Jokowi di Tasikmalaya: Antara Ceramah Kebhinekaan Jokowi, KIP dan Sertifikat Tanah
Oleh: Zaki Mubarak
Seharian penuh, saya bersama dua bocah tujuh tahun dan lima tahun bereuforia untuk menyambut presiden Jokowi di mesjid kebanggaan kota kami, Tasikmalaya. Dugaan saya atas antusiasme warga kota untuk sekedar bertemu, menonoton dan kalau bisa berselfie dengan Jokowi, terbukti benar adanya. Harga listrik yang melangit dan harga pajak yang memaksa terlupakan sesaat oleh warga kota. Mereka sangat menikmati bergumulnya presiden dengan rakyatnya, baik dalam dimensi program pendidikan, pertanahan maupun nasionalisme-keagamaan.
Kegiatan presiden tadi pagi saya bagi menjadi tiga bagian yang harus saya analisis. Isinya tentu saja kritik yang membangun bagi Indonesia kita tercinta. Pertama kegiatan berdimensi pendidikan dengan program unggulan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Terus terang saya tidak terlalu kenal dengan KIP. Namun seorang teman mengatakan bahwa kartu ini berfungsi membantu mereka yang memiliki kekurangan pembiayaan belajar di sekolah formal. Untuk mereka yang tidak sekolah, tidak mungkin memiliki kartu ini. 1500 siswa di kota Tasikmalaya mendapatkan KIP ini. Selamat ya!.
Mari kita analisis, apakah KIP ini baik atau kurang baik dari sisi konsep pendidikan. Berkaca kepada negara maju semacam Jerman, pendidikan itu dibiayai oleh negara. Pembiayaan ini dibebankan kepada pajak. Jadi masalah pendidikan adalah masalah negara yang harus dituntaskan oleh negara. Semakin SDM sebuah negara maju, maka semakin maju pulalah sebuah negara. Bila SDM itu dapat maju melalui pendidikan, maka negara harus hadir dalam seluruh proses pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pembiayaan dan kontrolnya.
Dampak dari sistem pendidikan yang digaransi oleh negara, maka setiap lembaga sekolah memiliki kesetaraan kualitas dan kuantitas. Tidak ada dikotomi antar negeri-swasta, kota-desa, besar-kecil dan seterusnya. Lembaga pendidikan, apapun bentuknya, harus ditanggung oleh negara dan negara hadir untuk memastikan kontrol kualitas setiap lembaga itu. Negara pun harus menjamin agar outcome dari lembaga pendidikan dimaksud wajib membantu negara untuk semakin maju. Ini adalah konsep yang ideal.
Mari kita tinjau Indonesia sebagai sebuah sistem pendidikan. Saat ini, negara menjamin proses pendidikan melalui sekolah negeri. Jumlahnya sangat terbatas dan tidak dapat diakses oleh semua warga negara. Mereka yang tidak dapat mengakses sekolah negeri (dengan berbagai alasan seperti jauh lokusnya atau daya intelektual yang dibawah standar yang ditetapkan), maka mereka memilih sekolah swasta. Sekolah model ini wajib dikelola dibawah payung hukum yayasan, yang dalam konteks ekonomi mayoritas belum masuk kategori membantu masyarakat, tapi mengambil manfaat dari masyarakat.
Sekolah di bawah yayasan memiliki masalah serius tentang pembiayaan. Mereka harus membayar sejumlah biaya operasional sekolah yang belakangan dibantu dengan BOS pemerintah. Salah satu yang menjadi korban dari kekurang berdayaan yayasan adalah para siswa yang diminta biaya tambahan, atau mereka harus belajar dengan fasilitas seadanya sesuai kemampuan sekolah dan yayasan.
Maka, dalam konteks ini, ada ketimpangan yang lebar antara sekolah negeri yang disokong pemerintah dengan sekolah swasta yang di bawah payung yayasan. Negara sudah berupaya membantu sekolah swasta dengan guru-guru dengan status Pegawai Negeri Sipil, namun ternyata guru-guru status PNS itu tidak menjamin menaikan kualitas sekolah swasta. Jumlah sekolah swasta yang besar tidak berbanding lurus dengan kemampuan negara dalam membantunya. Ini dilema.
Maka, KIP menurut saya adalah salah satu morfin yang dapat menenangkan sesaat atas mabuknya orang tua terhadap mahalnya pendidikan. Kebanyakan yang sudah mendapatkan KIP tidak mudah untuk melanjutkan ke level sekolah yang lebih tinggi, karena masalah biaya. Jika kita menerapkan sistem pendidikan model Jerman, misalnya, maka hal ini bisa dihindari. Kita tidak butuh KIP, tapi pemerintah sudah menjamin pendidikan setiap warganya. Setiap lembaga baik swasta mauoun negeri setara dan digratiskan.
Semua warga akan memiliki akses pendidikan yang sama kepada sebuah lembaga pendidikan. Semua sekolah memiliki kualitas yang sama dan memiliki validitas (keabsahan) di depan hukum yang sama. Pemerintah tinggal memetakan lembaga pendidikan (baik berstatus negeri maupun swasta) dalam konteks kekhasan setiap lembaga pendidikan. Warga negara tinggal memilih sesuai dengan bakat, keinginan, kebutuhan dan kemampuannya. Negara menjamin semua proses itu lancar dan terkontrol dengan baik.
Jadi, KIP harus bermetamorfosis menjadi KIP untuk semua warga. Menurut saya, KIP tidak dibutuhkan lagi manakala semua fasilitas sekolah tidak membebani orang tuanya. Hanya mereka yang berduitlah yang membayarkan pembiayaan sekolah melalui pajak yang tinggi. Di sinilah ada subsidi silang yang difasilitasi oleh negara, dimana orang kaya dapat membantu rakyat miskin untuk mendapatkan keadilan pendidikan. Inilah konsep yang ideal tentang KIP dalam pendidikan kita.