirkan Islam dengan tagline wahabisme, takfiri, fundamentalis, khilafah, dan anti NKRI adalah core dari perjuangan NU. Namun demikian, jika isu ini "digoreng” habis-habisan maka akan ada kecenderungan kaum Nahdliyin untuk berpindah hati. Isu ini akan membuat kehilangan kepercayaan kepada Jokowi atas meminggirkan Islam (walapun tidak jelas Islam yang mana). Masyarakat NU sangat mudah untuk jatuh cinta sekaligus patah hati. Jadi harus hati-hati sajalah.
Ketiga bila dalam dua tahun sisa Jokowi bisa menunjukan kemajuan insfrastruktur yang hebat dengan disertai sosialisasi yang komprehensif, maka orang NU akan bangga dengan Jokowi. Mereka akan mudah mengklaim bahwa Ke NUan jokowi telah dapat membantu bangsa ini membangun dengan fenomenal. NU akan merasa bangga dan akan dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan Jokowi sebagai pilihan utama di Pilpres 2019. Namun jika tidak, maka jeritan masyarakat saat ini karena pajak dan listrik menjadi sakit hati yang tidak terobati oleh kebijakan yang tidak populis Jokowi.
Singkatnya, PC, NU dan Pilpres 2019 adalah bahan untuk membuat sebuah sayur sop. NU sebagai air kuah dan sayurannya, PC sebagai bumbunya dan Pilpres sebagai brandnya adalah racikan chef yang bernama Jokowi. Bila saja Air kuah dan sayurnya tidak di”beli” dengan sebaik-baiknya oleh chef, maka tidak akan menjadi sayur soup yang baik. Jika PC tidak diikut sertakan dalam memasaknya, maka tidak akan lezat. Maka untuk menjadi presiden kembali, PC, NU dan warga Nahdliyin adalah kunci Jokowi untuk bisa kemabali berkuasa, namun dengan tidak mengabaikan tiga hal yang disebutkan didepan. {}
***
Dalam perjalanannya, kadang pesantren menjadi komoditas.
Ia yang mengantarkan kekuasaan meraih legalitas.
Namun, Ujungnya ia mudah dilupakan secara patas.
Ia kembali lagi untuk mengabdi kepada agama dan masyarakat luas.
Pesantren tidak memiliki nafsu untuk berkuasa.
Ia hanya ingin bangsa ini maju dan berkarya.
Ia hanya ingin pemimpinnya mampu dan bijaksana.
Dalam meraih kebahagian akhirat dan dunia.
Itu saja.
Pesantren Cipasung, 9/6/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H